JAKARTA (voa-islam.com)--Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani Aher menganggap harga PCR Rp300 ribu masih mahal. “Harga Rp300 ribu itu masih tinggi dan memberatkan. Jika tidak ada kepentingan bisnis, harusnya bisa lebih murah lagi. India mematok harga dibawah Rp100 ribu, kenapa kita tidak bisa?” terang Netty, Selasa (26/10/2021).
Apalagi, kata Netty, ada wacana PCR akan diwajibkan untuk seluruh moda transportasi. “Kalau kebijakan ini diterapkan, maka tes Covid-19 lainnya, seperti, swab antigen tidak berlaku. Artinya semua penumpang transportasi non-udara yang notabene-nya dari kalangan menengah ke bawah wajib menggunakan PCR. Ini namanya membebani rakyat,” ungkap Netty.
Netty juga menyoroti soal mekanisme pelaksanaan PCR sebagai screening method. “PCR adalah metode screening. Seharusnya dalam masa menunggu hasil tes PCR keluar, seorang harus karantina. Banyak kasus justru orang bebas berkeliaran dalam masa tunggu tersebut," kritik Netty
Dalam kondisi itu, kata Netty, ada peluang yang bersangkutan terpapar virus. "Jadi saat tes keluar dengan hasil negatif, padahal dia telah terinfeksi atau positif Covid-19."
Netty mengingatkan pemerintah tentang keterbatasan kemampuan lab dalam melakukan uji PCR dan kemungkinan pemalsuan surat PCR. "Jika pemerintah mewajibkan PCR, seharusnya perhatikan ketersediaan dan kesiapan lab di lapangan. Jangan sampai masyarakat lagi yang dirugikan. Misalnya, hasilnya tidak bisa keluar 1X24 jam. Belum lagi soal adanya pemalsuan surat PCR yang diperjualbelikan atau diakali karena situasi terdesak," ujar Netty.
Oleh karena itu, Netty mendorong pemerintah agar menjelaskan harga dasar PCR secara transparan. “Kejadian ini membuat masyarakat bertanya-tanya, berapa sebenarnya harga dasar PCR? Pada awalnya test PCR sempat di atas Rp1 juta, lalu turun hingga Rp300 ribu. Apalagi pemerintah tidak menjelaskan mekanisme penurunannya; apakah ada subsidi dari pemerintah atau bagaimana?” katanya.
“Saya berharap, pandemi Covid-19 ini tidak menjadi ruang bagi pihak-pihak yang memanfaatkannya demi kepentingan bisnis. Pemerintah harus punya sikap yang tegas bahwa seluruh kebijakan penanganan murni demi keselamatan rakyat,” katanya.
Terakhir, Netty menanyakan relevansi program vaksinasi dengan pengambilan kebijakan mewajibkan PCR.
"Pemerintah menggencarkan vaksinasi agar terbentuk kekebalan komunitas. Seharusnya tingginya angka vaksinasi jadi dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Jika di suatu daerah angka vaksinasi tinggi, kekebalan komunitas mulai terbentuk, tentu kebijakannya bukan lagi mewajibkan PCR yang berbiaya tinggi," katanya.*[Ril/voa-islam.com]