View Full Version
Rabu, 16 Jun 2010

Menjelang Runtuhnya Penjara Rakasasa

Serbuan terbuka dan serangan sporadis mewarnai tiga tahun pengepungan Gaza. Jalur Gaza menjadi penjara raksasa bagi kaum muslimin Palestina. Kini, semen dan besi lebih dibutuhkan dari pada bahan makanan.

Main mata itu biasa. Hal itu pula yang sering dilakukan Israel, Amerika Serikat dan Mesir. Bila Israel terpojok, Amerika biasanya akan membantu, sementara Mesir tinggal mengegonginya. Kejadian ini pula yang terjadi belakangan ini, ketika Amir Mousa, diplomat Mesir yang kebetulan juga menjabat Sekretaris Jenderal Liga Arab itu melintasi Gerbang Rafah bersama rombongannya dan masuk ke wilayah Palestina di Jalur Gaza, hari Ahad, 13 Juni kemarin.

Begitu masuk ke Gaza, Mousa langsung mengobral statement, yang langsung disiarkan ke seluruh dunia. “Blokade Jalur Gaza harus dihentikan," kata Sekjen Liga Arab itu. Dalam kunjungan yang hanya sepuluh jam itu, Moussa dijadwalkan bertemu dengan pemimpin HAMAS dan beberapa LSM di Jalur Gaza. Namun, hingga berita ini diturunkan pada Senin (14/6) dini hari belum diketahui siapa pimpinan HAMAS yang ditemuinya.

Peristiwa bersejarah bagi Amir Mousa ini – karena baru pertama kali ini sang diplomat senior dari Mesir itu berkunjung ke Jalur Gaza— tentu saja bukan tanpa sebab musabab. Semua berawal dari insiden 31 Mei lalu di perairan Gaza di Laut Tengah, ketika pasukan Israel menghadang konvoi kemanusiaan Flotilla Gaza, kemudian menyerang dan menembak mati 9 relawan hingga syahid, serta melukai belasan orang lainnya termasuk dua relawan dari Indonesia.

Tentu saja pembantaian relawan kemanusiaan itu menuai reaksi kecaman dari berbagai penjuru dunia. Tak hanya dari negara-negara muslim, beberapa pemimpin Barat pun mengecam, juga ribuan aktifis perdamaian dari berbagai penjuru dunia. Uni Eropa, Organisasi Konferensi Islam termasuk di antara badan dunia yang menuntut penyelidikan atas serangan itu. “Perlu digelar penyelidikan yang menyeluruh,” kata Presiden Rusia Dimitri Medvedev.

Namun, permintaan penyidikan itu ditolak mentah-mentah oleh Israel. “Kami berhak melakukan tindakan itu untuk pengamanan,” kata Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu. Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun hanya sekadar menyatakan, “Penyesalan terhadap pada korban jiwa dan yang cedera akibat penggunaan kekerasan oleh pasukan Israel.” Dewan Keamanan PBB pun sikapnya hampir sama dengan Paman Sam. Sekjen PBB Ban Ki Moon lagi-lagi hanya bisa menyesalkan dan meminta penyidikan yang independen. Mengutuk saja tidak apalagi menjatuhkan sanksi kepada Israel.

Akibatnya, kecaman dan unjuk rasa di Amerika Serikat terhadap sikap pemerintah Obama pun merebak. Demonstrasi berlangsung terus menerus di beberapa kota. Para aktifis kemanusiaan menyerukan agar Amerika Serikat agar berani bertindak dan mengesampingkan lobby Yahudi, Amerika Serikat sebagai kampiun Demokrasi dan Hak Azasi Manusia paling wahid, dianggap membiarkan warga Palestina yang sudah tiga tahun dikerangkeng dalam penjara raksasa di jalur Gaza.

