View Full Version
Selasa, 29 Jun 2010

NEGERI MURAM BERNAMA NKRI

Oleh: Aru Syeiff Assadullah (Pemimpin Redaksi Suara Islam) Betapa menyedihkan nasib anak-anak negeri bernama NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) hari ini. Saat menulis artikel ini, 25 Juni 2010 muncul kabar pemerintah, mulai 26 Juni 2010, menaikkan pajak di STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor) dan tarif pembuatan/perpanjangan SIM (Surat Ijin Mengemudi) sebesar rata-rata 60%. Pengumuman ini membuat pemilik sepeda motor (rakyat kecil) berdesir jantungnya karena belum sebulan terakhir ini mereka sudah dikejutkan dengan rencana pemerintah hendak menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik) mulai Juli 2010, dan pencabutan subsidi BBM mulai Agustus 2010). Sepeda motor yang kini menjadi kendaraan andalan rakyat kecil tidak boleh lagi menggunakan premium dan harus menggunakan BBM non-subsidi,yakni  Pertamak yang harganya hampir dua kali lipat dibandingkan premium.

Terbayang betapa terpuruk nasib rakyat bersamaan berbagai kebijakan itu diterapkan pemerintah, berturut-turut dua bulan ke depan. Diyakini oleh para ekonom kritis, kondisi ekonomi rakyat Indonesia saat ini saja sudah semakin merosot drastis. Daya tahan dan daya beli rakyat kini meluncur ke titik nadir. Seperti dilaporkan Suara Islam, edisi lalu, No.90 18 Juni-2 Juli 2010 (Baca : Menjelang Datangnya Juli Kelabu), rakyat Indonesia selalu menghadapi “teror” tiap kali bulan Juli datang, yakni masa anak-anak memasuki pergantian tahun ajaran baru. Biaya pendidikan beberapa tahun terakhir ini naik meroket  puluhan kali lipat, walau anak-anak memasuki perguruan negeri sekalipun. Dahulu perguruan negeri milik pemerintah sangat murah. Kini perguruan negeri malah bisa lebih mahal biayanya. Fenomena, “Teror Juli” ini ditandai akibatnya di pegadaian menumpuk barang-barang berharga yang terpaksa digadaikan rakyat jelata. Rakyat kalang kabut menutup biaya pendidikan anak-anak yang makin tak terjangkau.

Padahal pemerintah, juga kalangan legislatif yang bangga sebagai wakil rakyat selalu mengklaim kini telah berhasil mensejahterakan rakyat dengan menaikkan anggaran pendidikan melalui peningkatan jatah di APBN mencapai 20%.Di masa lalu sebelum era reformasi, jatah anggaran pendidikan ditetapkan hanya sekitar 5% saja. Keterangan seperti ini membuat rakyat kecil menjerit dan makin  marah saja. Faktanya walau anggaran pendidikan ditingkatkan sampai 20%, nyatanya biaya pendidikan makin meroket dan tak terjangkau. Jika di masa lalu masuk ke perguruan tinggi negeri hanya beberapa ratus ribu saja biayanya, kini masuk ke fakultas favourit (Fakultas kedokteran misalnya) bisa mencapai ratusan juta rupiah. Hari ini biaya masuk ke SMP dan SMA negeri saja mencapai jutaan rupiah bahkan ada yang mencapai belasan juta rupiah.

 Benar-benar tidak ada hubungannya bahkan berlawanan antara naiknya anggaran pendidikan di APBN yang mencapai 20% itu dengan perbaikan masalah pendidikan di Indonesia. Anggaran naik 20% tapi biaya pendidikan justru naik 1000%  bahkah 2000% dibandingkan kondisi 10 tahun lalu.Seharusnya dengan naiknya anggaran di APBN sampai 20%, otomatis biaya pendidikan menjadi turun semurah-murahnya. Jika sepuluh  tahun lalu, belum terdengar kabar bangunan sekolah-sekolah ambruk, kini malah dimana-mana mulai terdengar sekolah ambruk dan hancur.Nasib guru pun bagai tak berubah, malah DPR RI makin sering didatangi anggota PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang menuntut hak-haknya, misalnya para Guru Bantu yang tak kunjung diangkat sebagai pegawai negeri kendati sudah puluhan tahun mengabdi.Dan pemerintah pun bagai menutup mata dan menutup telinga terhadap adanya fakta yang justru terbalik ini. Pemerintah malah mengumumkan program kebanggaannya yakni program bantuan pendidikan BOS yang seolah-olah membantu rakyat miskin di bidang pendidikan.Program BOS dirasakan rakyat miskin sekadar tebar pesona belaka.

