View Full Version
Rabu, 31 Mar 2010

Menafsirkan Islam Semaunya

Dalam berbagai sidang uji materiil UU No1/PNPS/1965 tentang penyalahgunaan dan atau penodaan agama di Mahkamah Konstitusi,  muncul pemikiran merelatifkan penafsiran agama, khususnya dari kalangan non Islam . 

Namun target propaganda relativitas penafsiran agama justru ditujukan kepada penafsiran agama Islam.  Maklumlah karena latar belakang pengajuan permohonan uji materiil UU tersebut adalah kasus penodaan agama Islam oleh aliran Ahmadiyah.  Dan bila permohonan pencabutan UU tersebut diterima oleh MK, maka aliran Ahmadiyah akan terbebas dari acaman pembubaran.

Selain merelatifkan penafsiran, umumnya para pembela Ahmadiyah dan kebebasan beragama juga meniadakan peran negara dalam pelarangan penafsiran yang menyimpang.  Dalih mereka, negara kita bukan negara agama.  Negara tidak perlu menjadi wakil Tuhan untuk menghukum manusia karena keyakinannya.  Lebih dari itu, Ulil Abshor Abdalla, salah seorang tokoh liberal dalam sidang MK (12/3), mengatakan bahwa diperanginya Musailamah oleh Khalifah Abu Bakar r.a. bukanlah karena penafsiran tapi karena makar politik.  Alasannya di masa Rasulullah saw. Musailamah tidak diperangi.  Hal yang sama pula, kata Ulil, terjadi pada kasus diperanginya orang-orang yang menolak membayar zakat.

Tentu saja merelatifkan semua penafsiran di dalam agama Islam, apalagi mengatakan siapa saja boleh membuat penafsiran,  adalah suatu kekeliruan besar.   Sebab Islam bukanlah ajaran agama sembarangan yang siapa saja boleh menemukan suatu perkataan di jalanan lalu mengklaim bahwa itu adalah ayat Al Quran atau hadits atau hukum syariat atau ajaran akhlak di dalam agama Islam.  Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang berdusta atas namaku maka hendaknya menyediakan tempatnya di neraka” (Jamiul Ushul min Ahaaditsir Rasuul, Juz 1/473). 

Dalam Islam, penafsiran ayat Al Quran tidak boleh sembarangan.  Ada kaidah-kaidah ilmunya, baik tafsir yang bersifat bahasa (tafsir bir ra’yi) semisal tafsir Jalalain maupun tafsir dengan riwayat (tafsir bilma’tsur) seperti tafsir Ibnu Katsir.    Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa yang berkata tentang Al Quran tanpa ilmu, maka hendaknya menyediakan tempatnya di neraka” (HR. an Nasaai Ibn Batthah, al Baihaqi, At Tirmidzy, At Thabraniy, Ahmad).
  
Berkaitan dengan nash-nash hukum, maka para ulama membagi nash-nash menjadi dua, nash-nash yang qath’I dan nash-nash yang zhanni.  Nash-nash yang qath’I hanya mengandung satu makna yang pasti, tidak ada yang lain.  Sedangkan nash-nash yang zhanni adalah nash-nash yang mengandung dua makna atau lebih.  Terhadap nash-nash yang qathi, baik sumbernya (tsubut) maupun penunjukan maknanya (dalaalah), tidak ada dan tidak boleh ada perbedaan pendapat di antara para ulama. 

Sebaliknya, terhadap nash-nash yang zhanni, dimungkinkan adanya perbedaan pendapat.  Bahwa sholat subuh dua rakaat, tak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, karena hadits-hadits tentang jumlah rakaat lima waktu bersifat qath’i.  Namun ada tidaknya qunut pada sholat subuh, para ulama berbeda pendapat, karena hadits tentang disunnahkannya qunut subuh bersifat zhanni.  Oleh karena itu, tidak boleh umat Islam ribut soal qunut subuh, tetapi umat Islam wajib ribut bila ada yang membuat ajaran baru bahwa sholat subuh 5 rakaat atau menyatakan sholat subuh adalah bid’ah.  Sebab yang terakhir ini adalah bentuk penyimpangan terhadap ajaran Islam. 

Demikian juga pendapat Ulil Abshor yang mengatakan bahwa diperanginya orang-orang yang tidak mau membayar zakat oleh Khalifah Abu Bakar adalah karena makar politik, bukan karena penafsiran.  Jelas ini adalah pandangan baru yang tidak ada dasarnya.  Sebab, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah Juz 6/311, orang-orang yang menolak membayar zakat di masa khalifah Abu Bakar r.a. itu justru adalah para delegasi suku-suku Arab yang datang ke kota Madinah untuk menyampaikan baiat taat kepada khalifah.  Artinya, mereka loyal, tidak membuat makar politik sama sekali. 

Persoalannya, setelah  menyatakan loyal kepada pemerintahan khalifah Abu Bakar r.a. dan akan tetap setia melaksanakan sholat, mereka menyatakan tidak akan membayar zakat kecuali kepada orang yang doanya menenangkan mereka.  Maksudnya, mereka menafsirkan firman Allah SWT dalam QS. At Taubah 103  dengan tafsiran bahwa kewajiban membayar zakat itu hanya kepada Rasulullah saw.  

Inilah yang tidak diterima oleh Khalifah Abu Bakar r.a.  Abu Bakar As Shiddiq r.a. berkata : “Kalau sekiranya mereka menolak membayar kepadaku tali kekang unta yang dulunya biasa mereka bayarkan kepada Rasulullah saw. pasti akan kuperangi lantaran menolak membayar zakat, sebab zakat adalah hak atas harta. Demi Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang membedakan antara kewajiban sholat dengan zakat”.  Dengan demikian jelaslah bahwa Khalifah Abu Bakar r.a. memerangi orang-orang yang membuat “tafsir” yang menyimpang. 

Kalau kita mau berfikir jernih, apa jadinya ajaran Islam ini kalau seandainya Khalifah Abu Bakar r.a. memberikan dispensasi kepada delegasi rakyat untuk melepas salah satu kewajiban syariat Islam dengan modus “tafsir” menyimpang tersebut selama mereka loyal kepada khalifah, lalu para khalifah berikutnya menjadikan kebijakan itu sebagai tradisi? Mungkin Islam hari ini telah habis tereduksi, tinggal nama saja.  Wallahua’lam!


latestnews

View Full Version