View Full Version
Senin, 28 Jun 2010

PKS Terjangkit Sindrom Kekecilan Baju

Agar mencapai target tiga besar dalam pemilu 2014 nanti, PKS menggelar kiat-kiat baru, mulai soal partai terbuka hingga merebut hati warga NU dan Muhammadiyah.

Tapi ternyata kader-kader tarbiyah justru pamit mundur.

Kreatifitas, kiat-kiat baru dalam memasarkan produk dan kepandaian mempermak barang, sangat penting untuk mendongkrak kesuksesan berdagang. Apalagi jika si pedagang bercita-cita merebut pangsa pasar baru. Berbagai upaya, daya, tenaga dan fulus digelontorkan agar bisa menangguk untung. Tapi awas! Jika ambisi terlalu besar, captive market justru bisa melayang. Semua gara-gara konsumen tradisional beralih ke produk lain. Penyebabnya, mereka tak lagi disentuh promosi sehingga lupa akan keunggulan produk aslinya.

Nah, untuk meraup sukses dalam “Pasar Malam Demokrasi” 2014 nanti, pekan lalu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mulai me-launching jurus-jurus kreatif, kita-kiat baru serta jajanan politik yang sudah di-up-grade bungkusnya kepada khalayak Indonesia. Maklumlah, partai bulan sabit kembar mengepit padi itu mematok target tinggi dalam pemilu nanti. “Target kami masuk tiga besar,” kata Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta dalam acara Musyawarah Nasionalnya di hotel mewah Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (16/6).

Dengan target tiga besar, berarti PKS harus mengalahkan PDI Perjuangan atau Partai Golkar. Maklumlah, dalam pemilu 2009 lalu, kedua partai ini asyik berebut peringkat dua. Partai Golkar akhirnya di posisi runner up setelah Partai Demokrat dengan mendapatkan 14.45 persen suara, sementara PDIP di posisi ke tiga dengan meraup 14,03 persen suara. Saat itu, PKS duduk di peringkat ke empat dengan 7.88 persen suara. Artinya, PKS harus mampu menggandakan perolehannya dalam pemilu nanti.

Mengemas Citra


Dalam upaya meraih cita-cita tiga besar itu, PKS merancang berbagai strategi pemasaran modern. Langkah pertama adalah mengemas citra, sosok dan performance PKS, agar lebih menarik dipandang calon konstituen. Salah satunya tampak dari upaya partai yang dicita-citakan sebagai partai dakwah ini, dengan menggelar acara Munas II, di hotel mewah Hotel Ritz-Charlton Pacific Place di kawasan SBDC, Jakarta Selatan, pada tanggal 16 – 20 Juni lalu.

Dari pilihan lokasi Munas II ini, tampak jelas bahwa PKS tengah berupaya menunjukkan kemampuan dalam soal keuangan. Maklumlah, hotel Ritz Charlton Pacific Place adalah hotel berbintang lima bertaraf internasional yang punya fasilitas lux. Karena itu, hotel Ritz-Charlton Pacific Place, sebagaimana Ritz-Charlton di Mega Kuningan, tercatat sebagai hotel termahal di Jakarta. Hanya hotel JW Marriott yang bisa menyaingi tarifnya. Maka, berbagai pertanyaan tentang keputusan menggelar acara di hotel super mewah ini bermunculan.

Untuk menjawab pertanyaan masyarakat maupun konstituennya sendiri, serenceng kilah bermunculan dari para petinggi partai. Dua minggu sebelum Munas, bekas Presiden PKS Tifatul Sembiring mengatakan bahwa penyelenggaraan Munas di Ritz-Carlton Pacific Place adalah hal biasa. “Itu karena murah meriah. Ritz-Carlton habis bom kemarin (17 Juli 2009) paling murah,” kata Tifatul kepada detik.com Kamis (29/4/2010).

Manager Marketing Communication Ritz-Charlton Jakarta, Desiree Marlina mengakui tingkat hunian Hotel Ritz-Carlton menurun drastis setelah dihajar bom 17 Juli 2009. Namun hal itu tak membuat mereka memangkas harga kamar untuk memikat tamu. “Harga tidak berubah. Harga juga stabil. Di Pacific Place harga kamar sekitar US $ 300 semalam,” ujarnya kepada Indonesia Monitor.