Blokade Tiga Tahun

Blokade Israel terhadap Jalur Gaza dimulai sejak Gerakan HAMAS memenangkan pemilu Palestina, terutama di Jalur Gaza pada bulan Juni 2007. Alasannya karena HAMAS dianggap sebagai gerakan radikal sehingga kemenangannya kemudian tidak diakui oleh Israel, Amerika da Mesir. Sebagai Negara yang setiap tahun mendapatkan dana 10 juta dolar pasca perjanjian Camp David, tanpa malu-malu Mesir tunduk pada perintah Israel dan Amerika Serikat untuk menutup gerbang perbatasan Rafah sehingga 1,5 juta warga Palestina tidak bisa keluar dari Jalur Gaza.

Padahal, selama tiga tahun itu Irael terus menggelar kampanye bersenjata secara sporadis, termasuk serangan selama 24 hari, sejak dua hari setelah Natal tahun 2008. Saat itu tentara Israel menggempur Gaza dari udara, darat dan laut. Ribuan sorti pesawat tempur dikerahkan, ribuan tank berat Merkava, ratusan ribu peluru dan bom-bom ukuran besar dijatuhkan di wilayah yang tak lebih luas dari pada Jakarta Utara itu.

Dalam gempuran bertubi-tubi selama 24 hari, pasukan Israel membantai 1.300 nyawa dan melukai 6.000 lebih warga Palestina. Tak hanya orang dewasa, wanita dan anak-anak Palestina pun menjadi sasaran pembantaian terencana itu. “Mereka telah menjadikan Jalur Gaza sebagai ladang pembantaian,” kata Menteri Kesehatan HAMAS, DR Bassim Naim, kepada Suara Islam di kediamannya, 23 Januari 2009 lalu.

Israel beralasan bahwa penembakan dan bombardir dengan pesawat F-15 dan F-16 seri terakhir, tank Merkava dan artileri berat lain milik mereka adalah untuk membungkam pasukan HAMAS, Jihad Islam dan Izzudin Wal Qassam. Israel selalu berkilah bahwa mereka hanya membalas serangan para mujahidin yang menyerang Israel dengan rudal-rudal Qassam. Namun, korban sipil justru sangat banyak. Dari 1300 warga Palestina, ternyata hanya 48 mujahidin yang syahid.

Tak hanya manusia yang menjadi korban. Rumah-rumah tinggal diratakan dengan tanah, gedung pemerintah hancur dibom, sekolah-sekolah porak-poranda digempur kanon, rumah sakit ditembaki, masjid-masjid dihancurkan dan ladang pertanian dibajak dengan armada tank Israel. Sampai-sampai di Jabaliyah, setelah masjid-masjid dan ratusan rumah warga diratakan, tentara-tentara Zionis pun membuldozer tanah yang agak tinggi di sekitar bangunan dan menimbun bekas kehancuran itu.

Sejak hari pertama penyerbuan, Israel membombardir Jalur Gaza dengan bom fosfor. Meski tampak indah, namun jika asap pekatnya terhirup, paru-paru korban akan terganggu. Enam bulan kemudian, orang itu terkena gangguan nafas dan kanker paru-paru. Israel juga menguji-coba bom dengan pecahan terarah dan memotong pinggang ke bawah. “Tampaknya tujuan bom ini untuk membuat orang cacat seumur hidup,” Ketua Presidium Mer-C, Dr Jose Rizal Jurnalis.

Akibat blokade Israel, warga Palestina pun menjadi sulit mendapat kebutuhan bahan pangan. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. Maka sebagian warga yang berani kemudian mencoba menyusup ke Mesir lewat terowongan-terowongan bawah tanah untuk mencari pasokan pangan. Sementara itu, sebagian besar warga kemudian mengandalkan hidupnya dari bantuan kemanusiaan dari para LSM maupun badan kesehatan dunia untuk Palestina, UNRWA.

Rencana Membuka Gerbang

Rupanya kecaman warganya sendiri membuat Presiden Obama mulai gelisah. Akhirnya, Minggu lalu Obama mulai bersikap lebih tegas. “Blokade itu dudah tidak bisa dipertahankan lagi,” ujarnya setelah bertemu dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Gedung Putih, Washington. Kepada Mahmud Abbas, Obama pun berjanji akan memberikan bantuan senilai 400 juta dolar untuk Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza.

