View Full Version
Rabu, 31 Mar 2010

Polri VS Polri : Hedonisme Elit Merajarela

Oleh : Aru Syeif Assadullah

Perilaku elit politik dan kekuasaan—baca : penguasa-- di negeri ini belakangan, sungguh sangat amat mengkhawatirkan. Berbagai kasus besar belakangan, justru telah membongkar borok kaum elit yang ternyata permanen mengidap watak kelam : Korup, permisif, dan hedonis.Ini yang menjadi jawaban, kendati pemerintahan SBY, dua periode pemerintahannya selalu membanggakan dan terus menggencarkan pemberantasan korupsi, tapi  Maret 2010 lalu, Indonesia ditetapkan oleh lembaga Konsultan PERC Hongkong, sebagai negara paling korup di Asia-Pacific, di bawah negara-negara : Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sungguh memalukan.

Ini yang menjadi jawaban pula, sepanjang enambulan terakhir, kasus-kasus korupsi terus terbongkar, baik di tingkat daerah di seluruh Indonesia tapi juga sekaligus kasus-kasus kakap di tingkat pusat. Kasus-kasus sogok pun terus terbongkar di parlemen dan bagai semua anggota DPR niscaya terlibat baik DPR Pusat maupun DPRD, juga gubernur, bupati dan walikotanya. Di tingkat pusat ada kasus menghebohkan tertangkap-basahnya Jaksa Urip Gunawan yang sedang menangani kasus BLBI. Tak tanggung-tanggung Urip disogok Rp 6 Milyar oleh Artalita sebagai suruhan Sjamsul Nursalim. Ada pula terbongkarnya aliran dana BI yang segera menjebloskan petinggi BI, mulai Gubernur BI Syahril Syabirin, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, hingga Aulia Pohan pejabat tinggi BI lainnya yang juga besan presiden SBY sendiri. Semua lapisan elite politik, khususnya anggota parlemen dan elit kekuasaan, bagai semua terlibat korupsi. Sulit mencari yang bebas dan tak terlibat korupsi.

Ketika masyarakat geger dengan munculnya peristiwa pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen yang membawa ketua KPK Antasari Azhar menjadi tertuduh utama, belakangan kasus ini ternyata membongkar kasus-kasus besar lainnya. Sebut saja kasus Kriminalisasi KPK yang menyeret Bibit Samad Riyanto dan Chandra M.Hamzah, dan akibatnya gerakan Pro KPK pun merebak dengan isu Cicak Versus Buaya dan menggelindingkan kasus kakap ,Skandal Bank Century. Munculnya para penyogok, yakni Anggodo adik Anggoro ikut memanaskan situasi karena dibongkarnya rekaman proses sogok-menyogok  di sidang Mahkamah Konstitusi, sangat mengejutkan masyarakat luas.

Polri Versus Polri

Dari sidang-sidang kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen itu memunculkan kecurigaan Polri bermain dan merekayasa kasus pembunuhan yang mengerikan ini.Yang telah membongkar adanya rekayasa ini justru Williardi Wizard, mantan Kapolres Jakarta Selatan yang menjadi terdakwa bersama Antasari. Mengapa Williardi yang perwira menengah Polri justru membongkar bahkan mendiskreditkan Polri sendiri?

Williardi atau Willi terpaksa “Bernyanyi” membongkar kebohongan Polri dalam kasus pembunuhan itu, karena Willi mengaku dibohongi. Semula ia dipaksa menandatangani BAP yang menjatuhkan Antasari sebagai perancang pembunuhan dengan janji dirinya segera dibebaskan. Tapi nyatanya setelah meneken BAP itu, ia tidak dibebaskan sesuai janji. Karena itu dalam persidangan Willi “Bernyanyi” membeberkan rekayasa Polri itu. Jadilah Polri versus Polri sendiri. Kasus pembunuhan Nasruddin ini berakhir dengan keputusan hakim yang sangat ngambang. Antasari hanya dihukum 18 tahun penjara yang mengindikasikan hakim ragu-ragu dengan keputusannya. Nuansa Polri terlibat rekayasa membayang di belakang.

