Adanya kekhawatiran Muhammadiyah kembali dipimpin seorang intelektual seperti Amien Rais, Syafi'i Ma'arif dan Din Syamsuddin, sesungguhnya tidaklah perlu. Pasalnya, Muhammadiyah yang mengedepankan gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, dipimpin intelektual ataupun ulama sama saja. Sebab seorang intelektual bisa saja menjadi ulama ataupun sebaliknya.
“Saya kira tidak perlu dikhawatirkan, sebab pengertian ulama dapat juga secara dinamis dan progressif. Ulama sekarang adalah seorang yang ahli dalam ilmu agama tetapi juga memiliki wawasan ilmu duniawi yang luas,” ungkap mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Imam Ad-Daroqutni kepada Suara Islam di Muktamar Muhammadiyah, Senin (5/7).
Menurutnya, selama ini Muhammadiyah tidak pernah membedakan antara ulama atau kiyai dengan intelektual. Adapun yang terpenting adalah seorang ulama, kiyai ataupun intelektaual harus memiliki landasan agama sangat kuat sehingga tidak terpengaruh dengan berbagai godaan duniawi.
“Bisa saja pakaian sehari-hari seorang ulama Muhammadiyah seperti orang barat dengan jas dan dasi, jadi tidak harus pakai jubah dan sorban dengan kemana-mana membawa tasbih,” tegas ulama muda yang juga seorang hafidz tersebut.
Menyinggung mengenai tampilnya dedengkot Sepilis (Sekularis, Pluralis dan Liberalis) dalam kepemimpinan Muhamamdiyah, mantan anggota DPR RI itu merasa tidak perlu khawatir. Sebab paradigma pemikiran di Muhammadiyah sudah sangat jelas dan tegas.
KH Ahmad Dahlan sejak dulu selalu berusaha menggabungkan antara pemikiran Salafi yang diwakili Muhammad bin Abdul Wahab dan Sayyid Jamaluddin al Afghani dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Maka lahirlah pemikiran Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf hani mungkar di Indonesia.
Sementara itu Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Kuala Lumpur Malaysia, Zulfan Haidar Zamzuri Umar kepada Suara Islam menegaskan akan bahayanya Sepilis. Sebab pluralisme tidak bisa menyatukan umat manusia dan tidak akan mampu menjadi solusi terhadap perdamaian dunia. (Abdul Halim)