Sidang Pengujian UU No. 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Pasal 1, Pasal 2 ayat (1), (2), Pasal 3, dan Pasal 4 huruf a) kembali digelar hari ini, Rabu (10/02).
Sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta Pihak Terkait (IV) yaitu Pengurus Besar Nahdlaltul Ulama (PBNU) , Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) , Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
Selain itu sidang juga mendengarkan keterangan Arswendo Atmowiloto sebagai saksi korban yang diajukan oleh Pemohon. Keterangan yang diberikan Arswendo berkaitan saat Ia menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat.
Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Masyarakat Muslim pada saat itu marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara.
Namun keterangan yang diberikannya tidak serta merta diterima oleh pihak terkait dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut MUI dalam hal pemuatan hasil jajak pendapat tersebut apakah Ia mengetahui akibat maupun resiko yang akan dialaminya, karena jelas hal itu melukai perasaan Umat Islam.
Hal senada juga diutarakan oleh Majelis Hakim yang menjelaskan bahwa apa yang Ia lakukan itu dapat memancing kemarahan Umat Islam. Karena perilakunya itu merupakan satu bentuk penghinaan terhadap hal yang dianggap suci oleh suatu agama. Menanggapi hal tersebut Arswendo hanya menjawab bahwa Ia tidak tahu akan berakibat seperti itu.
Namun kita semua tahu dan yakin bahwa sangat mustahil bagi sosok sekaliber Arswendo Atmowiloto tidak mengetahui hasil jajak pendapat yang Ia muat itu termasuk kategori penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw.
Dalam hal ini Arswendo sendiri pasti tahu karena Ia juga seorang yang beragama lain halnya jika Ia tidak memiliki agama.