H. Iskandar Zulkarnain (Mantan Komisaris Bank Muamalat Indonesia)
Merasa volume perdagangan Indonesia dengan Timur Tengah belum mencapai target, Menperin MS Hidayat menggelar temu bisnis dengan para duta besar negara Timur Tengah, Rabu (26/5) lalu.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan volume perdagangan dan membuka peluang investasi langsung dibidang industri, perdagangan serta promosi ekspor produk UKM.
Menurut MS Hidayat, pangsa pasar ekspor Indonesia di Uni Emirat Arab sebesar 1,2 persen, Saudi Arabia 0,8 persen. Sementara itu, Indonesia juga mengimpor banyak dari Arab Saudi dengan pangsa pasar 4,5 persen, Kuwait 2,3 persen dan Turki 1 persen. Sementara total perdagangan Indonesia dengan negara anggota OKI termasuk negara Arab selama 2000-2007 meningkat rata-rata 15,35 persen yaitu dari 7,8 miliar dollar AS menjadi 19,7 miliar dollar AS.
Ekspor Indonesia ke negara-negara anggota OKI meningkat rata-rata 14,27 persen selama periode 2000-2007 dengan nilai 12,8 miliar dolar AS. Nilai itu mencakup 11,2 persen dari total ekspor Indonesia. Sementara, impor Indonesia dari negara-negara anggota OKI meningkat rata-rata 17,06 persen per tahun dengan nilai 6,9 miliar dolar AS pada 2007. Selama periode tersebut surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat dari 2,6 miliar dolar AS pada 2000 menjadi 5,9 miliar dolar AS pada 2007.
Sementara itu Menperin mengharapkan investor Timur Tengah tetap berkomitmen mewujudkan sejumlah proyeknya di Indonesia. Adapun beberapa komitmen investasi pengusaha Timur Tengah antara lain di sektor agro industri/ konstruksi oleh Bin Ladin- Saudi, pengolahan minyak kelapa sawit oleh Al-Hayeel Group, pendirian pabrik pupuk amonia-urea kerjasama dengan National Petrochemical (NPC) Iran, dan pembangunan pembangkit listrik di Indragiri Riau.
Sedangkan investasi pengusaha Timur Tengah lainnya seperti Qatar Telecomunication (Q-tel) di Indosat, Emaar Properties yang berinvestasi properti di Lombok senilai 600 juta dolar AS, serta pembangunan galangan kapal (drydock) di Batam senilai 500-600 juta dolar AS. Selain itu, beberapa investor lainnya yang berniat berinvestasi di sektor perbankan Indonesia antara lain Al-Barakah, Qatar Islamic Bank, Kuwait Financing House, Al-Raji, serta Tadamun Bank. Dengan demikian, nilai total investasi Timur Tengah tahun ini bisa mencapai 7 miliar dollar AS.
Hal itu mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah investasi dari Timur Tengah pada 2008 yang mencapai 5 miliar dollar AS atau Rp 46,5 triliun. Sedangkan pada 2007 nilai investasi Timur Tengah yang masuk ke Indonesia sebesar 3,3 miliar dollar AS Rp 30,6 triliun.
Namun dalam menghadapi gelombang masuknya investasi Timur Tengah, nampaknya pemerintah kurang serius dan belum siap. Hal itu diakui utusan khusus Presiden SBY untuk wilayah Timur Tengah, Alwi Shihab. Menurutnya, birokrasi di Indonesia belum cukup mendukung masuknya investasi ke Indonesia. Masalah perijinan, salah satunya menjadi hambatan utama dalam percepatan arus masuk investasi dari Timur Tengah. Padahal negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan China, sudah sangat siap dalam menghadapi masuknya miliaran dollar AS dana dari Timur Tengah.
Sebenarnya prospek investor Timur Tengah dalam menanamkan modalnya ke Indonesia sangatlah cerah. Selain dipersatukan dengan agama dan budaya yang sama yakni Islam, miliaran dollar dana dari Timur Tengah sama ditarik dari Eropa dan AS pasca 11/9. Seharusnya pemerintah Indonesia pro aktif dan segera menangkap peluang menguntungkan tersebut. Namun sayang, upaya tersebut terlambat dan dimanfaatkan negara jiran seperti Malaysia dan Singapura. Bahkan sekarang kedua negara tersebut menjadi tujuan utama para wisatawan Timur Tengah ke Asia Tenggara.
