KPK sowan ke kantor pejabat negara untuk memeriksa skandal Century. Menkeu Sri Mulyani menyambut dengan senyum dan baju baru.
"Apa ya, pakai baju baru saja," jawab Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat ditanya wartawan mengenai persiapannya jelang diperiksa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ketika itu, Menteri Sri tampak santai, banyak senyum, dan percaya diri. Dia memang tampak sedikit lelah, setelah mendarat di Jakarta dari Washington mengikuti pertemuan IMF dan Bank Dunia kemudian langsung mengikuti Musrenbangnas 2010 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (28/4/2010).
Esoknya, Kamis (29/4) mantan Ketua KSSK Sri Mulyani dan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, akhirnya diperiksa KPK. Tapi, tidak seperti lazimnya, pemeriksaan kali ini berlangsung di kantor masing-masing pejabat. Aparat KPK mendatangi Menteri Sri di Kantor Menteri Keuangan, dan menyambangi Wapres Boediono di Wisma Negara. Pemilihan tempat pemeriksaan Boediono ini seakan menegaskan jika Wapres adalah simbol kenegaraan sebagaimana presiden.
Menurut inisiator pengunaan hak angket skandal Century dari Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo, tindakan KPK ‘’sowan’’ ke pejabat terperiksa menunjukkan suatu kemunduran. ‘’Dan itu berarti melemahkan institusi KPK sendiri,’’ tandas politisi Golkar ini.
Hasilnya, mudah ditebak. Tidak ada hal yang baru atau kemajuan dari pemeriksaan tersebut. Kedua pejabat sekadar mengulang-ulang apa yang sudah mereka sampaikan di sidang Pansus Century DPR.
Padahal, dalam suratnya tentang keputusan hasil rapat paripurna mengenai hasil angket kasus Bank Century 3 Maret 2010, DPR mengimbau Presiden SBY segera menonaktifkan Sri Mulyani dan Boediono. Masing-masing selaku Menkeu RI dan Gubernur BI, mereka diduga menyalahgunakan wewenang dalam proses pengambilan keputusan penalangan (bailout) Bank Century Rp 6,7 triliun pada November 2008.
Selanjutnya, DPR merekomendasikan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Sri Mulyani dan Boediono itu dilimpahkan ke lembaga penegak hukum.
Menurut Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, hanya KPK lembaga penegak hukum yang mungkin diharapkan untuk membuka tabir skandal Bank Century.
Karena itu, ia mengharapkan KPK tidak menunda-nunda penyelesaian skandal Bank Century. ‘’Yang pasti, masyarakat tidak hendak melihat penyelesaian skandal Bank Century memasuki jalur lambat,’’ ujar dia.
Mendapat tekanan bertubi-tubi dari publik dan sebagian legislator, KPK mulai bertindak. Tapi, belum lagi ia mulai memeriksa Menkeu dan Wapres, KPK kembali dihantui kriminalisasi.
Pada 14 April lalu, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memerintahkan agar perkara anggota KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, dilanjutkan ke pengadilan. Hal itu setelah gugatan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo dikabulkan.
Dengan demikian, Bibit dan Chandra harus bersiap menjadi ‘’cicak’’ yang terkurung di sel tahanan ‘’buaya’’. Keduanya dulu dibebaskan setelah Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP) terhadap pimpinan KPK. Salah satu pertimbangannya yakni masalah sosiologis masyarakat. Maksudnya, antara lain, tekanan dari sejuta facebookers waktu itu untuk membebaskan Bibit-Chandra.
Menurut Ray Rangkuti, tragedi itu terjadi karena secara hukum SKPP memang lemah. Lebih dari itu, ‘’keputusan ini juga bagian skenario dari pelemahan KPK," tandas Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Senin (19/4).
Ray menjelaskan, momentum kriminalisasi Bibit dan Chandra kali ini sangat tepat. Yakni, ketika kepercayaan masyarakat pada KPK melemah akibat sikap mereka yang lambat dalam menindaklanjuti skandal Bank Century.
Sementara itu, setelah gagal dengan gagasan membentuk Tim Pengawas untuk mengawal proses hukum tindak lanjut rekomendasi skandal Century, para inisiator Hak Angket Century menyiapkan jurus baru. Mereka menggalang tanda tangan untuk mengajukan Hak Menyatakan Pendapat atas skandal Century.
