View Full Version
Jum'at, 16 Apr 2010

Reformasi Birokrasi dan Remunerasi Akan Sia-Sia

Hendri Saparini, Ph.D
(Managing Director ECONIT)

Meski mendapat remunerasi sehingga penghasilan sangat tinggi, namun ternyata pegawai Kementerian Keuangan (Kemkeu) termasuk Ditjen Pajak masih melakukan korupsi bahkan secara gila-gilaan. Bayangkan, Gayus Tambunan pegawai Ditjen Pajak golongan III A dengan masa kerja 5 tahun dan berusia 30 tahun serta gaji bulanan Rp 12,7 juta, ternyata mempunyai rekening Rp 28 miliar. Logikanya, apalagi pegawai Ditjen Pajak yang berpangkat lebih tinggi dari Gayus, bisa jadi rekeningnya ratusan miliar rupiah bahkan triliunan rupiah.

Dengan jumlah pegawai Ditjen Pajak mencapai 32.000 orang diseluruh Indonesia, seandainya yang bermental korup seperti Gayus 10 persen saja, maka hasil korupsi mereka mencapai 3200 X Rp 28 miliar = Rp 94,6 triliun, sementara target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp 734 triliun. Dengan demikian, uang negara yang dikorupsi pegawai pajak lebih dari 10 persen target penerimaan negara dari sektor pajak. Padahal diperkirakan yang bermental korup seperti Gayus lebih dari 10 persen bahkan ada yang memprediksi hingga 50 persen pegawai Ditjen Pajak bermental korup seperti Gayus dan mempunyai rekening melebihi Gayus.     

Seharusnya skandal korupsi yang menimpa Kementerian Keuangan sekarang ini menjadi tanggungjawab penuh Menkeu Sri Mulyani. Sebelumnya Sri Mulyani tersandung skandal Century sebesar Rp 6,7 triliun. Seharusnya Presiden SBY bertindak tegas dan tidak plin-plan serta ragu-ragu, sudah sejak awal skandal Century terungkap, Sri Mulyani harus dicopot dari jabatannya dan diajukan ke meja hijau. Namun hingga sekarang ternyata Sri Mulyani masih bebas berkeliaran dengan membuat keputusan strategis di Kemkeu, padahal DPR dari hasil Pansus Century sudah meminta Presiden SBY mencopot Menkeu Sri Mulyani dan meminta Wapres Boediono mundur. Apalagi sekarang skandal Century belum selesai, sudah muncul skandal pajak yang memalukan dan menjadi tanggungjawab penuh Menkeu Sri Mulyani. 

 
Terungkapnya skandal korupsi di Ditjen Pajak ini meuunjukkan remunerasi yang digagas Menkeu Sri Mulyani telah gagal total. Jangankan meningkatkan kinerja pegawai Kemkeu, program remunerasi hanya pemborosan keuangan negara, apalagi dan setiap tahunnya mencapai Rp 15,2 triliun. Terbukti penerimaan negara dari sektor pajak tidak mencapai target, apalagi tahun ini diperkirakan akan menurun drastis seiring dengan aksi jutaan  rakyat boikot pajak yang digerakkan melalui facebook.

Semakin jelas, perlindungan Presiden SBY yang diberikan kepada menkeu Sri Mulyani dan Wapres Boediono, akan merupakan kesalahan paling fatal yang telah diperbuat SBY bersama Partai Demokrat dan rezimnya. Rakyat akan semakin benci dengan kinerja periode kedua pemerintahannya, sehingga pada Pemilu 2014 nanti “palu godam rakyat” akan dijatuhkan diatas kepala SBY beserta Partai Demokrat yang didirikannya. Rakyat akan menvonis Partai Demokrat, sehingga perolehan suaranya akan mengalami penurunan drastis.

Berikut ini wawancara Abu Ihya dari Tabloid Suara Islam dengan Hendri Saparini,Ph.D, Managing Director Econit, seputar remunerasi dan reformasi birokrasi, apakah akan berhasil ataukah justru akan mengalami kegagalan.     


Adanya remunerasi di Kementerian Keuangan (Kemkeu), tetapi korupsi tetap terjadi seperti dalam kasus Gayus Tambunan. Bagaimana tanggapan anda ?

