View Full Version
Senin, 10 May 2010

Tebuireng, Pesantren di Kampung Jahiliyah

Sebelum berdiri sebuah pesantren, desa Tebuireng, Kecamatan Diwek ---sepuluh kilometer selatan Kabupaten Jombang Jawa Timur--- terselimuti “kegelapan” kehidupan jahiliyah.  Tidak saja sebagai sarang penyamun, tetapi juga dipenuhi kehidupan maksiat.

Rumah-rumah bordil berdiri dan semarak kehidupan malam. Bahkan, selayak zaman jahiliyah; pihak yang kuat, menghalalkan cara mengumpuli istri orang yang dikehendaki. Jika niatnya terhalang oleh suami, maka tidak jarang jiwa menjadi taruhannya.

Di tengah kondisi masyarakat demikian, mendirikan pesantren bukan pekerjaan mudah.. Sangat besar pengorbanan  bahkan nyaris merenggut jiwa. Namun, Hadratus Syeih KH. Muhammad Hasyim Asj’ari, yang akrab dipanggil Kiai Hasyim, tidak mundur dari niat.  Pesantren Tebuireng, resmi berdiri pada tanggal 26 Rabiul Awal 1324 H bertepatan dengan 6 Februari 1899 M. Tujuh tahun berikutnya (tahun 1906) mendapat pengakuan Pemerintah Hindia Belanda.

Kiai Hasyim, juga akrab disapa Kiai Tebuireng. Mendirikan pesantren, juga berusaha menumbuhkan kondisi desa yang aman. Tidak saja melalui pendekatan, tetapi tak jarang juga harus dengan kekuatan fisik---hampir berbentuk peperangan kecil--- menuntut kesungguhan hati dan kewaspadaan. Mengusahakan desa yang semula dipenuhi kegiatan mufsid menjadi desa aman, merupakan keharusan bagi berdirinya sebuah pesantren, agar aman bagi pendatang yang berniat menuntut ilmu.

Kiai. Hasyim sampai harus minta bantuan teman sejawatnya. Diantaranya Kiai Shaleh Bendo, Kiai Abdullah Pengurungan, Kiai Syamsuri Wonontoro, Kiai Abdullah-Djalil Buntet dan Kiai Shaleh Bendo-Kerep. Lambat tapi pasti, usaha membuahkan hasil. Segala fitnah dan ancaman, berangsur berkurang dan hilang. Rumah-rumah untuk kegiatan maksiat, satu per satu berubah; Kegiatan maksiat menjauh dari Tebuireng. Sebaliknya, jumlah santri bertambah. Setiap siang dan malam terdengar Al Quran dibaca.

Tahun pertama, santri hanya 28 orang yang setia, ikut berjuang menegakkan pesantren. Hanya beberapa tahun berikutnya, santri sudah lebih seratus orang berasal dari daerah-daerah di Jawa dan luar Jawa.

M. Irfan Yusuf, cucu Hadratus Syeih KH. Hasyim Asj’ari ketika ditemui (Minggu, 25 April 2010) mengungkap, jumlah santri di Pesantren Tebuireng setiap tahun senantiasa mengalami fluktuatip. Pernah hingga mencapai lebih dari 2.000 santri. Kini, ketika sebagian besar fasilitas, gedung asrama dan tempat belajar, di renovasi besar-besaran, jumlah santri justru mengalami penurunan. “Kini, jumlah santri sekitar 1.600 orang. Penurunan demikian, agaknya juga dialami banyak pesantren lainnya di sekitar Jombang,” ungkapnya dengan tanpa memberi gambaran penyebabnya.

Kendati demikian, tetap optimis, Tebuireng sejak ratusan tahun silam, sudah tumbuh menjadi desa, dan InsyaAllah, senantiasa dilimpahi ridla dan maghfirah Allah sebagai desa makmur. Pesantren ini, tetap didatangi kalangan muda usia dari seluruh pelosok tanah air yang berniat menuntut ilmu. Semula tidak dikenal dan tidak diperhitungkan orang, berubah menjadi bahan pembicaraan setiap kaum muslimin. Para orang tua mempertimbangkan Tebuireng, sebagai tujuan pengiriman anak-anaknya untuk memperoleh pendidikan agama Islam.