Lalu, dari mana Tifatul dan Arif menyimpulkan adanya discount itu?

Belakangan sekretaris OC Munas Yudi Widiana Adia mencoba meluruskan keanehan yang merebak. “Tujuan PKS memilih hotel ini untuk meningkatkan citra partai, bukan semata-mata karena harga diskon,” ujarnya. Namun, gara-gara penjelasannya, belakangan muncul rumor bahwa PKS didanai Amerika Serikat. Apalagi Cameron R Hume, Duta Besar Amerika Serikat di Indonesia, juga diundang dalam perhelatan ini.

Gara-gara isu itu Ketua Panitia Munas, Ma’mur Hasanuddin harus berkelit dan mencoba meyakinkan para wartawan dan konstituen PKS sendiri yang terus mempertanyakan anomali partainya ini. “Pemilihan tempat di Ritz Carlton Pasific Place sebagai tempat musyawarah nasional tidak ada kaitannya dengan pendanaan Amerika Serikat,” ujarnya.

Menurut Ma’mur, dalam Munas masing-masing daerah mengirim 6 wakil DPW dan 5 wakil DPD. Munas juga menghadirkan pengurus DPP, MPP, Dewan Syariah Pusat, dan Majelis Syuro. Total peserta 5.000 orang. “Di Jakarta hanya ada dua gedung, JCC dan di sini. Kata pemilik sini, kalau lebih 2.500 orang cukup hanya bayar makan, sementara ruangan gratis. Jadi, mungkin sudah tertutupi,” ujarnya.

Tapi bukankah yang dijelaskan Ma’mur baru soal sewa ruangan, dan bukan sewa kamar hotel?

Padahal, seperti kata Desire, sewa kamar hotelnya tak berubah. Dengan tarif kamar 300 dolar per malam, dan 5.000 undangan, maka ongkos minimal US $ 1,5 juta per hari, atau Rp 13,8 milyar per hari, dengan kurs Rp 9.200 per dolar. Karena mereka menyelenggarakan acara Munas selama 4 hari, maka uang yang harus dikeluarkan dari kocek PKS selama Munas adalah US $ 6 juta, atau Rp 55,2 milyar! Sungguh luar biasa.

Maka, ketika partai yang kerap menggalang unjuk rasa menentang Amerika Serikat dan Yahudi ini menggelar acara di hotel mewah itu, berbagai pertanyaan muncul: Apa yang sedang mereka cari? Maklumlah, hotel ini tercatat sebagai sebuah perusahaan perhotelan raksasa milik Amerika Serikat. Hotel mewah ini adalah anggota grup raksasa perhotelan Ritz-Charlton yang bermarkas besar di Chevy Chase, Maryland, Amerika Serikat. Apalagi eksekutif hotel termewah di dunia ini pun kebanyakan orang Yahudi!!

Partai Terbuka


Tak cukup mengupgrade citra partai hingga --menurut beberapa pengamat gerakan Islam— agak kebablasan, dengan menggelar acara di hotel super mewah milih Yahudi itu, PKS pun sedang mempermak dagangan mereka. Tujuannya? Apalagi kalau bukan untuk melariskan dagangan mereka agar perolehan suara mereka pada pemilu 2014 nanti terdongkrak hebat hingga ke peringkat ke tiga.

Permak dagangan itu dilakukan dengan mengubah AD/ART partai, terutama aturan keanggotaan dan persyaratannya. Dalam AD/ART lama diatur tiga macam keanggotaan yakni anggota pendukung, anggota inti, dan anggota kehormatan. “Siapa pun bisa menjadi anggota pendukung,” kata anggota Majelis Syuro PKS, Syunmanjaya Rukmandis. Anggota pendukung ini terdiri dari anggota pemula dan anggota muda.

Adapun anggota inti adalah anggota pendukung yang rutin mengikuti kegiatan organisasi seperti pengajian dan sudah dibaiat. Mereka berasal dari anggota muda yang kualitasnya naik dan tercatat sebagai kader atau anggota inti. Kader dibagi menjadi kader madya, kader dewasa, kader ahli dan kader purna. Untuk menjadi pengurus partai minimal mencapai kader madya. Sementara untuk menjadi anggota Majelis Syuro minimal sudah di tingkat kader ahli.

