Sudah ratusan perwira dan ribuan prajurit TNI yang dilatih Amerika Serikat. Tarik ulur program kerjasama itu hanya karena urusan kepentingan belaka.
“Kita harus meninggalkan bisnis pelatihan militer asing. Kita tidak bisa mengajarkan demokrasi dengan ujung bayonet,” kata Joseph Moakley, seorang anggota Kongres Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, beberapa tahun lalu. Gugatan itu diucapkannya ketika proyek pelatihan militer AS, International Military Educational and Training (IMET) digugat kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat internasional.
Gara-gara kritik tajam berbagai LSM terhadap TNI terutama Kopassus sejak kasus penculikan aktifis, Kerusuhan Mei dan lepasnya Timor Timur dari Indonesia, Amerika Serikat memutuskan untuk menghentikan kerjasama pendidikan dan berbagai program latihan dengan TNI. Apalagi ketika berbagai konflik horizontal melanda tanah air pasca Kerusuhan Mei 1998 seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, Sanggau Ledo, dan Aceh.
Selain menghentikan program pendidikan militer, Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan embargo persenjataan dan suku cadangnya. Padahal, gara-gara embargo suku cadang, berbagai burung besi Indonesia terpaksa hanya bisa ngendon di pangkalan kalau tak ingin nyungsep ke bumi. Pesawat F-16 edisi paling kuno yang kita miliki rontok satu per satu, A-4 Skyhawk milik Israel yang dihibahkan ke Indonesia untuk uji senjata cluster bom di Timor Timur di masa Almarhum (!) Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani disandera saat diperbaiki di AS, OV-10 Bronco yang efektif untuk menangkal resurgensi gerilya GAM di Aceh pun dilarang terbang.
Tak hanya burung besi pembunuh, pesawat angkut berat Hercules C-130 yang selama ini diandalkan dalam berbagai operasi kemanusiaan maupun operasi militer yang didukung Amerika Serikat seperti operasi Seroja di Timor-Timur, juga diembargo suku cadangnya. Selain jatuh satu demi satu, ada pula yang terpaksa dikorbankan untuk menghidupi mesin yang lain. “Apa boleh buat, kita harus menerapkan sistem kanibalisme,” kata KSAU Marsekal Hanafie Asnan ketika itu.
Akibat embargo suku cadang maka ketika bencana Tsunami Aceh terjadi, TNI yang nyaris lumpuh tak mampu bergerak cepat untuk menggelar operasi penyelamatkan. Akhirnya militer asing boleh lalu lalang di Aceh dengan peralatan militer super canggih untuk membantu penyelamatan. Mau tak mau para prajurit TNI pun ngiler melihatnya,. “Kalau kita tidak meminta bantuan mereka, lalu apa yang bisa kita lakukan,” kata Jenderal Endriartono Soetarto, Panglima TNI saat itu.
Momentum Tsunami akhirnya membuat Amerika Serikat mau mengendurkan embargo. Tapi yang dilonggarkan baru suku cadang untuk Hercules. Yang lain “no way”. Karena itu TNI meneruskan upaya untuk mencari peralatan baru dari Rusia yang pernah dirintis presiden Soeharto ketika berencana untuk membeli pesawat Sukhoi, dan terealisasi di masa Presiden Megawati, yang ironisnya pesawat canggih tanpa senjata pembunuh itu ditukar dengan beras ketan.
Jaman mulai berubah ketika Presiden Yudhoyono memerintah dan membina hubungan yang semakin baik dengan Paman Sam. Maklumlah, SBY adalah lulusan The General Staff and Colleger di Fort Leavenworth, sekaligus lulusan Webster University dan George Washington University. Bahkan dalam The Internasional Heral Tribune edisi 8 Agustus 2003, SBY pernah mengatakan bahwa, “I love United States with all its fault. I consider it my second country…”
Namun, saat itu baru polisi yang terus dimanjakan Amerika Serikat dengan berbagai bantuan dan pelatihan kepada satuan anti teror Detasemen 88, dengan dalih perang global “war against terrorism” yang dikorbankan Presiden George W Bush. Adapun TNI masih dicurigai, termasuk ketika mendapat tawaran kredit satu milyar dolar dari Rusia untuk membeli pesawat-pesawat made in Rusia. “Tampaknya mereka khawatir kalau kita akan bergeser ke Rusia,” kata Wakil Menteri Pertahanan Letjen Sjafrie Sjamsoeddin saat masih menjabat sebagai Sekjen Dephan.
Maka tak heran jika kini Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates datang ke Indonesia untuk bertemu Presiden SBY dan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Dalam pertemuan itu, tak lupa ia memuji-muji keberhasilan reformasi di tubuh TNI, khususnya di tubuh Kopassus yang menurut dia semakin baik. Dengan mengabaikan kelakuan aparat kepolisian yang kini justru lebih sering mengabaikan masalah HAM di berbagai penjuru tanah air, Gates menilai Indonesia telah berhasil menangani masalah HAM.