Remunerasi adalah salah satu strategi yang dikeluarkan Menteri Keuangan (Menkeu). Sesuai dengan keputusan Menkeu untuk peningkatan pendapatan pegawai. Jika pendapatan meningkat maka kinerja meningkat, Ini adalah formula atau rumusan yang ditawarkan Menkeu dalam reformasi birokrasi. Mengapa remunerasi diberikan tetapi korupsi tetap terjadi ? Dalam reformasi birokrasi termasuk reformasi perpajakan, ada banyak faktor yang diimplementasikan tidak sekedar remunerasi.  Selain remunerasi gaji, ada juga tunjangan sistim reward dan punishment, penempatan pegawai sesuai dengan kapasitasnya dan kemampuannya, perbaikan moralitas, sistim rekruitmen dan sebagainya, jadi ada banyak faktor.

Dalam reformasi birokrasi, mesti digunakan logika dalam melihat permasalahan dan segmen kebijakan apa yang harus didahulukan. Bisa dibayangkan pada saat sistim reward dan punishment belum, peningkatan kapasitas buildingnya belum diperbaiki, kapasitas moralnya belum diperbaiki, penempatan the right man and the right place belum dilakukan, tiba-tiba diberikan remunerasi yang luar biasa besar. Siapa yang menjamin itu akan meningkatkan kinerja dan menghentikan korupsi.

Dalam penataan kebijakan yang terjadi sekarang ini, mengapa remunerasi sejak 2007 oleh Kementerian Keuangan dan diikuti lembaga lain seperti Mahkamah Agung (MA) yang sudah diberi remunerasi, sekarang akan diikuti Kementerian lain dan Bappenas dan BPKP. Setiap Kementerian saling berlomba untuk bisa menjadi birokrasi reward. Dengan demikian reformasi birokrasi identik dengan kenaikan gaji. Sebagai konsekwensi peningkatan kapasitas atau relokasi untuk kemampuan, ini yang tak ada.

Apakah reformasi Kemkeu sebesar Rp 15,2 triliun, diambilkan dari utang Bank Dunia ?
Bukan begitu. Untuk remunerasi Kemkeu setiap tahun  diperlukan anggaran Rp 15,2 triliun. Dalam remunerasi Kemkeu ada levelnya 1 sampai 27.  Untuk golongan 1 A dapat Rp 1,33 juta. Sedangkan eselon 1 atau level 27 dapat Rp 46,95 juta setiap bulannya, ini pendanaan luar biasa. Maka setiap Kementerian saling berlomba untuk mendapat remunerasi.

Darimana dana remunerasi ?

Dana remunerasi semuanya dari APBN. Kalau sumbernya dari utang, memang APBN dananya campuran termasuk dari utang. Semua pendanaan masuk dan digunakan antara lain untuk remunerasi. Kalau didapatkan dari utang, memang keuangannya sudah blended atau campuran.

Bagaimana dengan reformasi perpajakan ?

Untuk reformasi perpajakan berbeda, karena mengikuti cara berfikir reformasi birokrasi Menteri Keuangan. Tanpa perubahan apapun, tahu-tahu diberikan remunerasi. Juga dibangun sistim informasi dengan biaya sangat mahal. Untuk reformasi perpajakan, setiap tahun diperlukan dana Rp 4 triliun dengan utang Bank Dunia mencapai Rp 1,4 triliun. Malah ada lagi hibah dari Swedia, Australia, Jepang dan negara lainnya. Jadi dana untuk membangun sistim informasi perpajakan itu luar biasa besarnya.

Selama ini reformasi birokrasi hanya dimaknai remunerasi dan pembangunan sistim informasi. Karena hibah dari berbagai negara, maka otomatis sistim yang ditawarkan juga berbeda-beda. Sistim yang berbeda akan memerlukan dukungan dana APBN yang berbeda pula. Jadi yang sekarang ini sementinya sistim informasi bisa membentuk transparansi perpajakan, tetapi kenyataannya tidak. Karena tidak dapat diimplementasikan dan biayanya besar serta membebani APBN.

Adapun yang paling penting adalah karena ini semua, technical assistence para ahli asing dapat masuk ke ruang paling rahasia di Ditjen Pajak, sehingga semua dapat dilihat para ahli asing tersebut. Padahal sebelumnya ada isolasi, siapa yang boleh masuk sampai ke data base yang komplet dan siapa yang tidak boleh masuk. Tetapi dengan adanya sistim ini, sekarang seolah-olah sudah terbuka siapapun bisa masuk kesitu. Seharusnya ini menjadi salah satu faktor penting untuk dilakukan koreksi dalam reformasi perpajakan sekarang ini.