"Kebenaran itu harus diungkap, selama ini kesannya ditutup-tutupi," ujar Lily Khadidjah Wahid di Gedung DPR RI, Jakarta, 23 April lalu, usai meneken usulan menggunakan Hak Menyatakan Pendapat bersama 100-an anggota DPR yang lain dari berbagai parpol.
Anggota Pansus Hak Angket Bank Century dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gandjar Pranowo, cukup optimis bisa membawa hasil paripurna atas kasus Bank Century ke tingkat hak menyatakan pendapat. “Bisa saja, tapi apakah akan bisa lolos sebagai hak DPR, itu nanti melalui pertempuran politik lagi,” terang Gandjar.
Salah seorang inisiator Hak Menyatakan Pendapat, Bambang Soesatyo, mengatakan, optimisme mereka bukan mustahil mengingat skor akhir di sidang paripurna Hak Angket Kasus Bank Century. Waktu itu kelompok Bambang mencapai lebih dari 300 orang anggota dewan.
Tapi, seperti sebelumnya dalam pengunaan Hak Angket atas kasus yang sama, kali ini pun Lily Wahid yang adik Abdurrahman Wahid, sendirian saja. Fraksi PKB sudah melarang anggotanya menandatangani usulan Hak Menyatakan Pendapat Bailout Bank Century.
Malah, tak hanya PKB, seluruh parpol koalisi kali ini juga bersikap sama. Kesepakatan ini digalang dalam pertemuan parpol koalisi yang digelar Partai Demokrat 26 April lalu.
Namun, Ketua MPR RI Taufik Kiemas dalam diskusi "Mekanisme Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden" di Bandung, 27 Maret lalu, pesimis pengajuan hak menyatakan pendapat bakal diterima sidang paripurna DPR. Pasalnya, pengajuan itu harus disetujui minimal duapertiga anggota perlemen.
Selain alasan hambatan prosedural, sikap parpol dilatari rasa jeri terhadap serangan balik penguasa yang membidik politisi mereka. Dan memang, banyak kasus korupsi yang melibatkan politisi Senayan.
Berdasarkan laporan politisi PDIP Agus Condro Prayitno dua tahun lalu, belakangan pengusutan skandal suap pemenangan Miranda Goeltom dijadikan senjata politik. Dari 52 orang anggota Komisi IX DPR RI 1999-2004, terkuaklah para penerima duit haram pemenangan Miranda Goeltom sebagai DSG BI. Diantaranya 19 politisi PDIP, 12 politisi Golkar, dan beberapa orang lagi dari PPP dan Fraksi TNI-Pori.
Semula, dari kesemuanya, baru 4 yang dijadikan pesakitan yaitu Hamka Yandhu (Golkar), Dhoedi Makmoen Murod (PDIP), Endin AJ Soefihara (PPP), dan Udju Djuhaeri (TNI/Polri). Belakangan, nama-nama politisi besar semacam Panda Nababan (PDIP) dan Paskah Suzetta (Golkar) juga dihadirkan ke pengadilan korupsi walau masih sebatas saksi.
Ketika desakan agar KPK segera menindaklanjuti rekomendasi Hak Angket DPR kian mengeras, serangan balik pun makin gencar. Sesepuh PPP, Bachtiar Chamsyah, dalam waktu singkat diciduk sebagai tersangka korupsi pengadaan barang impor sewaktu masih Menteri Sosial. Menyusul kemudian Muhammad Misbakhun, politisi PKS yang juga inisiator hak angket Century, dikerangkeng sejak 26 April lalu sebagai tersangka korupsi Letter of Credit Bank Century senilai US$ 22,5 juta atas nama PT Selalang Prima Internasional. Di korporat ekspor-impor ini Misbakhun jadi komisarisnya.
Nunun Nurbaeti, istri politisi PKS Adang Daradjatun, juga sudah dibidik aparat hukum dengan tuduhan sebagai penyebar cek pelawat suap agar DPR memenangkan Miranda Goeltom sebagai Deputy Senior Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Dengan dalih sakit lupa berat, Nunun kini berobat di Singapura. Suaminya pun mulai menghindari wartawan. Sementara, aparat hukum mengancam akan melakukan verifikasi atas kondisi Nunun yang sudah empat kali mangkir dari panggilan. (nurbowo)