Nah, dalam AD/ART baru, dengan kreatif PKS membuat terobosan dengan membuka peluang nonmuslim menjadi pengurus, anggota legislatif dan pejabat eksekutif. Para anggota non muslim akan memiliki hal yang sama seperti kader madya lainnya. “Kami buat ruang (supaya) nonmuslim bergabung,” kata Anis Matta. Sebab saat ini saja, kata dia, ada sekitar 20-an anggota legislatif (DPRD) non muslim dari PKS di Papua dan NTT.

Sebenarnya, ide memberi kesempatan non muslim menjadi anggota partai sudah muncul dalam Mukernas PKS di Bali, dua tahun yang lalu. Namun, saat itu kubu yang menentang masih kuat, sehingga upaya yang dimotori Anis dan Ketua Dewan Syuro Ustadz Hilmi Aminuddin ini gagal. “Belakangan, Ustadz Hilmi malah mengatakan bahwa ide tentang partai partai terbuka adalah usulan liar,” kata mantan anggota Majelis Pertimbangan Partai Ustadz Mashadi.

Tapi Presiden PKS yang baru, Luthfi Hasan Ishaaq, sudah lupa pada sejarah. Menurut dia, PKS sejak awal membuka diri untuk nonmuslim. “Sejak 1999, pengurus nonmuslim sudah ada dan tidak dituntut mengucapkan dua kalimat syahadat,” kata Luthfi saat sosialisasi AD/ART di Ritz-Carlton Pacific Place Jumat, (18/6). “Allah saja memberi kebebasan memilih keyakinan," ujarnya.

Padahal sejak awal PKS mendeklarasikan diri sebagai partai dakwah dan tak menerima keanggotaan non muslim. Bahkan dalam sumpahnya sebagai anggota, seorang kader harus mengucapkan bai’at lengkap dengan membaca kalimat syahadat. Kewajiban untuk mengikuti liqo atau pembinaan pengajian adalah keharusan bagi setiap anggota PKS. Hal ini tentu saja tidak akan mungkin diikuti oleh seorang non muslim yang hendak menjadi anggota PKS.

Rencana membuka pintu untuk nonmuslim dalam AD/ART PKS menurut beberapa kader di bawah agak mengkhawatirkan. Yudi Widiana pun mengatakan bahwa menjadikan non muslim sebagai pengurus pun sangat tidak mungkin karena ada kewajiban membaca kalimat syahadat. “Rasanya hampir tidak mungkin karena dalam kontrak, pengurus tetap diwajibkan membaca dua kalimat syahadat,” ujarnya.

Namun, Luthfi justry menyatakan bahwa konstitusi PKS tidak mensyaratkan semua itu. “(Para anggota) tidak dituntut mengucapkan dua kalimat syahadat," ujarnya. Hal ini, dilandasi semangat mengapresiasi para profesional, sementara, profesionalisme terdapat di semua orang dari berbagai etnik dan agama. “Jadi apapun etniknya, apapun agamanya, apapun backgroundnya sepanjang memiliki garis perjuangan yang sama dengan PKS, mengedepankan profesionalisme serta memberikan apresiasi kepada profesionalitas, mau bersama dengan PKS untuk bersih dan peduli, maka dia akan dapat menjadi warga PKS,” ujarnya lantang.

Luthfi memastikan, hal ini tak akan mengubah fundamental PKS. Kata dia, amandemen AD/ART tidak pada bab fundamental, namun hanya pada masalah mekanisme organisatoris. “Prinsip dasar partai akan tetap sama yakni PKS adalah partai Islam yang Pancasilais dan nasionalis,” ujarnya. Pengaturan ulang pola keorganisasian partai yang baru ini dalam rangka menyongsong target-target yang ingin dicapai PKS di masa mendatang.

Nah, apa lagi kalau bukan untuk mendongkrak posisi ke tiga besar dalam pemilu nanti?

Partai Tengah


Selain soal anggota nonmuslim, PKS merancang marketing politik dengan memaklumkan diri sebagai Partai Tengah. Hal itu terlihat dari statemen petinggi PKS yang menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan stigmatisasi sebagai partai kanan, eksklusif, dan Islam konservatif. “Misi transformasi kita tekankan. Kita ingin tinggalkan perdebatan Islam dan nasionalisme, sehingga kita masuk pada isu substantif. Pancasila sebagai konsensus nasional tidak perlu diperdebatkan,” kata Kepala Divisi Kebijakan Publik DPP PKS Mustafa Kamal.