Dalam pertemuannya dengan SBY, Gates mengatakan bahwa reformasi TNI selama bertahun-tahun telah menunjukan profesionalisme di tubuh TNI. Sebagai langkah konkret, Gates menyiapkan beberapa permen manis, misalnya janji akan melanjutkan kerjasama keamanan di masa mendatang. “Hal itulah yang menjadi pertimbangan Amerika untuk meningkatkan kerjasama militer,” kata Gates kepada wartawan seusai bertemu Presiden SBY di Istana Negara, Kamis 22 Juli 2010.
--o--
Kerjasama pelatihan militer Indonesia dengan Amerika Serikat sebenarnya sudah berlangsung lama. Misalnya lewat program IMET. Namun, di samping IMET, sebenarnya masih ada beberapa program pelatihan lagi yang terkait dengan penjualan senjata dan program pertukaran militer. Namun, secara spesifik IMET memang menjadi icon pelatihan militer Amerika Serikat untuk prajurit TNI. Maklumlah, IMET adalah sebuah program hibah yang dibentuk Kongres AS sebagai bagian dari undang-undang Kontrol Eksport Persenjataan tahun 1976.
Meski program IMET baru dimulai tahun 1976, tapi program pelatihan bagi perwira Indonesia di AS telah dimulai sejak dasawarsa 50-an. Pada tahun 1950 Kepala Staf TNI AU saat itu Komodor Suryadi Suryadarma juga mengirim 60 kadet ke sekolah penerbang TALOA (Trans Ocean Airlines Oakland Airport), California. Beberapa perwira muda yang dikirim akhirnya menjadi KSAU seperti Marsdya Omardhani, Marsdya Sri Mulyono Herlambang, dan Marsekal Saleh Basarah
Beberapa perwira tinggi TNI AD juga telah mengenyam pendidikan di negeri Paman Sam. Almarhum Jenderal Ahmad Yani, mantan KSAD Jenderal Soerono Reksodimedjo, bekas kepala BAKIN Letjen Soetopo Juwono, mantan Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Letjen Alamsyah Ratuperwiranegara dan puluhan perwira tinggi TNI lainnya adalah lulusan US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas.
Tentu saja, pelatihan itu tak hanya sekadar pelatihan biasa. Berbagai muatan kerap diintroduksikan, termasuk hubungan-hubungan rahasianya. Pada tahun 1960-an istilah binaan Kapitalis kerap terdengar di kalangan kiri sebagai sebutan bagi para jenderal lulusan SESKOAD Amerika Serikat itu. Bahkan, istilah “Our Local Army Friend...” dalam dokumen Gilchrist yang konon palsu itu diilhami oleh banyaknya perwira tinggi dan menengah yang dikirim ke Amerika Serikat Pada saat itu.
Gejala pemanfaatan hubungan pendidikan semakin kuat ketika ternyata Soekarno tak bisa lagi dipegang buntutnya. Bahkan KSAD Jendral Ahmad Yani yang punya hubungan baik dengan Soekarno maupun CIA pun tak mampu mempengaruhinya. Soekarno telah memilih jalan sendiri ke kiri yang makin radikal dengan membentuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Hubungan khusus terus digalakkan dengan semakin meningkatnya ketidaksukaan Soekarno terhadap Barat dan terutama Amerika Serikat.
Akhirnya, ketika hubungan itu tak dapat diperbaiki lagi, pemerintah Amerika Serikat pun ikut berperan dalam upaya mengembalikan bandul jam yang telah miring ke kiri. Serangkaian operasi militer dan operasi intelijen berlangsung. Sayang belum semuanya dapat terungkap ke publik. Namun, dari buku Tim Weiner tentang sepak terjang agen intelijen di Dunia termasuk di Indonesia, para pelaku telah mulai membuka kartu. Dari kesaksian mereka, terungkap bahwa Amerika Serikat sangat terlibat dalam konflik 65, termasuk menyediakan daftar hitam kepada militer.
Yang menarik, justru Soeharto yang tak punya hubungan dengan Amerika Serikat justru naik ke puncak kekuasaan menggantikan Soekarno. Padahal, menjelang Untung Putsch sebenarnya Soeharto sudah beberapa kali meminta kepada Jenderal Yani secara langsung maupun lewat almarhum Mayjen Moehono, agar dimasukkan menjadi anggota kelompok diskusi jenderal-jenderal lulusan Amerika Serikat. Kelompok inilah yang kemudian diblow up PKI sebagai Dewan Jenderal itu. Namun, menurut Moehono, Yani menolak permintaan Soeharto. "Masa hanya sekolah ongko loro saja ingin bergabung dengan kita," kata Yani kepada Menteri Frans Seda maupun kepada Moehono. Kabarnya Soeharto belakangan mendapatkan informasi tentang penolakan Yani, dan ia pun marah....
