Biaya remunerasi dan program populis pemerintah ternyata berasal dari utang najis yang menyandera masa depan bangsa ini.
‘’Saya jadi turut nggak enak,’’ keluh Iding, pengurus Dewan Da’wah Islamiyah Propinsi DIY, saat membicarakan tokoh sentral skandal perpajakan, Gayus Tambunan. Soalnya, dua anak pegawai Tata Usaha UIN Sunan Kalijaga Jogja ini kebetulan sedang kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tangerang. Mereka kader-kader birokrat yang kelak akan menggauli perpajakan seperti si Gayus.
Walau sudah lama jadi bisik-bisik tetangga, pat gulipat perpajakan memang menggemparkan dengan terkuaknya fenomena Gayus. Betapa tidak. PNS Ditjen Pajak golongan III A dari kawasan kumuh Warakas, Tanjung Priok, Jakarta Utara, ini menyimpan Rp 25 miliar di rekeningnya. Terakhir Gayus menetap di kompleks real estate Gading Park View Kelapa Gading, Jakarta Utara. Harga rumah termurah di kompleks elite itu sekitar Rp 1,5 miliar.
Tak hanya itu. Tetangga-tetangga Gayus di Warakas menyebutkan bahwa lulusan Diploma IV Akuntansi STAN tahun 2000 itu memiliki sebuah apartemen di Cempaka Mas, Jakarta Pusat. Gayus juga dikabarkan sering berganti mobil saat mengunjungi mertuanya di kawasan Rawa Badak. Kadang Ford Everest, atau Mercy, atau BMW, atau Alphard.
Ternyata, Gayus hanyalah salah satu mata rantai mafia penilap pajak. Jejaring mafia busuk ini meliputi personil birokrat pajak, kejaksaan, kehakiman, kepolisian, dan advokat.
‘’Jangan terpesona dengan penangkapan Gayus. Dia hanya salah satu dan nilainya kecil,’’ mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji mengingatkan. Menurut Susno, ada lagi skandal serupa yang nilainya puluhan bahkan ratusan milyar, dengan master mind dan aktor yang sama.
Pantaslah bila menurut Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, kebijakan remunerasi telah gagal. Kebijakan ini berupa pemberian tambahan gaji kepada pegawai negeri sipil berprestasi, dengan dalih mewujudkan reformasi birokrasi.
Departemen Keuangan menjadi perintis penerapan remunerasi 100% sejak 2007. Di luar gaji bulanan PNS, pegawai Depkeu menerima tunjangan antara Rp 1,3 juta hingga Rp 46,9 juta sesuai dengan grade masing-masing.
Nah, gaji Gayus yang baru berusia 30 tahun, sebenarnya sudah cukup besar. Setiap bulannya ia mendapatkan gaji pokok dan berbagai tunjangan Rp 2,4 juta. Gajinya melonjak setelah remunerasi, yang membuat Gayus ketiban rejeki tambahan sekitar Rp 8,2 juta plus imbalan prestasi kerja rata-rata Rp 1,5 juta sebulan. Sehingga, take home pay Gayus mencapai Rp 12,1 juta/bulan.
Menurut Siti Zuhro saat menyampaikan pemikirannya di DPD Senayan 7 April lalu, hal yang lebih utama dalam reformasi birokrasi adalah mengubah pola pikir para pegawai negeri sipil sehingga memiliki pola pikir yang bersih, dan setia melayani masyarakat. "Kalau belum membersihkan mindset-nya, digaji berapa ratus juta pun, hancur, jebol," kata Zuhro. Hasilnya, meletuslah puncak ‘’gunung es’’ Gayus.
Akibatnya, kebanggaan orang-orang seperti Iding yang anaknya mampu menembus sulitnya bangku kuliah STAN, luruh. Bahkan, pegawai kantor pajak kini merasa bagai pesakitan. Kondektur bus kota dan angkot yang mereka tumpangi, kini tak lagi meneriakkan ‘’pajak-pajak’’ ketika mau sampai halte kantor perpajakan. Mereka ganti berteriak ‘’gayus-gayus’’. Para penumpang pun ramai menggunjingkan Gayus dan menajiskan tanpa ampun para pegawai pajak.
