View Full Version
Rabu, 03 Feb 2010

Uji Materiil UU. No.1/PNPS/1965: Bahaya "Chaos" Mengancam

altRuang Sumba B Lt.3 hotel Borobudur Kamis petang itu (28Jan’10) dipenuhi pimpinan dan tokoh berbagai organisasi keagamaan Islam. Hadir antara lain perwakilan dari Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Front Pembela Islam (FPI), Perguruan As-Syafiiyah, Al Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan masih banyak lagi lainnya. Shohibul ba’it acara itu adalah Menteri Agama RI Suryadharma Ali.Kendati dalam undangan sebenarnya acara tersebut akan dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat, tapi rupanya Menag berkesempatanhadir langsung memimpin pertemuan, didampingi jajaran Eselon I Kementerian Agama yaitu Sekjen Bahrul Hayat, Dirjen Pembinaan Masyarakat Islam (Dirjen Binmas Islam) Nasaruddin Umar,Kepala Bidang Litbang dan Keagamaan Ato’ Mudhar, serta Muallimin yang mewakili Menteri Hukum dan HAM.

Acara ini tentu terbilang penting, yaitu membahas adanya Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Terhadap Undang Undang Dasar 1945, yang diajukan oleh 7 (tujuh) lembaga swadaya masyakarat (LSM) dan 4 (empat) orang pribadi. Redaksi SI telah memperoleh surat Permohonan pertama bertanggal 2 November 2009 pada akhir tahun, yang kemudian direvisi oleh para pemohon pada tanggal 2 Desember 2009. Bagaimanakah profil para pemohon?

Ada 7 (tujuh) LSM yang mengajukan permohonan,yaitu Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara (Desantara Foundation), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Adapun pemohon pribadi yaitu KH. Abdurrahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. Dawam Rahardjo dan KH. Maman Imanul Haq. Mereka memberi kuasa kepada Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB).

Melihat nama-nama LSM dan pribadi-pribadi yang menjadi pemohon, tidak pelak orang-orang langsung mengkaitkan mereka dengan organisasi yang menamakan diri AKKBB(Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan),karena LSM dan pribadi-pribadi inilah yang selama ini dikenal menjadi “otak” di belakang kegiatan AKKBB. Demikian halnya nama-nama anggota TAKB seperti Asfinawati, Uli Parulian Sihombing, Choirul Anam dkk.yang juga dikenal aktifis LSM yang tergabung dalam AKKBB.

Pemohon Tidak Punya Alas Hak

Yang menarik dari para pemohon ini ialah ternyata mereka tidak memiliki alas hak (legal standing) untuk mengajukan permohonan, seperti yang disampaikan Munarman (wakil FPI) dalam undangan pertemuan dengan jajaran pimpinan Kementerian Agama tersebut. “Tidak ada hak konstitusionil para pemohon yang dilanggar oleh UU No.1/PNPS/1965” ujarnya tegas.

“IMPARSIAL, ELSAM, YLBHI dan lain-lain itu tidak bergerak di bidang keagamaan, jadi tidak ada kegiatan mereka yang terhambat atau (apalagi) terlanggar dengan PNPS ini, maupun potensial terlanggar. Sedangkan Gus Dur, dia pernah menjadi Ketua Umum PBNU dan berbagai organisasi keislaman lainnya. Jadi hak konstitusionil yang mana yang dilanggar oleh PNPS?Demikian juga Dawam Raharjo yang pernah menjadi pengurus PP Muhammadiyah”, terang mantan Ketua YLBHI ini.

Dalam permohonannya, pemohon dari LSM ini mengklaim dengan adanya PNPS itu mengakibatkan hak konstitusional mereka dirugikan (angka 11 permohonan), tapi di bagian lain permohonan menyebutkan berpontensi melanggar hak konstitusional mereka (angka 26). Tentu saja hal ini membingungkan, mana sebenarnya yang terjadi: telah ada kerugian, atau baru berpotensi merugikan?

Jika mereka mengakui telah ada kerugian, maka mereka harus membuktikan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) kerugian yang mereka derita, ujar Muallimin. Sedangkan bila dipegang argumentasi mereka “berpotensi” merugikan, sungguh argumentasi itu “menodai akal sehat” karena PNPS telah diterbitkan sejak tahun 1965, bagaimana mungkin setelah 45 tahun keberadaan PNPS itu masih saja dikuatirkan berpontensi merugikan?