Menurut Mustafa, dalam Munas ditegaskan bahwa PKS adalah partai terbuka, inklusif, dan tidak lagi lekat dengan pemahaman keagamaan konservatif. Apalagi, Majelis Syuro PKS juga telah menghasilkan keputusan tentang wacana kebangsaan yang lebih strategis: PKS akan keluar dari dikotomi Islam-Nasionalis. “Kita butuh lompatan besar. Kita akan masuk domain wacana kebangsaan yang lebih strategis," kata Anis Matta.

Di masa lalu, kata Anis, energi PKS terfokus pada pengembangan organisasi. Namun karena dirasa sudah selesai, PKS kini mengalihkan perhatiannya pada wacana yang lebih luas dengan tema peradaban. PKS, kata dia, ingin keluar dari tema-tema sempit, seperti dikotomi Islam-Nasionalis. “Kita anggap ini selesai, kembangkan lebih besar. Karena itu semboyan kami, PKS untuk semua, ingin masuk tema lebih besar. Islam dan nasionalis tidak relevan lagi dibicarakan," pungkasnya.

Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq mengakui, pilihan untuk bergeser menjadi partai inklusif, moderat, dan modern, tak terlepas dari refleksi perjalanan partainya selama 10 tahun terakhir. “PKS berasal dari gerakan ke-Islaman selama 20 tahun. Warna eksklusifitas terlalu kuat,” kata Mahfudz. Menurut dia, pengalaman tiga kali pemilu pasca-reformasi menjadi bukti untuk meneguhkan PKS sebagai partai modern, moderat, dan inklusif.

Sejak 2000, kata Mahfudz, PKS mulai membangun diri menjadi partai Islam moderat, inklusif, dan modern. “Tapi itu tak gampang, karena kalau dibedah, orang PKS macam-macam, mulai pengikut Umar Patek hingga Umar Wirahadikusumah,” ujarnya. Maka, pada Pemilu 2014 PKS akan memaksimalkan peran kepartaian di tengah mulai meredupnya Partai Demokrat dengan tidak tampilnya lagi SBY sebagai calon presiden. “Makanya kita tetapkan target PKS menjadi tiga besar di Pemilu 2014,” ujarnya.

Untuk mendongkrak suara PKS, Anis berharap pada 2014 kader PKS akan mencapai 2 juta kader, yang menyebar hingga ke daerah yang kini belum menjadi basis PKS. “Mudah-mudahan 1,2 juta kader, jadi ada 2 juta kader,” ujarnya. Anis percaya, target itu bisa diraih karena saat ini PKS adalah partai Islam terbesar. Dengan target itu bahkan akan menambah raihan suara PKS.

Untuk mensukseskannya, PKS membidik suara kaum nahdliyin dan Muhammadiyah. Untuk itu, PKS membentuk lembaga baru dalam struktur kepengurusan DPP PKS periode 2010-2015, yakni bidang pengembangan keumatan. “Bidang itu mengurus keumatan seperti sekolah, pesantren dan ormas. Bagaimana PKS bisa bekerjasama dengan Muhammadiyah dan NU,” kata Anis Matta. Bidang ini akan diisi Ahmad Zainudin anggota FPKS di Komisi X.

Munculnya lembaga baru ini tak terlepas dari refleksi atas ketegangan antara PKS dengan sejumlah ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Sebagaimana telah diketahui, dalam 10 tahun terakhir telah terjadi ketegangan antara PKS dengan sejumlah ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Pokok masalahnya soal perebutan masjid antara kader PKS dengan NU maupun Muhammadiyah. Ketegangan ini ditanggapi serius dengan reaksi dari pimpinan ormas Islam baik NU maupun Muhammadiyah.