Selain itu adanya hambatan dari Sri Mulyani sewaktu masih menjabat Menkeu, dimana lebih pro investor dari AS dan Eropa daripada dari Timur Tengah. Berbagai macam kendala politik dan ekonomi itulah yang menjadikan investasi Timur Tengah ke Indonesia masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan negara tetangga termasuk China dan Vietnam.
Berikut ini wawancara Tabloid Suara Islam dengan mantan Komisaris BMI, Iskandar Zulkarnain, seputar investasi Timur Tengah dan bagaimana prospek masa depan investasinya di Indonesia.
Bagaimana menurut anda, prospek investasi para pengusaha Timur Tengah di Indonesia ?
Tentunya ada kalau mau. Prospek investasi ini harus dicari lagi, karena waktu itu sempat berjalan ketika Meneg BMUN dijabat Sugiharto, dimana mencari investor Timur Tengah sempat dirintis. Bahkan sudah ada tim road show kesana, tetapi sayang masa beliau menjabat pendek, selanjutnya tidak diteruskan. Jadi moment itu sekarang menjadi cool lagi.
Kalau mau digarap lagi, ya harus dicari group usaha yang serius, punya banyak duit dan komit atas investasinya. Untuk mencari ini tentunya lebih pas dan strategis kalau dilaksanakan oleh Kementrian BUMN, karena orang Arab lebih senang perusahaan yang ada dibawah government, dimana mereka merasa lebih secure.
Ketika diadakan approach waktu itu, momentumnya Dubai lagi ada pembangunan besar-besaran dimana banyak sekali proyek disana. Para pengusaha Timteng lebih tertarik berinvestasi di Dubai dibanding ke Asia Tenggara.
Sekarang pun harus dicermati, karena lain lagi situasinya. Lawan kita adalah negara China, mereka terus berpromosi bahkan sekarang ini mengadakan Expo besar-besaran selama enam bulan penuh di Pudong, Shanghai, China. Orang Arab yang senang trading banyak berkunjung, tertarik dan banyak membeli barang-barang produksi dari China.
Bagaimana jika dibandingkan dengan investasi dari para pengusaha AS, Eropa, Jepang, China, Korea Selatan dan Taiwan di Indonesia ?
Untuk di Indonesia rasanya investasi Timteng sangat kurang dan belum dirasakan adanya investasi mercusuar mereka ada disini. Ini kalau dibandingkan dengan berbagai perusahaan minyak maupun pabrikan dari AS, Inggris, Perancis, Jepang dan Korea Selatan.
Apa kelemahan para investor dari Timur Tengah di Indonesia dalam menginvestasikan modalnya ?
Untuk membicarakan kelemahan investor Timteng, menurut saya malah harus kita bahas sebaliknya yakni kita harus inward looking. Jangan-jangan kelemahan itu ada pada kitanya sendiri.
Karena investor adalah pihak yang punya duit, tidak ada yang salah padanya. Buktinya, mereka sudah melakukan investasi dimana-mana.
Kelemahan ini bisa kita tengarai dari beberapa hal yang sudah terjadi disini.
Misalnya sewaktu Arab Saudi melalui Group Bin Laden mencari lahan untuk menanam Beras Besmanti untuk food security yakni ketahanan pangannya. Tetapi disini kiranya tidak jalan, karena mereka kesulitan mencari lahan pertanian seluas 10.000 - 20.000 Ha.
Malah Filipina yang dapat, melalui approach langsung dari Presiden Gloria M Arroyo. Demikian juga untuk pembangunan Bandara di Lombok, dimana waktu itu Emaar Dubai juga mengalami banyak kendala, sehingga proyeknya batal.
Pasca peristiwa 11/9, ratusan miliar dolar dana Timur Tengah ditarik dari AS. Mengapa pemerintah tidak mampu memanfaatkannya agar mereka berinvestasi ke Indonesia ?