Atau dalam deskripsi yang lebih kasuistik-konkrit, YLBHI yang merupakan LSM pionir di Indonesia lahir pada tahun 1970, 40 tahun yang lalu.Sejak kelahiran YLBHI hingga saat ini keberadaan maupun kegiatannya tidak pernah dirugikan dengan adanya PNPS yang mereka gugat.Bagaimana mungkin setelah berlangsung 40 tahun tanpa ada kerugian konstitusional masih saja YLBHI menilai PNPS ini berpotensi merugikan dirinya?Bagaimana akal sehat atau penalaran kita yang wajar bisa menerima argumentasi serupa ini?Padahal menurut ketentuan MK dalam menafsirkan ketentuan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional (Pasal 51 ay. (1) UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi), yang dimaksud kerugian yang bersifat potensial itu menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

Lain masalah apabila produk undang-undang itu baru terbit beberapa bulan yang lalu, kekuatiran adanya potensi kerugian masih wajar diterima. Jelas argumentasi legal standingpemohon tidak valid, ahistoris dan tidak layak diterima.

Masalah legal standing ini terbilang masalah pokok bagi siapa saja untuk dapat tampilmengajukan permohonan uji materiil suatu UU ke MK.Apabila pihak pemohon dinilai Majelis Hakim Konstitusi tidak memiliki legal standing, maka permohonannya harus diputus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Dalam surat permohonannya, satu per satu ketujuh LSM ini menyampaikan maksud dan tujuan organisasi masing-masing sesuai anggaran dasar (AD) untuk dapat dinilai oleh Majelis Hakim Konstitusi memiliki legal standing. Berdasarkan uraian maksud dan tujuan itu, tidak ada satupun dari ke-7 LSM pemohon uji materiil yang mengusung nilai-nilai keagamaan sebagai bagian dari tujuan organisasi mereka. Umumnya yang mereka usung adalah antara lain nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, keadilan dan hukum.Demikian halnya bidang usaha/kegiatan ke-7 LSM yang mereka klaim telah menjadi pengetahuan umum (notoir feiten), dari a sampai h pada angka 19 permohonannya, tidak satu pun menyebutkan bidang kegiatan keagamaan.

Tetapi ketika pemohon melanjutkan menguraikan argumentasi legal standing berdasarkan maksud dan tujuan serta bidang usaha/kegiatan organisasinya,tiba-tiba saja mereka menyisipkan “keagamaan” sebagai salah satu bidang kegiatan organisasinya (terbaca pada angka 20, 21, 24, 25, dan 26 surat permohonan). Cara-cara berargumentasi yang manipulatif serupa ini sungguh sangat tidak terpuji, tidak kredibel dan tidak menjunjung tinggi nilai-nilai moral intelektual yang berlaku universal, apalagi dilakukan oleh para pengurusketujuh LSM yang selama ini banyak memperoleh liputan pemberitaan.

Interpretasi Yang Dipaksakan

Berdasarkan surat permohonan uji materiil,pemohon mendalilkan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 yang berbunyi, “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”, bertentangan dengan pasal 28E ayat (1) dan (2), pasal 28I ayat (1), dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tentang hak beragama, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Untuk itu pemohon mengutip pasal-pasal dalam UUD 1945, UU No.39/1999 tentang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, berbagai kovenan dan karya tulis yang memuat gagasan-gagasan besar mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Jelaslah, berbagai kutipan yang dimaksudkan untuk menjelaskan pertentangan antara pasal 1 PNPS dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, inimissmatchatau irrelevantdengan substansi pasal 1 PNPS, sehingga nampaksekali terjadi divergensi atau perbedaan antara dalil dan argumentasinya.

Dalil yang diutarakan pemohon adalah ketentuan dalam PNPS mengenai penafsiran dan kegiatan (yang) menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama, sedangkan argumentasi atau uraian pembuktiannya mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agama pada umumnya yang tidak menjadi obyek pengaturan pasal 1 PNPS. Apabila cara berargumentasi ini tidak dilatarbelakangi maksud-maksud untuk mengelabui Hakim Konstitusi secara kasar (coarse), maka tentulah pemohon telah melakukan penafsiran secara paksa atau dibikin-bikin (interpretative tour de force) atas frasa penafsiran dan kegiatan (yang) menyimpang dari pokok-pokok ajaran agamapada pasal 1 PNPS.