Carut-marut kebobrokan aparat penegak hukum, mulai Kejaksaan, Polri, Hakim, hingga KPK sendiri, menjadi menu berita sehari-hari. Padahal kasus-kasus besar seperti Skandal Century melalui forum Hak Angket DPR selama dua bulan lebih sidang-sidangnya disiarkan secara lanagsung oleh beberapa stasion TV. Rakyat pun dengan terang-benderang mengikuti kejahatan perbankan dengan kerugian negara sampai 6,7 Trilyun Rupiah. Cermin kerakusan pun terpampang nyata telah dilakukan pejabat tinggi negara. Dan kejahatan sangat hebat ini ujungnya justru dilindungi oleh pemerintah tertinggi. Rekomendasi DPR yang mutlak menyebut Sri Mulyani dan Boediono bersalah dan harus bertanggungjawab, sebaliknya oleh presiden SBY justru dianggap pejabat yang tidak bersalah, malah berjasa hebat.

                                                               ***

Di tengah kasus-kasus korupsi terus bermunculan di tengah masyarakat luas, ternyata heboh Skandal Century dibiarkan begitu saja. KPK diam saja juga aparat hukum lainnya. Pemerintah pun diam seribu bahasa. Yang muncul justru pembongkaran terus kasus-kasus korupsi yang melibatkan lawan politik Partai Demokrat (partai Presiden SBY), yakni kasus suap terpilihnya Miranda Gultom menjadi Deputy Gubernur Senior BI yang melibatkan belasan anggota DPR dari PDIP, juga dari Golkar, PPP,dan F-TNI. Kasus sogok Miranda Gultom ini sungguh membuat “merinding” telah membongkar puluhan anggota DPR yang berperilaku korup luar biasa. Mereka “bancakan”  travel cek nilainya milyaran rupiah. Pelakunya ternyata—seperti Hamka Yandhu dari Golkar-- juga terlibat kasus-kasus korupsi yang terbongkar sebelumnya. Hal ini mengindikasikan betapa amat rakus pelaku korupsi ini.

Pelaku korup dalam kasus Miranda Gultom ini belumlah sophisticated (canggih), mereka menerima travel cek dan mencairkan ke Bank BII dengan menyuruh sopir atau lainnya. Tatkala sang sopir diperiksa KPK tentu saja mereka “Bernyanyi” diutus oleh boss nya. Dengan mudah para pelaku didaftar dan dicokok, kendati belum secara adil juga ikut ditangkap dan diadili seperti Dudhi Makmun Murod yang bernasib nahas. Terdaftarlah tokoh beken PDIP terindikasi menerima suap ini yakni : Panda Nababan, Tjahjo Kumolo dan seterusnya.

Sebaliknya dalam kasus Skandal Century, aliran dananya sulit dilacak siapa pelaku yang mencairkan karena kejahatan di Century sudah sangat canggih. Pelaku kejahatan menggunakan KTP palsu, sehingga pelacakan akan sulit dilanjutkan ketika sampai pada fakta KTP yang dipakai mencairkan ternyata palsu. Fakta-fakta ini hanya memunculkan fenomena betapa kaum elit negeri ini terus menumpuk kekayaan dengan cara-cara yang amat jahat dan dilakukan terus menerus bagai orang yang tak pernah terpuaskan mereguk minuman di Padang Pasir nan gersang. Segala cara ditempuh, segala kejahatan dikerahkan untuk mereguk kenikmatan dunia tanpa batas, bagai memang kaum elite negeri ini mengidap faham hedonisme. Perhatikan laporan jumlah kekayaan para pejabat tinggi negara ke KPK selalu diumumkan jumlah kekayaan yang selalu meningkat, tanpa diperhitungkan dari mana jumlah besar itu di dapat. Padahal kalau diperhitungkan dengan logika penghasilannya yang tetap, niscaya mustahil pejabat yang bersangkutan memiliki kekayaan sebanyak itu.

Susno Versus Polri

Di tengah suasana kecenderungan perilaku elit politik dan penguasa yang makin hedonistik dan korup itu, tiba-tiba datang kabar yang menggemparkan, dengan tampilnya keterangan pers Mantan Kabareskrim Kombes (Pol) Susno Duadji, yang terang-terangan menuduh terjadi praktek Makelar Kasus (Markus) di antara para jendral dan Perwira Menengah Polri. Praktek Markus ini kata Susno dilakukan Brigjen (Pol) Raja Erisman dan Brigjen (Pol) Edmon Ilyas yang kini menjabat Kapolda Lampung. Perang antar Polri pun kini berkobar kembali antara Susno versus Polri. Penegak hukum terkait kasus penggelapan pajak senilai 24,6 Milyar Rupiah, ini juga diserang Susno ikut terlibat, yakni Jaksa Cyrus Sinaga, dan para hakim yang mengadili kasus Gayus Tambunan yang semula menyimpan uang Rp 24,6 M, dalam tabungannya.

