View Full Version
Selasa, 13 Apr 2010

Jika Bukan Pajak, Lalu Apa?

Oleh: KH. A. Cholil Ridwan, Lc

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pak Kiyai, jika negara tidak mengandalkan pendapatannya dari pajak, apakah menurut Islam ada sumber pendapatan dari pos lainnya?. Syukran atas jawabannya.



Dani, Surabaya


Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Ya, memang benar bahwa dalam konsep keuangan Islam pajak bukanlah merupakan pos pendapatan utama sebuah negara. Pajak (dharibah) sebagaimana yang telah saya jelaskan pada edisi yang lalu hanyalah pos darurat yang akan dipungut oleh negara kepada warga negara tertentu jika keuangan negara dalam kondisi kritis.

Ini merupakan kebalikan dari negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, seperti Indonesia sekarang. Berdasarkan Nota Keuangan dan RAPBN 2010 yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan RI, rata-rata penerimaah dari sektor pajak sejak tahun 2005-2008 adalah 67,8 %, sementara Penerimaan Negara  Bukan Pajak (PNBP) hanya 32, 2% dari total penerimaan seluruhnya. Pada tahun 2009 penerimaan perpajakan berjumlah Rp. 652,1 Triliyun, sementara PNBP hanya Rp. 219,5 Triliyun.

Sementara itu, jika kita bicara tentang sistem keuangan Islam mayoritas para ekonom maupun praktisi ekonomi Islam akan menjawab bahwa zakat (dengan berbagai ragamnya) adalah pos pendapatan yang utama. Tentu anggapan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab selain zakat, bagi negara yang menerapkan syariah Islam secara kafah, termasuk dalam sistem keuangannya, pos penerimaan Baitul Mal sangat banyak ragamnya. Abu Ubaid dalam Kitab Al Amwal, menjelaskan secara gamblang pos-pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya. Dalam kitab tersebut, Abu Ubaid menulis secara lengkap pos penerimaan negara dan alokasi pendistribusiannya seperti fai’, khumus, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, dan tentu saja, zakat.

Penjelasan tentang pos penerimaan negara secara lengkap dan sistematis diberikan oleh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah. Menurut Zallum, setidaknya terdapat 12 Pos penerimaan tetap Baitul Mal. Ke-12 pos penerimaan tetap Baitul Mal itu adalah:

1. Anfal, Ghanimah, fai’ dan khumus.
Anfal dan ghanimah bermakna sama. Ibnu Abbas dan Mujahid ketika ditanya tentang anfal  dalam ayat “mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anfal.” (QS. Al Anfal [08]: 1) berpendapat bahwa anfal itu adalah ghanimah. yang dimaksud dengan anfal dan ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan di medan perang. Harta tersebut bisa berupa uang, senjata, barang-barang dagangan, bahan pangan dan lain-lain.
   
Fai’ adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir tanpa pengerahan pasukan berkuda maupun unta, juga tanpa kesulitan serta tanpa melakukan peperangan. Hal ini pernah terjadi pada Bani Nadhir dan Fadak.

Sementara yang dimaksud khumus adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah, sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al Anfal [08]: 41. Harta ini merupakan salah satu pos penerimaan baitul mal.

 2. Kharaj.
Kharaj adalah hak yang dikenakan atas lahan tanah yang telah dirampas dari tangan kaum kafir, baik melalui cara peperangan maupun perjanjian damai. Kharaj terbagi menjadi dua, kharaj ’unwah (paksaan) dan kharaj sulhi (damai).
 
 3. Jizyah. Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada pemerintahan Islam.

 4. Harta kepemilikan  umum.
Harta milik umum (milkiyah amah) adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama umat Islam. Individu-individu diperbolehkan untuk mengambil manfaat dari harta tersebut, tetapi tidak diperbolehkan untuk memilikinya secara pribadi.

Harta kepemilikan umum mencakup tiga jenis, yaitu: (1) Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, padang rumput (hutan) dan api (sumber energi); (2) Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, kereta api, PAM, dsb; (3) Barang tambang (SDA) yang jumlahnya tidak terbatas, seperti tambang minyak bumi, gas alam, nikel, batu bara, emas, tembaga, uranium, dan sebagainya.

Semua jenis harta ini dikelola sepenuhnya oleh negara untuk kesejahtaraan rakyat. Individu maupun swasta, apalagi swasta asing (seperti Shell, Chevron, Exon Mobil, Newmont, Freeport), dilarang untuk mengelola apalagi memilikinya.

 5. Harta milik negara yang berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya.

 6. Harta ‘Usyur. Usyur adalah hak kaum muslim yang diambil dari harta serta perdagangan ahlu dzimah dan penduduk darul harbi yang melewati perbatasan negara Khilafah.

 7. Harta haram para penguasa dan pengawai negara, harta hasil kerja yang tidak diijinkan syara’, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang lainnya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah suap (risywah), hadiah/hibah, harta yang diperoleh dengan kesewenang-wenangan dan paksaan, hasil makelar dan komisi (gratifikasi) para penguasa dan aparat negara, korupsi (ikhtilas), dan denda.

 8. Khumus  (seperlima) barang temuan (rikaz) dan barang tambang.

 9. Harta yang tidak ada ahli warisnya dan harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris.

10. Harta orang-orang murtad.

11. Pajak (dharîbah).

12. Harta zakat. Zakat diwajibakan pada harta-harta berikut: (1) Ternak, yaitu unta, sapi, kambing; (2) Tanaman (hasil pertanian) dan buah-buahan; (3) Nuqud/mata uang; (4) Perdagangan (tijarah).

Demikianlah pos-pos penerimaan Baitul Mal menurut Islam. Nampak dengan jelas bahwa Negara Islam bukanlah negara pajak. Wallahu A’lam Bi Showab.


latestnews

View Full Version