Pasal-pasal dalam UUD 1945 yang didalilkan pemohon tidak mengatur kebolehan orang untuk menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Yang diatur adalah hak beragama, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya secara umum. Dengan demikian siapapun, berdasarkan PNPS, tidak akan dikenai ancaman pidana apabila menggunakan hak beragama, meyakini keyakinan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, sepanjang tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.

PNPS bahkan tidak melarang orang melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu untuk diri pribadi,tidak dengan sengaja dilakukan di muka umum, apalagi menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum.PNPS tidak melakukan pembatasan secara umum tentang penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan, melainkan fokus hanya pada yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu, demi tercipta ketertiban kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta demi melindungi agama-agama yang ada itu sendiri.

Pembatasan PNPS ini sejalan dengan pasal 28J UUD 1945, yaitu:
1.    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
2.    Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

PNPS mengemban amanat konstitusi untuk membatasi masyarakat dalam menjalan hak dan kebebasannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan seterusnya sesuai ayat 2 pasal 28J UUD 1945.

Pada bagian akhir permohonan, pemohon juga mengakui adanya ketentuan pembatasan yang diatur dalam pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tentang pembatasan pelaksanaan (manifestasi) kebebasan beragama, “akan tetapi, pembatasan hanya diperkenankan terhadap manifestasi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam pengertian forum eksternum” ujar pemohon. Pernyataan pemohon ini justru mendukung PNPS yang tidak melarang orang melakukan penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu untuk diri pribadi (forum internum), sepanjang tidak dengan sengaja dilakukan di muka umum (forum eksternum) apalagi menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum.

Dalam mengatur pembatasan, mengacu ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 18 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, pemohon menyebutkan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.    keselamatan masyarakat;
b.    ketertiban masyarakat;
c.    kesehatan masyarakat;
d.    moral masyarakat;
e.    hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Mengapa pemohon tidak mencantumkansyarat nilai-nilai agama dalam masyarakat? Tidakkah pemohon membaca bahwa ayat (2) pasal 28J UUD 1945, itu menyebutkan dengan jelas pertimbangan atas dasar nilai-nilai agama, disamping pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis? Dimanakah integritas moral dan intelektual para pemohon?Kiranya inilah yang dikatakan, “bukan mata mereka yang buta, tapi mata hati mereka yang buta”.

Pemohon juga melakukan penafsiran yang dibikin-bikin tentang pokok-pokok ajaran agama, dengan mendeskripsikan ada banyak aliran keagamaan dalam Islam: Sunni, Syiah, Mu’tazilah, Khawarij dan seterusnya, juga berbagai madzab fikih dalam aliran Sunni yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Selama 45 tahun keberadaan PNPS, tidak ada kasus pelanggaran PNPS yang lahir dari pertentangan aliran keagamaan dalam Islam antara Sunni, Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, ataupun yang lahir dari pertentangan empat madzabfikih Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, dan sepatutnya para pemohon tahu akan hal itu. Artinya penafsiran yang dibikin-bikin oleh para pemohon, itu tidak memperoleh tempat dalam praktek beragama di Indonesia, dan hanya ada dalam angan-angan atau ilusi pikiran para pemohon belaka.

Para pemohon dalam usaha kerasnya mencela frasa penafsiran dan kegiatan (yang) menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama pada pasal 1 PNPS, memberi ilustrasi tentang ziarah kubur dalam agama Islam yang berbeda antara penafsiran dan keyakinan orang NU yang menganggapnya sebagai ibadah, dengan orang Muhammadiyah atau Wahabi yang menganggapnya sebagai bid’ah yang menimbulkan syirik, dan syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah SWT.Ilustrasi ini tentu membuat terperangah mereka yang cukup baik mendalami agama Islam, dan tahu benar Muhammadiyah dan Wahabi tidak melarang ziarah kubur.Pemohon tidak harus cerdas atau ‘alim hanya untuk menghindari kekekurangan ilmu agama serupa ini.