Adanya Sama dengan Tidak Adanya

Ungkapan ini seperti melekat di tubuh pemerintah SBY yang kini memasuki pemerintahan Jilik ke-Dua, yakni : Adanya (pemerintah) Sama dengan Tidak Adanya (pemeintah). Dengan kata lain,walau pemerintrah SBY hari ini tak usah bekerja apa-apa negeri bernama NKRI ini tetap berjalan. Bahkan adanya pemerintah dengan berbagai kebijakannya itu justru memberatkan rakyat. Misalnya pemerintah bertekad menghapus subsidi BBM dengan berbagai alasan yang “berbusa-busa” itu. Kenapa pemerintah ngotot hendak  menghapus subsidi yang beresiko terjadi mata-rantai ekses yang akan sangat memberatkan ekonomi rakyat jelata? Padahal subsidi yang dihapuskan itu hanya bernilai beberapa puluh trilyun saja. Bandingkan  begitu mudahnya pemerintah mengeluarkan biaya  sampai Rp 6,7 Trilyun hanya untuk membantu sebuah bank kecil yang dimiliki seorang yang diketahui sebagai “perampok” dunia perbankan. Demikian juga anggota DPR begitu mudahnya mengusulkan Dana Aspirasi yang cenderung memudahkan celah korupsi bagi anggota DPR sendiri dengan anggaran hampir 10 Trilyun itu.

Untuk menunjukkan fungsi, dan eksistensi pemerintahan SBY ini, klaim-klaim sukses pun acapkali dilontarkan. Misalnya pemerintah beberapa tahun lalu mengumumkan sudah berhasil melunasi hutang ke IMF. Ternyata klaim ini, memang benar dilakukan namun di belakang pintu tanpa gembar-gembor telah berhutang kembali ke IMF dalam jumlah yang lebih besar. Bahkan pemerintah terus-menerus berhutang melalui penerbitan SBI (Sertivikat Bank Indonesia), SUN (Surat Utang Negara), dan semacamnya yang notabene memberikan bunga sangat besar sampai 13%. Ada lagi hutang baru ke sejumlah negara donor dengan batas pembayaran sangat  pendek. Rejim Soeharto saja dahulu, hutang-hutangnya dengan jangka pembayaran yang amat panjang, rata-rata 30 tahun. Kini pemerintah SBY sudah menerbitkan SUN dan semacamnya, dan sudah mencapai nilai  Rp 600 Trilyun. Dipastikan pula kelangsungan pemerintahan SBY saat ini dibiayai melalui hutang-hutang ini : Gali Lobang Tutup Lobang. Kewajiban membayar hutang yang jatuh tempo bernilai sekitar Rp 70 Trilyun/bulan dibayar dari uang hasil hutang pula. Sungguh memprihatinkan.

Tatkala diumumkan oleh pemerintah bahwa prestasi ekonomi Indonesia, bersama India saat ini sangat membanggakan, yakni berhasil lolos dari ekses dan pengaruh, krisis ekonomi di Amerika, sehingga dipuji-puji seluruh dunia, sesungguhnya  puja-puji itu bermakna kosong melompong. Ekonomi Indonesia sebagaimana dirinci yang mendasar di atas, sesungguhnya jauh dari prestasi malah sebaliknya. Pengumuman pemerintah bahwa Pertumbuhan Ekonomi Indonesia hanya mencapai 4%, tentu jauh dari cukup untuk bisa disebut aman apalagi bisa mensejahterakan rakyat. Ketika ekonomi Indonesia benar-benar stabil di sepanjang pemerintahan Soeharto ketika itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7-8%. Ekonomi Cina saat ini disebut-sebut melejit luar biasa, karena pertumbuhan ekonominya pun mencapai 10% bahkan lebih. Keberangkatan SBY ke Konferensi G-20, akhir Juli lalu di Canada niscaya bukan indikator bahwa ekonomi Indonesia merupakan negara  makmur bersama 19 negara lain anggota G-20.
                                                             
Alasan ungkapan sub-judul di atas: Adanya Sama dengan Tidak Adanya, bisa dirasakan dalam fakta-fakta yang lain.Sebagaimana diuraikan di bagian atas, antara lain pemerintah sekadar mengikuti agenda ekonomi kapitalistik dan liberalistik ketika memaksa sejumlah kebijakan yang jelas-jelas memberatkan rakyat kecil. Minimnya pembangunan, bahkan stagnan menjadi bukti lain Adanya Sama dengan Tidak Adanya. Infra struktur paling dasar pun seperti jalan-jalan raya tak bisa dirawat semustinya, apalagi mengharapkan membangun jalan-jalan baru untuk mengimbangi kendaraan bernotor yang terus meningkat tajam jumlahnya. Jika SBY dengan gagah meresmikan proyek peresmian jalan, seperti Jalan Tol Cirebon-Brebes belum lama ini, ternyata proyek itu dibangun oleh swasta, yakni Kelompok Bakrie Brothers. Bukan didanai pemerintah.