Dengan terbukanya sistim informasi Ditjen Pajak sehingga siapapun bisa mengetahuinya termasuk para ahli asing, bagaimana dampaknya terhadap negara kita ?

Banyak hal bisa terjadi. Jangankan data tentang pembayar pajak dan ekonomi, data tentang jumlah penduduk dan berapa pendapatannya bisa dimanfaatkan oleh banyak pihak termasuk asing. Padahal BPK saja untuk mendapatkan akses untuk audit penerimaan Ditjen Pajak, sampai sekarang tidak diberikan ijin. Tetapi dengan reformasi perpajakan maka Swedia, Jepang dan Australia akan dengan mudah mengakses data tadi.

Padahal kalau sistim informasi sudah direncanakan akan digunakan untuk apa, maka kan bisa bermanfaat. Kalau sistim Ditjen Pajak, Bank Indonesia dan Bea Cukai jadi satu, maka akan ada kongkalingkong. Karena siapapun yang mengimpor datanya sudah sangat transparan dan dia tidak bisa membayar pajak diluar itu. Karena sekarang ini belum terintegrasi, maka cukup kuat digunakan sistim teknologi informasi yang sedemikian mahal, tetapi tidak dapat dimanfaatkan untuk mendukung transparansi.

Dengan keterangan tadi, apakah nantinya reformasi birokrasi akan mengalami kegagalan ?

Kalau yang dilakukan reformasi birokrasi model Menkeu, kemudian diterapkan di semua Kementerian, maka reformasi birokrasi yang diharapkan memiliki birokrasi dengan paradigma untuk kepentingan nasional dan tidak korup serta betul-betul dapat berkiprah dengan baik, saya kira tidak kalau betul-betul reformasi birokrasi menyangkut hal tadi. Ada pengurangan pegawai yang tak terkontrol, tidak ada perbaikan rekruitmen. Tidak akan ada perbaikan kecuali hanya peningkatan gaji pegawai.

Sebanyak 70 persen APBN didapat dari sektor Pajak. Bagaimana tanggapan anda ?

Memang penerimaan APBN 70 persen dari pajak. Karena dalam Washington Consensus, sumber penerimaan negara adalah pajak. Kalau  Indonesia yang kaya sumber daya alam ikut-ikutan penerimaan terbesar dari pajak, jelas ini salah kaprah. Penerimaan pajak kalau Singapur, Jepang atau negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam boleh saja. Sebab darimana lagi kalau bukan dari pajak. Tetapi kalau Indonesia yang kaya sumber daya alam kemudian pajak akan terus ditingkatkan, memang itu benar sesuai dengan liberalisasi. Seharusnya kita memiliki karakteristik ekonomi yang berbeda dengan Singapura dan Jepang.

Jadi seharusnya penerimaan negara didapat dari mana ?

Kalau benar-benar sesuai dengan amanah konstitusi, sumber daya alam harus dikuasai negara, bisa menjadi sumber penerimaan negara. Tambang minyak dan gas bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas yang mungkin dimasukkan dalam APBN. Tetapi sekarang ini sumber daya alam  dikuasai perusahaan swasta asing maupun dalam negeri, dimana mereka cukup membayar pajak dan royalti sekedarnya dengan nilai rendah.

Apa itu berarti Indonesia telah memakai Sistim Kapitalis dan Neolib ?

Ya, karena kita mendasarkan peneriman negara dari pajak dan utang-utang.

Padahal rakyat sebagai pembayar pajak belum dipenuhi hak-haknya oleh negara ?

Apalagi itu, karena pajak kita tidak dikelola dengan baik, seperti pajak kendaraan bermotor yang digunakan untuk memperbaiki transportasi publik seperti jalan, tetapi itu tidak dilakukan. Padahal ada pajak kendaraan bermotor, pajak penerangan jalan dan pajak perumahan, semua  dijadikan satu dalam keranjangnya Kemkeu, setelah itu digunakan untuk pembiayaan, sementara belanjanya tidak dikaitkan dengan sumber penerimaan pajak. Sumber penerimaan pajak dari para pengusaha, masyarakat pembayar pajak. Tetapi sejumlah besar digunakan untuk peningkatan gaji, membayar utang membangun kantor pajak yang mewah. Sekarang sedang dibangun  ratusan kantor pajak baru diseluruh Indonensia dengan nilai ratusan miliar rupaih. Apa itu yang mesti dilakukan dari penerimaan pajak tadi.