Atas rencana ini, Wakil Sekjen DPP PKB Muhammad Hanif Dhakiri menyatakan bahwa partainya sama tidak khawatir dengan upaya PKS mendekati kalangan nahdliyin. “Itu bukan hal baru dan sama sekali tidak mengkhawatirkan,” ujarnya. Menurut dia, PKS boleh masuk ke mana saja, akan tetapi password-nya NU tetap PKB. Maka, jika pada akhirnya upaya itu tak berhasil meraup dukungan kaum nahdlyin, PKS tak perlu kaget. “Kalau nanti yang keluar tulisannya error atau your password doesn’t match, ya jangan kaget,” ujarnya.

Sindrom Kekecilan Baju


Beberapa pengamat menduga, upaya PKS menjadi terbuka akan menghadapi banyak tantangan. Sebab, menurut peneliti senior Lembaga Survei Indonesia Burhanuddin Muhtadi, “tidak mudah meyakinkan kader-kader PKS untuk terbuka terhadap non muslim karena sebagian besar mereka konservatif,” ujarnya. Indonesianis dari Australian National University Greg Fealy juga mengatakan bahwa ide menjadikan PKS sebagai partai terbuka bukan tanpa risiko.

Di samping berisiko di internal PKS, Greg juga mengingatkan adanya resistensi yang juga bakal muncul dari kalangan non muslim. ”Kalau melihat bahan-bahan latihan bagi kader PKS misalnya Gozhwul Fikri, jahiliyah, dan syahadat, bagaimana orang nonmuslim kalau mendengar ini, tentu tidak enak,” ujarnya. Sebagai mana yang terjadi pada partai-partai Islam lainnya di seluruh dunia, resistensi akan muncul dari kelompok yang konservatif dan progresif.

Greg menilai PKS serius untuk membangun partainya menjadi partai terbuka dan moderat. Langkah ini ditempuh jelas menggunakan logika politik. Namun, resistensi di internal partai pasti terjadi atas ide ini. “Susah bagi banyak kader untuk menerima orang non muslim,” ujarnya saat ditemui di arena Munas II PKS, di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Sabtu (19/6).

Karena itu pula Burhanuddin mengingatkan PKS agar berhati-hati dalam mengambil langkah drastis ini. Sebab, bukannya untung yang akan diperoleh, namun justru kegagalan dalam pemilu nanti.  “Alih-alih mendapat simpati pemilih non muslim, PKS juga terancam kehilangan dukungan dari basis massa ideologis PKS yang selama ini resisten terhadap ide-ide keterbukaan,” ujarnya. Hal itulah yang terjadi saat ini ketika tokoh-tokoh dan kader Jamaah Tarbiyah memilih mundur dan melepaskan diri dari perilaku PKS yang dianggap kekanak-kanakan itu. Diantara mereka adalah Ustad  Abdul Hasib, Ustadz Abu Ridho, Ustadz Daud Rasyid, Ustadz Mashadi, Ustadz Ihsan Tanjung bersama para kader mereka.

Melihat fenomena ini, beberapa tokoh muslim menilai, PKS saat ini sedang mengalami sindrom kekecilan baju, seperti yang pernah dialami Amien Rais dulu ketika mendirikan Partai Amanat Nasional. Saat itu, ketika ditawari pemimpin-pemimpin Islam untuk memimpin partai Islam yang akan didirikan bersama, Amien memilih membuat partai baru yang berazas nasionalis sekuler. “Saya tak ingin memakai baju yang kekecilan,” ujarnya saat itu.

Yang terjadi kemudian, Amien membentuk partai baru bernama PAN, yang perolehan suaranya pun tidak mencapai 7 persen suara total. Penyebabnya, karena kaum muslimin ragy memilih PAN karena tidak berazas Islam sementara kaum non muslim menilai bahwa langkah Amien membentuk PAN hanya sekadar strategi dari Amien yang selama ini dikenal sebagai tokoh musim bersuara keras.

Jadi tampaknya, meski teori mengelola konsumen di atas sudah kuno, para pedagang harus tetap mencamkan adagium pemasaran ini. Bahkan, tak hanya pedagang yang perlu memahami teori tadi, PKS yang sedang hot-hotnya menjajakan dagangan untuk meraih sukses dalam pemilu 2014, harus tetap waspada. Jika tak hati-hati mengembangkan pasar, konstituen aslinya –warga Jamaah Tarbiyah— bakal kabur. Wallahu A’lam (Abu Zahra)


latestnews

View Full Version