Obama kemudian menggambarkan situasi di Jalur Gaza, yang dinilainya telah terperosok dalam krisis kemanusiaan selama di blokade Israel. Karena itu blokade ini harus segera dibuka. “Amerika akan menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan kehidupan rakyat Palestina,” ujarnya. Obama juga mengatakan bahwa dirinya masih percaya adanya kemajuan signifikan untuk menuju perdamaian Timur Tengah dalam tahun ini.

Karena Paman Sam mulai mengubah arah permainan, maka negara-negara keponakannya pun mulai memainkan lakon masing-masing. Israel mulai agak lunak dengan mengumumkan keputusan mereka untuk mengizinkan hanya makanan dan minuman yang boleh masuk ke Gaza. Hal itu justru diumumkan beberapa jam sebelum pertemuan antara Presiden Obama dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Namun, rezim Zionis mengatakan bahwa keputusan yang mereka sebut sebagai pelonggaran blokade itu, tak ada kaitannya dengan tragedi Mavi Marmara.

Sementara Mesir dengan santai mengutus Amir Mousa ke Jalur Gaza, setelah membuka pintu gerbang Rafah yang berbatasan langsung dengan wilayah Mesir. Diplomat paling senior di dunia Arab itu tinggal mengegongi ucapan Obama. “Blokade yang kita hadapi semua di sini harus dibuka, dan posisi Liga Arab sudah jelas,” ujarnya di penyeberangan Rafah dengan Mesir. Padahal, tahun lalu, sidang Liga Arab diboikot beberapa Negara, dan gagal menelurkan statemen kecaman kepada Israel.

Namun, pemimpin politik HAMAS di pengasingan Khalid Misy'al Jumat (11/6) lalu menyatakan bahwa gerakan Hamas yang berkuasa di Jalur Gaza tak akan menyentuh sedikitpun uang sebesar 400 juta dolar yang dijanjikan pemerintah AS untuk rakyat Palestina. “400 juta dolar yang ditawarkan Obama tidak untuk Gaza, tetapi untuk Otoritas Palestina. Mereka akan mendistribusikan dana itu sebagian untuk Gaza, tapi tidak untuk Hamas,” kata Misy'al dalam sebuah konferensi pers di ibukota Sudan, Khathoum.

Faksi pejuang HAMAS yang masih tetap bertahan di Jalur Gaza juga tidak antusias dengan kebijakan rezim Zionis Israel yang akan mengendorkan blokade, dan memperlancar bantuan kemanusaiaan kepad masyarakat yang membutuhkannya di Jalur Gaza. Sebab, kini bantuan kemanusiaan yang dizinkan masuk ke Jalur Gaza oleh Israel cuma sebatas makanan dan minuman ringan saja.

Bagi HAMAS, makanan dan minuman ringan bukan penyelesaian krisis kemanusiaan di Gaza. Hamas tetap menuntut Israel untuk membuka blokade secara penuh. “Mereka mengatakan akan mengizinkan keripik kentang masuk ke Gaza, tapi di sini kami punya tiga pabrik yang memproduksi makanan seperti itu dengan jumlah lebih dari yang dibutuhkan oleh Gaza,” kata Ziyad Al-Zaza, menteri ekonomi dan perdagangan di pemerintahan HAMAS.

Menurut Al-Zaza, yang dibutuhkan masyarakat dan otoritas Palestina di Gaza adalah pencabutan blokade secara penuh, sehingga mereka bisa mengimpor bahan-bahan mentah untuk industri dan bahan-bahan bangungan untuk membangun kembali Gaza. Namun, Israel tetap melarang bantuan berupa bahan bangunan ke Gaza, padahal bahan-bahan bangunan itu sangat dibutuhkan warga Gaza untuk membangun rumah dan infrastruktur yang hancur akibat agresi Israel pada Desember-Januari tahun 2008 lalu. “Kami butuh semen dan bahan bangunan untuk konstruksi, bukan minuman ringan,” kata Al-Zaza. (Abu Zahra)

 


latestnews

View Full Version