Membangun Pendidikan Ingat Muhammadiyah


Sungguh muram masa depan negeri ini. Bahkan membangun infra struktur jalan raya yang paling vital dibutuhkan rakyat pun, sudah tidak bisa dilakukan oleh pemerintah. Dan yang lebih memprihatinkan, tentu saja pemerintah tidak bisa membangun Dunia Pendidikan yang merupakan bidang terpenting bagi masa depan rakyat Indonesia. Sebagaimana di uraikan di atas, kebanggaan DPR bersama eksekutif/pemerintah yang telah mensahkan anggaran APBN untuk pendidikan mencapai 20%, ternyata hanyalah lip-servise belaka. Fakta di lapangan, Dunia Pendidikan su8ngguh sangat muram bahkan mengerikan. Bayangkan, komersialisai pendidikan juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan milik negara. Rakyat, dijadikan obyek pemerasan habis-habisan. Dipastikan beberapa tahun ke depan, jika model komersialisasi pendidikan seperi ini dibiarkan, maka kesempatan memperoleh pendidikan hanyalah diraih oleh kalangan The Have, alias golongan berduit saja yang jumlahnya hanya beberapa gelintir di negeri ini. Jika sudah terjadi seperti ini, apa bedanya dengan suasana tahun 1920 bahkan sebelumnya, di mana Kolonial Belanda memang membatasi akses pendidikan rakyat kecil. Pendidikan hanya diberikan kepada kalangan bangsawan saja. Jika begitu faktanya, tak ubahnya pembangunan pendidikan justru mengalami set-back alias kembali ke zaman Penjajahan Belanda.

Ingat membangun dunia pendidikan niscaya menjadi ingat apa yang dilakukan Muhammadiyah. Saat ini Muhammadiyah telah eksis di negeri ini sepanjang seratus tahun. Bersamaan ulangtahunnya yang se-Abad ini, Muhammadiyah menggelar muktamarnya yang ke 46 pada 4 Juli ini di Yogykarta. Betapa besar jasa Muhammadiyah di bidang pendidikan, dan memajukan rakyat Indonesia sejak 1912 hingga hari ini. Tak henti-henti Muhammadiyah membangun sekolah di negeri ini mulai tingkat TK hingga perguruan tinggi. Saat ini Muhammadiyah tercatat memiliki hampir 15.000 lembaga pendidikan. Muhammadiyah juga membangun ratusan rumah sakit, besar dan kecil di seluruih Indonesia, juga rumah-rumah dan Panti Asuhan Anak Yatim, di seluruh Indonesia juga di Singapura dan Malaysia. Betapa besar jasa Muhammadiyah di bidang pendidikan. Niscaya tidak ada organisasi kemasyarakatan di negeri ini yang memiliki lembaga pendidikan sebesar yang dimiliki Muhammadiyah. Tercatat pula Presiden Soeharto pun ternyata  diketahui berlatar pendidikan Muhammadiyah. Soeharto menghabiskan pendidikan Menengahnya di SMP Muhammadiyah Pracimantoro Wonogiri Jawa Tengah. Pendidikan Kemuhamadiyahan melekat pada diri presiden ke-dua NKRI ini. Begitu halnya Presiden Soekarno karena kecintaannya kepada Muahammadiyah, pernah berapi-api berpidato dan menyatakan : “Jika Aku kelak meninggal dunia aku.wasiatkan, keranda janazahku agar diselubungi bendera Muhammadiyah”.

Walau demikian besar jasa Muhammadiyah di bidang pendidikan, toh Menteri P&K Daoed Joesof, yang dikenal amat sekuler, pada 1980 pernah “menggencet” Muhammadiyah dengan menghentikan bantuan rutin pemerintah—yang sedikit itu—kepada semua lembaga pendidikan di bawah Muhammadiyah.. Sebelumnya pada 1979, Daoed Joesoef mengumumkan pula penghapusan Liburan Puasa di seluruh sekolah baik negeri dan swasta.Dengan penghentian bantuan ini, M.Natsir bersama Kasman Singodimedjo mendatangi kantor pusat Muhammadiyah di Menteng Raya 62 dan mengumumkan tekadnya  mengumpulkan dana untuk menutupi terputusnya bantuan pendidikan pemerintah kepada Muhammadiyah. Umat Islam pun ramai-ramai menyerahkan harta bendanya membantu Muhammadiyah.

Kini di tengah terpuruknya rakyat Indonesia menghadapi kebijakan pendidikan oleh pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat kecil itu, Muhammadiyah melalui forum muktamarnya di Yogyakarta, niscaya wajib membicarakan masalah pendidikan ini dengan prioritas membantu memberikan pendidikan murah kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan modal lembaga pendidikan mencapai belasan ribu buah, jika dicanangkan tekad pendidikan murah itu, niscaya Muhammadiyah menjadi pelopor yang nyata, sebagaimana fungsinya sejak seratus tahun lalu selalu memberi obor pendidikan kepada bangsa Indonesia. Kini obor pendidikan itu bagai telah padam, dan Muhammadiyah wajib menghidupkan nyala obor itu. Negeri Muram bernama NKRI ini pun insya Allah bisa diubah Muhammadiyah kembali menjadi Negeri Berseri. Semoga!


latestnews

View Full Version