Begitulah, hasil remunerasi yang dibiayai dari utang luar negeri. "Sangat memalukan, ternyata remunerasi berasal dari utang Bank Dunia, anggarannya sekitar Rp 12,9 triliun dalam APBN 2010," ungkap mantan Menkeu Rizal Ramli, dalam diskusi bertema ‘'Polemik Remunerasi, korupsi, dan Mafia Pajak'’ di Jakarta, 3 April lalu.
Menurutnya, remunerasi merupakan kebijakan Menkeu yang sangat sembrono. ‘’Seharusnya yang dilakukan Menteri Keuangan untuk memberantas mafia dan budaya korupsi paling utama adalah meningkatkan kinerja dan efesiensi terlebih dulu, baru remunerasi," kata Rizal.
Padahal, dalam kampanye pilpres 2009, salah satu yang digembar-gemborkan rejim SBY adalah pelunasan utang IMF. Memang benar, pada 2007 Indonesia melunasi sisa pinjaman IMF sebesar US$ 3,2 miliar. Tapi, bukan berarti Indonesia negara bebas utang. Bahkan sampai akhir Januari 2009, total utang Indonesia mencapai Rp 1667 triliun. Jumlah utang ini tertinggi sejak tahun 2001.
Selama masa pemerintahan SBY, jumlah utang dalam negeri Indonesia juga terus melesat. Yakni: pada 2004 sebesar Rp 662 triliun, tahun 2005 Rp 656 triliun, tahun 2006 Rp 748 triliun, tahun 2007 Rp 801 triliun, tahun 2008 Rp 906 triliun dan tahun 2009 Rp 920 triliun (www.dmo.or.id).
Begitupun, menurut Koordinator Koalisi Anti Utang, Kusfiardi, pelunasan utang IMF bukanlah tindakan terpuji. Sebab, pinjaman IMF adalah ‘’utang jahat’’ sebagai bentuk kolonialisasi atas Indonesia. Karena itu, menurut legislator Dradjat Wibowo, justru merupakan bentuk kejahatan terhadap rakyat bila pemerintah tidak mengupayakan moratorium (penghapusan) utang IMF.
Toh, pemerintah SBY memilih menjadi good boy di mata IMF dengan meluansi utangnya tanap reserve. Tujuannya, agar gampang ngutang kembali, seperti tahun lalu.
Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu, 8 Pebruari 2010, pemerintah memiliki utang US$ 169,13 miliar atau setara dengan Rp 1.589,78 triliun. Utang terdiri dari pinjaman US$ 64,93 miliar dan surat berharga US$ 104,2 miliar.
Tahun 2010 ini, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 8,270 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. Angka ini terdiri pokok utang US$ 5,754 miliar dan bunga US$ 2,517 miliar.
Untuk tahun 2011, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 7,474 miliar, yang terdiri pokok utang US$ 5,127 miliar dan bunga US$ 2,347 miliar.
Gunung utang tadi, sebagian digunakan untuk kebijakan populis SBY seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), PNPM Mandiri, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Tahun 2008, Bank Dunia menggelontorkan dana PNPM Mandiri USD 400 juta. Utang ini harus dikembalikan pada 2030, seperti yang tercantum dalam Loan Agreement Nomor 7504-ID yang ditandatangani 6 Juni 2008 .
World Bank juga mendanai program BOS senilai USD 600 juta, yang harus dibayar hingga 2033.
Padahal, there is no such free lunch. Tak ada makan siang gratis. Presiden Amerika John F Kennedy sejak 1962 sudah mengatakan: “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode Amerika Serikat untuk mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia...” (Magdoff, The Age of Imperialism).
Sebuah studi yang dilakukan Teresa Hayter mengungkapkan syarat-syarat pemberian utang luar negeri, yaitu: (a) pembelian barang dan jasa dari negara pemberi pinjaman; (b) pelarangan nasionalisasi perusahaan asing; (c) dorongan untuk melakukan kebijakan ekonomi yang dikehendaki, terutama peningkatan peran sektor swasta dan pembatasan campur tangan langsung pemerintah dalam bidang ekonomi, seperti privatisasi.
Berdasarkan ketiga syarat tersebut, menurut Hayter, utang luar negeri membuat negara-negara debitur menyesuaikan kebijakan politiknya dengan kemauan lembaga atau negara pemberi bantuan. (nurbowo)