JAKARTA (voa-islam.com)--Dalam rapat Kerja komisi XI DPR RI dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) tentang update Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan Perbankan Nasional di Tengah Wabah Covid 19, Rabu, (08/04/2020), legislator PKS, Anis Byarwati menyampaikan kegelisahannya terkait banyaknya masyarakat yang kebingungan untuk mengakses program, kebijakan dan fasilitas yang telah direncanakan dan disampaikan pemerintah dalam penanganan situasi wabah Covid-19.
“Apa yang terjadi di lapangan nyatanya tidak semulus apa yang kita bicarakan di forum ini,” katanya.
Anis menyampaikan, ia banyak mendapatkan keluhan dari para pengemudi ojek online, ibu rumah tangga dan masyarakat bawah mengenai kebingungan dan kesulitan mereka mengakses kebijakan pemerintah.
“Jangan sampai terjadi krisis social dan kriminalitas meningkat karena bantuan yang mereka harapkan tidak turun juga,” imbuhnya.
Terkait dengan salah satu tugas yang diberikan kepada BI dalam mitigasi Covid 19 yang dilakukan oleh pemerintah, Anis menegaskan bahwa pada prinsipnya PKS mendukung langkah-langkah pemerintah. Akan tetapi ia memberikan catatan kritisnya. “Ada yang perlu kita pikirkan bersama,” katanya.
Hal yang menurut Anis perlu dipikirkan bersama adalah kewenangan yang diberikan kepada BI untuk melakukan injeksi likuiditas ke perbankan dalam jumlah besar (hampir Rp 300 triliun sejak awal 2020), sehingga BI bisa membiayai defisit fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dari pasar primer, serta menyediakan likuiditas ke perbankan melalui mekanisme term-repurchase agreement (repo) atau surat hutang negara, obligasi negara dan perbankan.
Munculnya aturan ini terutama akses kepada koorporasi atau swasta, akan memaksa BI menyediakan likuiditas besar-besaran untuk penyelamatan koorporasi saat krisis.
“Walaupun Gubernur BI mengatakan ini bukan bailout, namun langkah ini sangat mengkhawatirkan,” tegas Anis.
Sebagaimana diketahui, karena keterbatasan dana pemerintah dalam menangani wabah Covid-19 di Indonesia, pemerintah akhirnya menerbitkan obligasi bernilai Rp 450 triliun untuk menstimulus ekonomi. BI menjadi pihak yang akan membeli obligasi bernilai Rp450 triliun itu. Hal ini kembali membuka trauma krisis 1997/98.
Anis juga mengingatkan Gubernur BI bahwa ketika terjadi kelebihan likuiditas, padahal tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat, maka hal ini akan menimbulkan lonjakan inflasi yang tidak terkendali.
“Kita tahu dalam situasi seperti ini, stimulus fiskal yang telah digulirkan tidak bisa mendorong daya beli masyarakat,” katanya.
Ia menutup catatannya dengan menegaskan kembali bahwa berhasil tidaknya intervensi yang dilakukan BI, bukan satu satunya jalan penyelamatan ekonomi.
“Efektifitas dan efisiensi ekonomi sangat tergantung dengan kebijakan dari sektor ekonomi yang lain, internal dan eksternal. Jadi kebijakan moneter bukan segala-galanya,” pungkasnya.* [Syaf/voa-islam.com]