JAKARTA (voa-islam.com)--Lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksi stok utang pemerintah akan melonjak drastis dan mencapai 9.800 triliun rupiah pada akhir pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi, Oktober 2024.
Posisi stok utang pemerintah awal pandemi, per Maret 2020, telah menembus Rp 5.000 triliun dan Atas nama stimulus untuk melawan pandemi kini, per Juni 2021, menembus Rp 6.500 triliun rupiah.
“Setelah pandemi, kecenderungan ini menjadi sangat mengkhawatirkan. Dalam 1,5 tahun sejak pandemi, stok utang bulanan pemerintah rata-rata bertambah 102,2 triliun rupiah, melonjak 3 kali lipat dari stok utang periode Oktober 2014-Desember 2019 yang berada pada kisaran 35,2 triliun rupiah” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Jum’at (27/08/2021).
Dia menambahkan, bila pada periode ke-1 Presiden Jokowi stok utang pemerintah bertambah 2.155 triliun rupiah, maka pada periode ke-2 (Oktober 2019-Oktober 2024) diproyeksikan stok utang pemerintah akan bertambah 5.043 triliun rupiah.
“Kenaikan stok utang pemerintah era Presiden Jokowi ini menjadi sangat luar biasa bila melihat di periode ke-2 Presiden SBY (Oktober 2009-Oktober 2014) stok utang pemerintah ‘hanya’ bertambah 999 triliun rupiah,” papar Yusuf Wibisono.
Menurut Yusuf, melonjaknya beban utang yang kini mencapai 39,4 persen pada 2020 berakar dari rendahnya penerimaan perpajakan. Ketika ketergantungan terhadap utang semakin meningkat, di saat yang sama, kinerja penerimaan perpajakan justru semakin menurun drastis.
“Dari kisaran 11,4 persen pada 2012, tax ratio (penerimaan perpajakan) terus menurun hingga 8,3 persen dari PDB pada 2020. Rasio stok utang pemerintah terhadap penerimaan perpajakan melonjak drastis, dari kisaran 250 persen pada 2015 menjadi kisaran 475 persen pada 2020, jauh diatas batas aman 90-150 persen,” ungkap Yusuf.
Tax ratio yang terus melemah, mengindikasikan besarnya potensi pajak yang hilang. Di sisi lain, besarnya belanja terikat yang berada di kisaran 11 persen dari PDB menurut Yusuf mengindikasikan inefisiensi sektor publik yang massif.
“Seluruh penerimaan perpajakan setiap tahunnya bahkan tidak mencukupi sekedar untuk membiayai belanja terikat, seperti belanja pegawai, belanja barang, bunga utang dan transfer ke daerah,” ujar Yusuf.
Kesenjangan antara kapasitas fiskal dan beban utang ini berpotensi melebar ke depan. IDEAS memproyeksikan tax ratio akan pulih namun secara perlahan, pada 2024 baru akan beranjak di kisaran 8,6 persen dari PDB.
“Namun di saat yang sama, stok utang terhadap PDB meningkat sangat drastis, menembus 50 persen dari PDB pada 2024. Dengan kata lain, berpotensi terbenam semakin jauh dalam jebakan lingkaran utang,” tutur Yusuf.
Yusuf menilai pembenaran pemerintah untuk berutang umumnya adalah spekulatif, yaitu bahwa utang akan digunakan untuk kegiatan produktif yang diproyeksikan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari bunga utang.
Dengan demikian, penerimaan perpajakan yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, akan mampu mengembalikan pokok utang dan sekaligus menutup beban bunganya. Namun kegagalan mendorong pertumbuhan dan menarik pajak darinya, harus dibayar dengan mahal yaitu berutang kembali.
“Dan di masa pandemi, kegagalan ini semakin masif dengan implikasi lonjakan utang yang sangat mengkhawatirkan. Kegagalan pemerintah menanggulangi pandemi semakin memperparah lingkaran jebakan utang ini,” ucap Yusuf.
Peningkatan besaran utang baru setiap tahunnya terlihat berkorelasi kuat dengan besaran beban bunga utang dan cicilan pokok utang.
Sebelum pandemi, pada 2019, cicilan pokok dan bunga utang telah menembus 800 triliun rupiah, dan pasca pandemi, pada 2021, angka ini diperkirakan telah menembus 1.000 triliun rupiah.
“Strategi pengelolaan utang yang terfokus pada refinancing untuk memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang yang jatuh tempo, membuat pengelolaan utang hanya sekedar gali lubang tutup lubang,” tutup Yusuf.*[Ril/voa-islam.com]