Perlindungan Ketentraman Beragama


Berkaitan dengan pasal 4 PNPS atau pasal 156a. KUHP, tanpa menyebutkan sumbernya, pemohon mengutip pendapat perancang PNPS –entah siapa yang dimaksudnya, bahwa yang ingin dilindungi dalam konsep “delik terhadap agama” ini adalah kesucian agama itu sendiri, bukan melindungi kebebasan beragama para pemeluknya (individu). Sebab agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan symbol-sombol agama, seperti Tuhan, Nabi, kitab Suci, dan sebagainya.

Pemohon lalu mencela maksud pembentukan pasal 4 PNPS yang lebih melindungi kesucian agama bukan pemeluk agama, akan menimbulkan keadaan problematik yaitu siapakah yang dapat mengatasnamakan agama untuk berdiri sebagai pembela agama? Siapakah otoritas yang dipakai untuk menafsirkan bahwa suatu agama telah dimusuhi, disalahgunakan atau dinodai.Karena pemohon tidak menyebutkan sumber kutipannya, tentulah kita tidak dapat mengetahui kalimat asli yang dikutip atau mengecek apakah pemohon telah mengutip dengan benar dan tidak ada yang dikorupsi dari kutipannya itu.

Prof. Omar Seno Adji, S.H. berpendapat berbeda dari “orang misterius” yang dikutip pemohon. Dalam bukunya Hukum (Acara)  Pidana Dalam Prospeksi (1972), secara ringkas ia menyebutkan bukanlah agamanya yang harus dilindungi oleh peraturan, melainkan aksentuasinya pada pelanggaran ketertiban umum yang harus dilindungi. “Dalam hubungan demikian”, ujar beliau, “dapatlah dikatakan (rasa) ketentraman orang-orang beragama yang diganggu karena ucapan-ucapan atau pernyataan-pernyataan termaksud dalam pasal 156a KUHP itu yang dapat membayakan ketertiban umum. Ia –karena itu- hanya mengenai bentuk lahiriah –uitwendig- dan “uiterlijke vorm” (external form, pen.) dari pernyataan-pernyataan tersebut, sehingga Agama sebagai “Agama” an sich tidak menjadi obyek dari perlindungan”.

Terdapat perbedaan diametral antara yang pernyataan pemohon yang mengutip dari sumber yang tidak disebutkan (entah dengan maksud apa),dengan pendapat Prof. Oemar Seno Adji, S.H., mantan Menteri Kehakiman (1966-1974), Ketua Mahkamah Agung (1974-1982) dan Rektor Universitas Krisnadwipayana. Sudah barang tentu pendapat terakhir ini yang lebih layak dipercaya, karena pendapat Oemar Seno Adji sesuai benar dengan penjelasan resmi PNPS yang menyebutkan bahwa “aturan ini melindungi ketentraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (pasal 4)”.

Bahaya “Chaos” Mengancam

Disebutkan dalam Penjelasan PNPS bagian Umum, “telah ternyata,bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan Hukum Agama. Diantara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang kea rah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada”.

Kita tentu kini tidak menghendaki situasi banyaknya aliran-aliran atau organisasi-organisasi organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan Hukum Agama seperti pada saat diterbitkannya PNPS, kembali marak di tanah air dikarenakan PNPS tidak berlaku lagi.Dengan adanya PNPS saja masih timbul aliran-aliran sesat dan organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan Hukum Agama, kendati dalam skala kecil dibandingkan dengan pada masa belum ada PNPS.

Apabila sampai PNPS ini tidak lagi berkekuatan hukum, maka bahaya “chaos” mengancam di hadapan kita.Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki dalam persidangan awal perkara ini mengatakan, apabila MK mengabulkan permohonan para pemohon, terutama pasal 1 UU PNPS Tahun 1965 yang berbunyi "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan" diprediksi akan menimbulkan chaos.

Ya, agar tidak terjadi chaos maka sudah sepatutnya uji materiil atas PNPS oleh segelintir LSM dan perorangan ini dinyatakan tidak dapat diterima atau bahkan ditolak saja. (M. Luthfie Hakim)






latestnews

View Full Version