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah salah satu perwira generasi AMN-AKABRI yang pernah menyelesaikan pendidikan setingkat Seskoad (Sekolah Staf dan Komando TNI AD) itu. Beberapa lulusan Fort Leavenworth lainnya adalah mantan KSAD Jenderal TNI (Purn) R Hartono, mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Purn. Agus Widjojo, dan mantan Panglima KOSTRAD almarhum Letjen TNI Agus Wirahadikusumah. “Di sana kami belajar banyak tentang menggunakan nalar secara kritis,” kata Agus Widjojo.
Sebelum memulai pendidikan lebih lanjut di Amerika Serikat, biasanya para perwira Indonesia harus menempuh matrikulasi bahasa Inggris terlebih dahulu di Lackland Air Force Base, San Antonio, Texas. Maklumlah, banyak perwira TNI yang menguasai bahasa Inggris dengan aksen Jawa, Batak, Makasar dan sebagainya. “Semua angkatan harus sekolah di sini dulu,” kata mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsda TNI Zacky Ambadar. Dari situ, mereka akan disebar sesuai angkatan dan kecabangan mereka.
Amerika Serikat menyediakan banyak sekolah bagi perwira TNI-AD. Untuk kecabangan infanteri, para perwira muda Indonesia biasa disalurkan ke Fort Benning, Colombus, Georgia. Di situlah markas U.S. Army Infantry Training Brigade, U.S. Infantry School, Ranger Training Brigade, Airborne School, dan School of the Americas yang belakangan berganti nama menjadi the Western Hemisphere Institute for Security Cooperation setelah dikritik gara-gara lulusannya banyak yang menjadi pelanggar HAM. SBY, Sjafrie dan beberapa puluh perwira tinggi lainnya adalah lulusan Fort Benning.
Para perwira Komando Pasukan Khusus, biasanya mengikuti kursus di Fort Bragg, North Carolina. Mantan Panglima ABRI mendiang Jenderal LB Moerdani juga pernah sekolah di markas the Green Berrets ini. Untuk cabang kavaleri, mereka belajar di Fort Knoxx, Kentucky. Perwira artileri menempuh pelajaran di Fort Sill, Oklahoma, sementara perwira penerbang TNI-AD akan belajar terbang di Fort Rucker, Alabama. Adapun polisi militer seperti almarhum Mayjen (Purn) Nicklany Sudardjo dididik di Fort Gordon, Georgia. Di berbagai fort itulah mereka menempuh pendidikan setara dengan kursus kecabangan, maupun kursus lanjutan perwira (Suslapa) di Indonesia.
Di samping itu, ada pula sembilan pangkalan Angkatan Udara AS yang menerima perwira muda TNI sebagai siswa penerbang. Zacky Ambadar misalnya menempuh pelajaran di Vance Air Force Base (AFB) di Oklahoma. Selain itu ada pula Laughlin AFB dan Shepperd AFB yang juga berada di Texas. Sementara, Maxwell AFB di Georgia menyediakan kursi setingkat Sekolah Staf dan Komando TNI AU dan Air War College untuk perwira Indonesia. Namun, untuk TNI-AL, tidak terlalu banyak tempat pendidikan yang tersedia. Salah satunya malah menjadi tempat kursus intelijen di US Navy’s Little Creek Base, Virginia.
Ketika IMET dikritisi karena terlalu banyak mengajarkan kemampuan membunuh (lethal skill) Kongres membentuk E-IMET (Expanding IMET) yang lebih banyak mengajarkan kemampuan non-kombatan, seperti kemampuan negosiasi, hubungan sipil militer, hukum perang dan sebagainya. Tapi, di belakang punggung Kongres, pelatihan lethal skill masih dilakukan dengan nama JCET (Joint Combined Exchange Training). Sementara program IMET sebenarnya sudah dibuka kembali sejak empat tahun lalu karena di mata AS Indonesia telah memenuhi syarat.
Kini pemerintah Amerika Serikat tampaknya mulai ingin mengesampingkan saran Joseph Moakley. Maklumlah, selama ini berbagai penasehat militer baik dari Amerika Serikat sendiri maupun “informan” dari Indonesia di Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang menyarankan agar, “Lebih baik merangkul TNI dan menjadikan mereka sebagai kawan, dari pada membiarkan mereka tidak terkendali,” kata mantan Menteri Pertahanan Colin Powell. “Saya pun menyarankan agar mereka memperbaiki hubungan dengan TNI,” kata mantan Duta Besar RI di China, Mayjen Purn Sudrajat beberapa waktu lalu.
Jadi, keputusan untuk membuka atau menutup program pelatihan militer itu sebenarnya tergantung apakah ajaran demokrasi dengan ujung bayonet itu menguntungkan Paman Sam atau tidak. Jika menguntungkan pasti akan diambil, tapi jika tidak pasti akan dicampakkan!!!
Hanibal W Y Wijayanta