Baru-baru ini muncul Laporan Political and Economic Risk Consultancy (PERC), dimana Indonesia menjadi negara terkorup di dunia diatas Kamboja dan Vietnam. Bagaimana tanggapan anda ?

Memang tidak ada upaya pemberantasan korupsi dengan sungguh-sungguh, bahkan sekaarang timbul korupsi berjamaah sehingga memalukan. Bahkan akan dibentuk asosiasi narapidana yang terkait dengan kasus korupsi, seolah-olah mereka merasa tidak bersalah, kan ini aneh ! Ternyata pemberantasan korupsi dengan memenjarakan, tidak membikin jera mereka.

Padahal KPK sudah bekerja selama 8 tahun, mengapa korupsi malah meningkat ?

Ya, tapi kasusnya memang luar biasa banyak. Misalnya kasus Bank Century dan BLBI, kaitannya dengan pengambilan kebijakan. Tetapi yang diungkap hanya yang kecil-kecil yang tidak menyangkut dengan pegambilan kebijakan.

Untuk memberantas korupsi bisa dicari cara terbaik selain dengan perubahan sistim dan hukuman. Misalnya diberikan penggajian kepada pegawai negeri yang sepandan dengan kemampuannya. Kalau masih melakukan korupsi harus ada punishmen yang tegas, itu tidak pernah dilakukan. Seolah-olah rekrutmen pegawai negeri untuk mengurangi pengangguran seperti zaman Orde Baru. Jadi bukan sesuai dengan skill yang diberlakukan dan tempat yang dibutuhkan tetapi sekedar mengurangi angka pengangguran.

Apakah remunerasi dapat menyebabkan terjadinya inflasi dengan naiknya berbagai harga kebutuhan pokok ?

Sebenarnya remunerasi sekarang hanya Rp 5 triliun, kalau menyebabkan inflasi tidak. Tetapi kalau kenaikan gaji seluruh PNS akan menimbulkan ekspektasi inflasi yang tinbggi, saya kira ya. Apalagi jumlah PNS sekarang kurang lebih 3,4 juta orang.

Bagaimana sebaiknya kebijakan remunerasi, apakah dihapuskan atau tetap diberlakukan ?

Remunerasi baru diberikan setelah  faktor-faktor dan prasyarat dalam reformasi birokrasi dan lainnya telah disiapkan. Jadi sebelum  disiapkan, maka pemberian remunerasi akan sia-sai. Sekarang yang terjadi di Ditjen Pajak adalah berlomba-lomba untuk mendapatkan penerimaan yang lebih besar lagi, karena kriteria  kinerjanya tidaklah  jelas. Padahal diluar gaji dan remunerasi, masih ada tunjangan kinerja. Penerimaan pajak dan pertumbuhannya  melambat, tidak dianggap sebagai kinerja yang buruk. Remunerasi itu hanya salah satu faktor di dalam persyaratan reformasi birokrasi. Karena itu kita harus memperhatikan urutan pelaksanaannya dan logikanya.

Apakah remunerasi dapat menyebabkan kecemburuan birokrasi lainnya ?

Ya pasti, sekarang ini yang terjadi begitu. Alasannya menjadi tidak jelas, mengapa harus Kementerian Keuangan yang mendapatkan remunerasi pertama. Alasannya karena yang mengelola uang besar dan yang bertanggungjawab. Padahal yang mencari uang tidak hanya Kementerian Keuangan saja. Kalau Kementerian Perindustrian sukses dan sektor industri bergerak sehingga mereka membayar pajak, itu berarti keberhasilan kinerja Kementerian Perindustrian.

Sekarang ini alasannya apa, mengapa urutananya adalah Kemkeu, MA dan Kejaksaan yang urusannya  korupsi. Makanya kebijakan remunerasi jelas menimbulkan kecemburuan dan mereka saling berlomba untuk menjadi pihak selanjutnya yang akan menerima remunerasi. (Abu Ihya) 
 
 


latestnews

View Full Version