Nahdlatul Ulama (NU), lahir di pesantren ini tahun 1926. Melalui NU ini,  khalayak menjadi lebih mengetahui pribadi Kiai Hasyim. Semula mengira, pesantren yang didirikan Kiai Hasyim, tidak berbeda dengan pesantren lain pada umumnya. Ternyata, pesantren Tebuireng berbeda. Dibangun senantiasa  menyesuaikan perkembangan zaman.

Gerakan Pembaharuan Di Tebuireng

KH.Muhammad Hasyim Asy’ari, tidak menolak setiap perkembangan seiring tuntutan zaman, memungkinkan Pesantren Tebuireng berkembang menembus zaman. Didorong penentangan terhadap penjajahan, pada permulaan, Tebuireng hanya mementingkan pengajaran agama. Mengharamkan pengajaran umum; seperti bahasa asing, huruf latin dan berhitung yang dianggap memiliki kedekatan dengan sistim pengajaran penjajah. Demikian pula cara berpakaian; mengenakan celana panjang, heim lengan panjang dan berdasi, juga dianggap memiliki kedekatan dengan sekolah kaum penjajah.

Pembaharuan Pesantren Tebuireng diawali kedatangan Kiai Muhammad Ilyas, keponakkan Kiai Hasyim, dan KH. Abdul Wahid, putra Kiai Hasyim. Kedua pemuda ini, lama bermukim di Makkah. Tahun 1935, diminta menyumbangkan pemikiran untuk pembaharuan sistim pengajaran di Tebuireng. Kiai Ilyas dipercaya sebagai lurah Pondok dan meningkat, ditunjuk menjadi kepala Madrasah Salafiyah.

Kepercayaan diemban, untuk melakukan pembaharuan di pesantren Tebuireng. Sejak itu mulailah surat kabar, majalah dan kitab ilmu pengetahuan umum,  masuk ke pesantren. Dibaca Ulama dan santri. Sebelumnya bahan-bahan bacaan, tertulis dengan huruf latin, berbahasa Indonesia dan Belanda, dianggap termasuk masalah duniawi, yang tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan dunia pesantren. Kiai Ilyas memikirkan perbaikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Maka, dimasukan pengajaran umum ke dalam madrasah; meliputi menulis dan membaca huruf latin, mempelajari bahasa Indonesia dan Belanda, Ilmu Bumi, Sejarah Indonesia dan Berhitung.. 

Tebuireng Zaman Kemajuan

Kiai Hasyim membangun tidak sia-sia. Semasa hidupnya, masih sempat menyaksikan pesantren Tebuireng, menjadi pesantren besar. Sejak ia mendirikan sampai ia meninggal dunia, tetap menjadi guru dan pemimpin pesantren Tebuireng itu. Dari desa tandus penuh belukar, Tebuireng menjadi sebuah pesantren luas, baik dan teratur. Dari 28 orang santri Tebuireng, tumbuh dengan ribuan santri, daei tingkat Madrasah Tsanawiyah, Aliyah hingga  Perguruan Tinggi.

Alumninya tersebar di seluruh Nusantara, dan dalam waktu pendudukan Pemerintahan Jepang, masa kemerdekaan dan hingga sekarang, banyak yang memegang jabatan-jabatan penting di dalam Pemerintahan, di antaranya beberapa orang menjabat sebagai Perdana Menteri,  Menteri, Imam Masjid Negara (Istiqlal), serta jabatan lainnya.

Diantaranya Putra Kiai Hasyim, yaitu K.H.Abdul Wahid Hasyim, tiga kali perubahan Kabinet di dalam tahun 1950-an, menjabat sebagai Menteri Agama. Cucu Kiai Hasyim---putra KH.A.Abdul Wahid Hasyim--- yaitu  KH. Abdurrahman Wahid, terpilih sebagai Presiden. Wafat, dan dimakamkan di komplek pemakaman keluarga di tengah pesantren, memicu peningkatan jumlah peziarah yang signifikan. Datang dari segala penjuru tanah air. Tebuireng, menjadi pusat perhatian.  

