Sekitar seribu umat Islam kembali mengepung gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di jalan Medan Merdeka Barat 6 Jakarta Pusat pada hari Rabu (10/2).
Sejumlah elemen ormas Islam bergabung dalam aksi kedua menolak pengajuan uji materi UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan agama itu. Laskar Pembela Islam (LPI), Gerakan Reformis Islam (GARIS), para santri Ponpes Darul Rahman,Front Betawi Rempug (FBR), massa PPP dan lain-lain.
Dalam orasinya mereka kembali menegaskan penolakannya terhadap permohonan uji materi UU Penodaan Agama yang diajukan oleh sejumlah LSm liberal yang dikenal sebagai kelompok AKKBB.
"Kita mendesak agar MK menolak permohonan uji materi UU Penodaan Agama ini. Tak bisa dibayangkan, jika UU ini dicabut maka setiap hari akan muncul nabi-nabi baru dan aliran sesat baru", ujar Wakil Ketua DPD FPI DKI Jakarta Habib Fachry Jamalullail dalam orasinya.
Menurut Habib Fachry saat ini saja sudah bermunculan nabi-nabi baru dan aliran sesat yang baru. "Padahal UU Penodaan Agama ini masih ada. Bagaimana jika dihapus?", tanyanya retoris.
Selain menggelar orasi, para pengunjuk rasa juga membentangkan spanduk berisi foto tokoh-tokoh liberal yang berada dibalik permohonan uji materi ini. Mereka juga membawa poster gambar-gambar para pemohon yang diatasnya ditulisi dengan kata WANTED dan dibawahnya ditulis PENJAHAT AKIDAH.
PBNU Menolak
Sementara itu, dari ruang sidang pleno Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap uji materi ini.
PBNU yang diwakili oleh Soleh Amin menilai bahwa alasan para pemohon tidak tepat. Menurut PBNU, UU No. 1/PNPS/1965 ini adalah terkait dengan masalah penodaan agama bukan masalah kebebasan beragama.
Masalah kebebasan beragama, menurut ormas Islam terbesar di Indonesia itu, bukanlah hal yang baru. Konsep Islam dalam kebebasan beragama lebih dahulu ketimbang Barat. Selain itu, perbedaan penafsiran, yang dijadikan alasan oleh para pemohon, bagi Islam juga bukan hal yang baru dan tabu. Masalah-masalah yang disampaikan oleh para pemohon dalam gugatannya, menurut PBNU hanyalah persoalan khilafiyah furu'iyah (perbedaan dalam masalah cabang), bukan ushuliyah (pokok).
"Jadi terlalu berlebihan jika hal-hal itu dijadikan alasan", ungkap Soleh.
Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) sebagai pihak terkait juga menyatakan hal yang sama. Uung Cendana yang mewakili MATAKIN mengatakan bahwa jika UU ini dicabut maka kelompok-kelompok minoritas akan terancam. MATAKIN mengkhawatirkan terjadinya tindakan anarkhisme dan konflik horizontal. Karena itu MATAKIN menolak pencabutan UU Penodaan Agama itu.
Sikap penolakan itu diperkuat oleh Saksi ahli yang diajukan oleh pemerintah yakni KH. Hasyim Muzadi, Prof. Dr. Amin Suma, Prof. Dr. Rahmat Syafii dan Prof Dr. Nur Syam. Keempat ahli itu telah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada MK, yang intinya sama, agar MK menolak permohonan uji materi ini.
Hanya Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) yang diwakili oleh Benny Susetyo dan ahli pemohon Frans Magnis saja yang setuju terhadap Uji Materi ini. Mereka menyatakan bahwa UU Penodaan Agama ini bertentangan dengan UUD 1945 dan kebebasan beragama.
Sementara saksi pemohon lain Arswendo Atwowiloto sikapnya belum tegas. Ia menyatakan UU ini bisa dipertahankan dengan penguatan atau dicabut.
Yang menarik, logika Frans Magnis yang sekuleristik mendapatkan 'serangan' balik dari beberapa hakim konstitusi. Pasalnya dia menyatakan negara tidak dapat menyatakan suatu aliran tertentu menyimpang atau tidak dan kemudian melarangnya.Ia mencontohkan kasus Saksi Yehofah di Agama Kristen. Menurutnya, meski dikatakan menyimpang, ia tak setuju jika Saksi Yehofah dilarang.
Logika berfikir guru besar Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyakarya itu sulit untuk diterima. Achmad Shodiki misalnya, ia mencontohkan negara-negara sekuler Barat yang justru melarang pemakaian simbol-simbol Islam. Seperti larangan memakai kerudung di Perancis, larangan pembangunan menara di Swiss, serta larangan pengajaran agama di AS.
"Di AS, mengajarkan agama di sekolah-sekolah itu inkonstitusional. Padahal di indonesia, sejak TK hingga PT ada pelajaran agama", tandas Shodiki sembari mengutip pendapat Prof. Umar Senoadji.
Artinya, jika secara konstitusi saja berbeda, bagaimana kita akan menyamakan Indonesia dengan negara-negara Barat itu.
Anggota Tim MUI, M. Luthfie Hakim juga menolak logika berfikir Frans. Luthfie mengatakan bahwa yang disampaikan oleh Frans itu adalah pengalaman subjektifnya. Menurut Luthfie, praktik beragama di dunia Islam berbeda dengan di dunia Kristen. Karena itu tak bisa disamakan. (shodiq ramadhan)