Rincian kasus menggemparkan ini adalah : adanya simpanan mencurigakan dalam tabungan pegawai Dirjen Pajak Gayus Halomoan P.Tambunan (30 th), sebesar 25 Milyar Rupiah.Dianggap mustahil pegawai rendahan Dirjen Pajak (Pangkat 3a) memiliki uang sebesar itu. Pengusutan Bareskrim dan pengadilan membongkar uang tersebut hanya sah dimiliki Gayus sebesar Rp 395 juta saja. Sisanya , Rp 24,65 M,dianggap uang siluman yang dititipkan tokoh misterius Andi Kosasih. Namun sungguh aneh Gayus Tambunan tidak dicurigai dan dibuktikan Tindak Penggelapan Pajak yang dilakukannya, malah ia dibebaskan dengan hukuman enam bulan penjara dengan percobaan satu tahun. Artinya Gayus dibebaskan.

Sementara Brigjen Raja Erisman Sebagai Direktur Ekonomi Bareskrim, dicurigai Susno terlibat. Pasalnya ia membuat surat pencabutan blokir uang Rp 24,65 M itu pada 26 Nopember 2009, saat Susno sudah dicopot jabatannya sebagai Kabareskrim dua hari sebelumnya, 24 Nopember 2009. Masa transisi jabatan ini dipakai untuk melepas blokir uang haram itu,”Jadi jendral ini harus ditangkap Kapolri malam ini, dan segera diborgol dan dijebloskan ke penjara,: kata Susno berapi-api. Di tempat terpisah, Brigjen Raja Erisman, membantah dirinya bersalah. Katanya, saat ia membuat surat penghapusan blokir simpanan uang Gayus Tambunan itu, Kabareskrimnya masih dijabat Susno, karena serah terima jabatannya baru berlangsung 30 Nopember 2009. Bantahan ini pun disanggah Susno, bahwa masa transisi seperti itu, jabatan Kabareskrim menjadi tanggungjawab Wakabareskrim. Saat transisi itu Susno mengaku tidak lagi ngantor dan justru pulang kampung ke Pagar Alam Sumatera Selatan.

Hari-hari ini masyarakat luas menyaksikan melalui layar televisi dan pemberitaan lainnya, antar Jendral Polri, kini saling mengecam dan mengutuk.Jaksa pun yang terlibat dan terkait kasus ini juga ikut nimbrung saling hantam satu sama lain. Semua yang terlibat justru aparat penegak hukum negeri ini. Di tengah hedonisme yang merajalela, korupsi yang omong-kosong diberantas, semua peristiwa yang menghentak ini terjadi. Susno Duadji, dicatat khalayak sejak kasus Cicak-Buaya. Susno mencuat namanya dan dianggap tokoh yang dikorbankan oleh situasi yang tidak mendukungnya. Kini Susno merasa dibuang secara tidak adil. Ironisnya, institusinya sendiri ikut menenggelamkan kariernya. Sebagai Kabareskrim, sebagai Jendral Bintang Tiga, jabatan puncak Polri (sebagai Kapolri) mungkin sudah terbayang di depan mata. Tiba-tiba ia dilengserkan.

 Buat masyarakat luas, image atau citra Polri belumlah bergeser terlalu jauh dari citra negatif. Ungkapan “Prit Jigo” yang terkenal itu kini masih terjadi di jalan-jalan seluruh negeri. Ungkapan ini pun belum hilang,”Jika seeorang kehilangan seekor kerbau, ia akan kehilangan seekor kerbau lagi jika ia melapor ke kantor polisi. Sungguh menyakitkan citra Polri hingga saat ini. Walau demikian, kini rakyat mengelu-elukan Jendral Susno Duadji, untuk membabat kejahatan itu siapapun pelakunya. Tampaknya Susno akan terus “Bernyanyi” dan akan terus memakan korban tanpa kecuali. (HM.Aru Syeif Assadullah)


latestnews

View Full Version