Ya itulah, tentunya banyak kelemahan yang ada pada kita sendiri, selain lambat menangkap peluang apalagi pada sisi follow-up selalu lambat. Terasa kurang serius dan political will dari pemerintah tidak kuat.
Belum lagi dari sisi peraturan legal antar departemen yang sering belum singkron. Juga profesionalisme SDM kita, faktor resiko keamanan, ketidak tentuan politik dan tentunya macam-macam faktor lain lagi. Maka untuk menarik mereka agar berinvestasi disini, tentunya pemerintah harus serius, harus membuat perencanaan strategis dan juga harus membereskan segala kendala yang selama ini ada.
Mengapa pemerintah Malaysia dan Singapura lebih sukses menarik investor Timur Tengah daripada pemerintah Indonesia ?
Karena mereka lebih agresif, lebih sungguh-sungguh bahkan mereka terus fight untuk bersaing dengan Turki dan Iran untuk proyek-proyek investasi di negaranya.
Baru-baru ini mantan Wapres Jusuf Kalla mengemukakan investasi Timur Tengah tidak pernah berjalan pada era Menkeu Sri Mulyani. Bagaimana tanggapan anda ?
Menurut saya, Sri Mulyani tidak terlalu encourage dan juga tidak menahan investasi Timur tengah, semua diserahkan saja kepada pasar. Pada era Sri Mulyani, Dirjen IRTI dipegang mantan Dekan FE-UI, Bambang Bojonegoro.
Bagaimana selama ini lobi-lobi para investor Timur Tengah terhadap pemerintah Indonesia ?
Ini kebalik ! Seharusnya dari pihak kita yang harus pro aktif melobi, lha wong mereka yang punya uang koq !
Indonesia sebagai negara anggota OKI, seharusnya lebih terbuka terhadap investasi Timur Tengah. Mengapa hal itu tidak dilakukan pemerintah ?
Tentunya itu sudah dilakukan dan harus diketahui. Timteng itu tertariknya lebih kepada finance dan real sector. Mereka sudah masuk seperti ke Bank Muamalat dan lain-lain.
Apakah kekuatan Barat seperti WB dan IMF selalu menekan pemerintah agar tidak memberi peluang kepada para investor Timur Tengah ?
Kalau dari sisi kebijakan politik, saya tidak mengetahui.
Sebagai wilayah petro dollar, mengapa nilai perdagangan Indonesia dengan Timur Tengah masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan Barat dan Asia Timur ?
Orang Timteng senang kepada trading, hal ini sudah berjalan sejak lama. Bahkan para pengusaha di Kadin untuk urusan dengan Timteng sudah berjalan dengan baik, misalnya untuk food-stuff, nooodle, buah, kaus, garment, rotan dan meubel. Bahkan kerajinan diam-diam untuk ekspor sudah jalan.
Jika dibandingkan dengan era Orde Baru, apakah investasi Timur Tengah sekarang lebih maju ataukah justru mengalami kemunduran ?
Saya tidak mempunyai data.
Apakah selama ini modal dari Timur Tengah selalu dikelola dengan prinsip investasi syariah ?
Bisa syariah bisa tidak. Mereka itu orang-orang bisnis juga, bahkan kadang lebih kapitalis, hahaha....
Dengan Menkeu Agus Martowardoyo dan Menko Perekonomian Hatta Radjasa, apakah prospek investasi Timur Tengah di Indonesia akan semakin cerah ?
Kita tentunya mengharapkan investasi dari Timteng digarap dengan lebih serius lagi. Karena kita mempunyai banyak natural recources yang bisa dikembangkan untuk kemakmuran rakyat indonesia, juga kesamaaan aqidah. Ini yang lebih essensi agar mereka mempunyai trade mission disini untuk membantu kesejahteraan dari saudaranya sendiri.
Pendekatan atau lobby-lobby yang efektif seharusnya G to G (Government to Government) sehingga ada kepastiannya. Sekarang sudah tidak waktunya lagi dengan wacana-wacana dan pembahasan seminar. Sudah saatnya Menko dan Menkeu baru pada tahapan eksekusi. (Abdul Halim)