Maraknya pilkada bakal menuai korupsi dan nepotisme. Inilah resiko demokrasi!
Sebuah spanduk kampanye pasangan calon pemimpin Kota Tangerang Selatan di daerah Pamulang berbunyi: Hidup Dimodalin, Sakit Disantuni, KTP Digratisin, Kurang Apa Lagi, Ayo Coblos….
Tapi, sebagian masyarakat lebih suka memplesetkannya begini: Hidup Dimodarin, Sakit Dimatiin, KTP Dimahalin, Kurang Apa Lagi….
‘’Ia mencerminkan apatisme masyarakat terhadap pesta demokrasi yang bernama Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada),’’ katanya kepada Suara Islam.
Tahun 2010 ini, pilkada akan digelar di 246 daerah. Tujuh diantaranya pemilihan gubernur, 204 bupati, dan sisanya pemilihan wali kota. Biayanya, total bisa mencapai trilyunan rupiah.
Menurut Bambang Wijoyanto dari Legal Advisor Partnership, pesta pilkada 2010 dikhawatirkan berdampak pada pesta korupsi yang masif dan menggurita. Kekhawatiran ini sesuai dengan hasil penelitian Jakob Musila (2007) dan Michael T Rock (2007), bahwa memacu demokratisasi di tengah lemahnya institusi penegakan hukum justru memperbesar tingkat korupsi. Pada Januari 2009 misalnya, Presiden SBY menyetujui pemeriksaan kasus korupsi terhadap 128 kepala daerah dan anggota DPRD.
Keboborokan sistem demokrasi tak hanya melanda Indonesia. Sebelumnya, tahun 2000, hasil serupa dikemukakan James Manor dan Richard Crook usai melakukan penelitian di Amerika Selatan dan Afrika Barat tentang kaitan antara pemilihan langsung kepala daerah dan bad governance.
''Some of the worst cases of corruption and ineffectiveness are associated with the direct popular election mayors of chief executives and a separation of powers between the elected chief and representative councils," simpul Manor dan Crook.
Dengan alasan high-cost dan belum matangnya persiapan, maka politisi PDIP Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II DPR-RI, meminta penundaan pilkada, dengan merujuk Perppu No 3 Tahun 2005. Misalnya makna klausul gangguan lain dalam Pasal 36A Perppu itu, bisa memayungi penundaan pilkada. Terlebih bila DPT (Daftar Pemilih Tetap) amburadul seperti pada pemilu 2009
Sebelumnya, dengan alasan kurang lebih sama, mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti dan Hadar Gumay dari Cetro, juga meminta pemerintah tidak memaksakan pilkada tahun 2010.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, setidaknya terdapat 3 (tiga) potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada. Pertama, politik uang (money politic), yang muncul sejak penentuan nominasi kandidat oleh partai politik pendukung hingga proses pencoblosan. Pola politik uang pada saat pilkada relatif sama dengan praktik politik uang Pemilu 2009, seperti pembagian uang atau sembako secara langsung pada masa kampanye.
Kedua, potensi manipulasi dana kampanye. Hal ini akibat dari longgarnya pengaturan dana kampanye pilkada. Potensi manipulasi diperkirakan sama dengan yang terjadi pada saat pemilu presiden 2009 lalu. Lemahnya aturan akan memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber haram ke rekening pemenangan kampanye pasangan kepala daerah. Kondisi ini akan diperparah dengan lumpuhnya pengawasan atas dana kampanye.
Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan juga diperkirakan marak pada pilkada. Hal ini telah terlihat marak terjadi dan sarat mewarnai fenomena pelanggaran Pemilu 2009.
Pemantauan ICW misalnya, menemukan adanya modus-modus penggunaan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) untuk pemenangan pilkada. Misalnya, penggunaan program-program populis seperti alokasi dana bantuan langsung tunai, program kesehatan gratis, sembako murah, beras untuk masyarakat miskin, bantuan sosial, dan sebagainya.
Modus itulah yang bakal menggerogoti APBD 2010. Untuk tahun anggaran 2010, pemerintah pusat telah menggelontorkan sekitar 60% dari Rp l.047,7 triliun APBN 2010 ke daerah, dengan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) DAU untuk 33 provinsi dan 490 kabupaten/kota sebesar Rp 203,5 triliun. Belum lagi gelontoran lain seperti dana PNPM Mandiri yang berasal dari utang luar negeri.
Meski ratusan kepala daerah aktif maupun mantan sudah dikerangkeng lantaran kasus korupsi, pesta pilkada tetap saja bagai gula-gula pengudang semut. Harta dan tahta memang menarik syahwat manusia, dan celakanya menurut mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, korupsi telah menjadi ideologi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Maka, segala cara dihalalkan untuk memenangkan Pilkada. Misalnya lewat sistem kroni. Sebagai contoh, setelah gagal dalam pilkada sebelumnya, Airin Rahma Diany tahun ini maju lagi berlaga di perebutan kursi walikota Tangsel. Padahal, keluarga besarnya sudah bertebaran di kursi kekuasaan Provinsi Banten maupun Senayan. Termasuk saudarinya, Gubernur Banten Ratu Atut Chosyiah.
Di Kediri, kursi bupati diperebutkan oleh istri muda dan istri tua. Istri Bupati Bantul pun tak mau kalah, ingin meneruskan pemerintahan suaminya dengan maju di pemilihan bupati.
Tak kalah konyolnya, demi meraih tahta kuasa, parpol yang berlabel Islam sekalipun, tak segan mencalonkan selebritis sebagai kepala daerah. Meskipun sebagian sudah kandas.
Tahun 2010 ini, selebritas yang bakal berlaga di pilkada antara lain Vena Melinda (Demokrat) dan Rieke Dyah Pitaloka (PDIP). Walau selebritas syahwati Ayu Azhari gagal maju di pilkada Sukabumi, artis syahwat Julia Perez tak mau kalah. Dia maju di pilkada Pacitan, kota kelahiran Presiden SBY.
Karena itu, KH Hasyim Muzadi usul agar kepala daerah dipilih saja oleh pemerintah pusat, sebagaimana pada jaman Orde Baru. Tentu saja, jika yang dipilih pemimpin berkualitas rendah, rakyat akan mengontrolnya.
Sekjen FUI M Al Khaththath, malah mengajak umat menyudahi sistem demokrasi. Selain merupakan produk haram, praktik demokrasi sudah terbukti menyengsarakan rakyat belaka. (nurbowo)