Berada di 10 km selatan Kota Jombang, dekat Pabrik Gula (PG) Cukir. Di pinggir tepi jalan raya arah Jombang-Kediri atau Jombang-Malang, sangat mudah dijangkau. Kecuali makam, juga mendapat perhatian khalayak adalah masjid tua di tengah pesantren. Tidak saja sebagai tempat sembahyang berjama’ah, tetapi juga sebagai tempat memberi kuliah kepada santri dan mahasiswa. Terdiri dari dua bagian; Satu bagian, khusus tempat ibadat terletak didepan Mighrab. Satu bagian lagi, adalah pendopo ---di bagian depan--- sebagai tempat mengaji. Renovasi terakhir, masjid tua dan Mighrab-nya, tetap dipertahankan.

Di pendopo ini santri dan mahasiswa, menerima kuliah langsung dari mahaguru, Pada masa hidupnya,  Kiai Hasyim, setiap hari duduk di pendopo mengajar hingga larut malam. Menyampaikan Fiqh,  Hadits dan Tafsir. Sangat menarik. Kiai Hasyim, sebulan penuh selama Ramadhan memberi kuliah Ilmu hadits (Buchari dan Muslim). Kiyai-kiyai alumni yang sudah memimpin pesantren kembali ke Tebuireng, mengikuti kuliah istimewa mengenai hadits ini. 

Hingga kini, Pesantren Tebuireng masih mempertahankan pengajian dengan cara ‘Am atau  konvensional seperti dilakukan Kiai Hasyim. Disamping juga menerapkan pengajaran cara madrasah atau Nizam, mulai  tingkat rendah hingga perguruan tinggi. Tebuireng, tak ubahnya seperti Universitas Al-Azhar kecil. Terdapat dua pengajaran; ‘Am (cara pesantren) dan Nizam (cara Madrasah). Pengajaran agama dan umum di madarasah, dimulai dari tingkat rendah. Madrasah salafiyah, mempunyai enam tingkat (kelas), ditambah satu sifir, yaitu sebelum kelas satu.  Masa kepemimpinan K.H.Abdul Wahid Hasyim (periode 1947-1950), dan dilanjutkan K.H. Cholik Hasyim (Periode 1952 – 1965), terdapat  reorganisasi pengajaran  kearah lebih modern.

Kepemimpinan KH. M. Yusuf Hasyim (1965 – 2006) meneruskan reorganisasi dan, memperkuat dengan membentuk madrasah khusus memperdalam bahasa dan sastra Arab. Jalur pendidikan formal; membentuk madrasah Salafiyah lebih sempurna. Pada tahun 1970, dibuka sekolah persiapan yang menampung siswa drop out sekolah umum (SMP dan SMA) selama dua tahun, sebelum masuk pendidikan agama di pesantren. Kemudian pada tahun 1975 berdiri SMP dan SMA Abdul Wahid Hasyim, memberi kesempatan yang ingin bersekolah umum berasrama, pada malam hari  memperoleh pendidikan agama di pesantren.

Masih menurut M. Irfan Yusuf, pada periode ini tepatnya tahun 1967, berdiri Universitas Hasyim Asj’ari dengan Fakultas Dakwah dan Tarbiyah. Selanjutnya, Universitas menjadi Institut Keislaman Hasyim Asj’ari (IKAHA) dengan tiga fakultas; Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah. Berdiri pula Koperasi Pondok Pesantren (1973) Sarana penunjang pendidikan lain, beriri Perpustakaan besar Abdul Wahid Hasyim (1974) yang dilengkapi Pusat Data Pesantren. Kemudian, Usaha kesehatan Pondok Pesantren dan Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994) yang pada tahun 1998 berkembang menjadi Warung Internet. 

Madrasah khusus untuk memperdalam bahasa dan sastra Arab, melanjutkan rintisan Kyai Wahid Hasyim yang menyelenggarakan pengajaran bahasa asing, yang dinamakan An-nizam. Pada cabang pengajaran ini, santri  berkesempatan memperdalamkan pengetahuan bahasa dan sastra asing, meliputi bahasa Indonesia, Arab dan Inggris.

Berasal dari perjuangan  Kiai Hasyim. Tebuireng kini, merupakan gambaran tidak menyimpang dari cita-cita pendirinya. Menghasilkan ratusan ribu alumni, tidak sedikit yang kemudian menjadi pimpinan bangsa  dan politik,  berhasil menjabat pada posisi penting dalam masyarakat dan kenegaraan. (Muhammad Halwan)


latestnews

View Full Version