Oleh: Lukman Hakim Gayo
Petra, 260 kilometer Baratdaya kota Amman, Jordania. Sebuah kota suku Arab Baduy, Nabatean, selama 500 tahun, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi sampai abad ke-4 Masehi. Setelah berabad-abad Petra dibawah kuasa Nabatean, kemudian bangsa Romawi mengambil alih. Politik dan ekonomi di Petra dikuasai penuh oleh Kekaisaran Byzantium itu.
Mengunjungi kota yang pernah terkubur beberapa abad itu, dapat dilakukan dengan beberapa cara. Dari kota Amman tersedia angkutan khusus bis menuju Petra. Ongkosnya sekitar tujuh sampai 10 dollar AS. Atau dengan taksi, tergantung dari kemampuan tawar menawar. Berkunjung ke Petra, tidak cukup satu hari. Sebaiknya bermalam di Hotel Petra, yang tidak jauh dari lokasi kota kuno itu, untuk bisa lebih lama di Petra.
Saya mengunjunginya dengan menggunakan mobil ”CD” bersama seorang staf Humas dari KBRI Jordania. Kami tidak melewati jalan tol, yang jaraknya dua kali jalan lama, menembus hutan batu dan pasir. Lama perjalanan hampir lima jam. Keinginan melihat kota kuno itu telah menghapus rasa lelah sepanjang perjalanan.
Di area parkir, banyak tawaran yang berdatangan. Antara lain dengan kuda atau berjalan kaki yang dipandu oleh guide lokal. Saya memilih dengan berjalan kaki, supaya lebih bebas dan tidak terikat waktu. Dengan karcis antara dua Jordan Dinar (JD), kami melangkah gontai memasuki gang sempit. Seakan bekas sungai yang sudah kering, membelah gunung tinggi. Melalui jalan zig-zag yang diapit tebing batu pualam yang berwarna-warni, kami sampai di pusat kota Petra.
Barangkali inilah yang disitir Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 74. ”Dan Ingatlah olehmu di waktu Allah menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah, maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”
Petra, sungguh menakjubkan. Meninggalkan peradaban dan jejak tehnologi tinggi, seni pahat yang sudah berdiri hampir 2000 tahun lalu. Bukan hanya dengan tehnologi tinggi, tetapi juga dengan strategi yang tepat sebagai tempat berlindung yang aman. Kota ini dibangun dengan membelah gunung dan memahat tebing-tebing batu. Dimana air bisa dialirkan dengan sistim irigasi yang canggih.
Sejarah singkat.
Pada awalnya, Petra merupakan tempat tinggal suku Edomite. Nabatean, suku Arab Badui dari kawasan Utara Arab, datang dan ikut berperan dalam membangun kota. Kemudian berkembang dengan pesat, dan mampu berkuasa sebagai sebuah kerajaan yang mengontrol rute-rute perjalanan perniagaan, yang melintasi kawasan Petra. Dengan berjayanya Nabatean, maka Edomite kalah dan menyingkir dari kawasan tersebut.
Sejak 300 tahun SM, Nabatean mulai membangun pusat kota di Petra. Pusat kota ini dibangun sebagai pusat kontrol perjalanan kafilah yang berniaga dari dua arah. Kafilah dari Arah Selatan dan Timur menuju ke Arab, kemudian berlanjut ke India dan Cina. Sementara dari arah Barat akan berlanjut menuju Gaza, Mesir dan kawasan Mediterania.
Ahli sejarah memperkirakan, kaum Nabatean telah menguasai dan mengontrol jalur perniagaan dari arah Utara, yaitu Jazirah Arab, menuju Selatan yaitu Damaskus di Syria. Hal ini membuat Romawi pada awal abad Pertama SM, sangat khawatir akan kekuatan Nabatean. Maka Romawi mengirim utusan yang dikepalai oleh Jenderal Pompei untuk menyerang Nabatean. Namun penyerangan yang dilakukan sampai tahun 63 SM itu, tidak berhasil.
Beberapa waktu kemudian, kekaisaran Romawi dibawah Kaisar Trajan berhasil menaklukan dan menjadikan Petra sebagai salah satu provinsi yang ada di kawasan Arab. Ibukota provinsi pindah dari Petra ke Basrah, selatan Syria. Meskipun demikian, Petra sebagai kota tetap berlanjut sampai berjaya dengan membangun berbagai tempat yang sampai sekarang masih terlihat bekas bangunannya. Tak heran jika pembangunan tempat-tempat tersebut banyak diwarnai gaya Romawi.
Beberapa monumen Nabatean, seperti Urr Tomb (berdasarkan manuskrip Yunani tahun 446 M) berubah penggunaannya menjadi gereja. Hal ini berlangsung sejalan dengan masa penyebaran kristenisasi sampai sekitar abad-5 Masehi. Penakluk kemudian membangun tambahan bangunan-bangunan kecil di pusat kota Petra. Tapi kemudian hancur dan ditinggalkan. Petra terkubur dan hilang sampai awal abad ke-19..
Barulah pada 22 Agustus 1812, Seorang peneliti Swiss yang bernama Johan L. Burckhardt, berhasil menemukan ’kuburan’ Petra. Ia menyamar sebagai pedagang muslim dan berbahasa Arab, mengaku berasal dari India. Dalam perjalanannya, ia bertemu dan berbicara dengan seorang penduduk Baduy yang bisa membawanya masuk ke Petra. Ia berpura-pura ingin melakukan kurban di Aaron Tomb yang terletak di atas bukit batu, supaya ia bisa melihat Petra dari atas bukit itu.
Memasuki Petra
Keluar dari gang batu pualam yang zig-zag itu, berdiri di mulut gang. Tampaklah bekas kota kuno membujur dari Utara ke Selatan. Seakan bekas sungai yang sudah kering, yang tebing-tebingnya berkilauan dari cahaya batu pualam. Di dinding itulah, penghuni Petra memahat batu untuk rumah tinggal.
Di depan tampak bangunan yang paling indah di Petra, namanya Khazneh. Seakan sebuah bangunan dengan tiang-tiang penuh ukiran Romawi, berdiri tegak di teras rumah mewah itu. Ternyata semua itu hasil pahatan di tebing gunung. Mereka menggali dengan pahat sampai ke perut gunung, dan menyisakan bagian luar untuk terkesan sebagai tiang.
Berjalan ke Selatan, maka tampaklah sampai ke atas gunung batu itu rumah-rumah tinggal. Kini didiami oleh sejumlah penduduk asli suku Baduy. Mereka berdiam dalam gua batu itu sambil berjualan minuman ringan. Dari sanalah mereka bertahan hidup. Tidak ada yang bisa tumbuh selain hamparan batu.
Lebih mengagumkan lagi, pembangunan sebuah teater terbuka dibagian Selatan kota. Semua itu dipahat dari aslinya sebuah bukit batu. Bukan hanya dekorasi dinding dengan seni pahat yang halus, tetapi juga 33 deretan bangku yang mampu menampung sekitar 4000-an penonton. Semua bangku dibuat dengan seni pahat dari aslinya sebuah hamparan bukit bebatuan.
Di tepian bangunan itu, beberapa anak kecil menjajakan batu pualam yang sudah diasah. Baik untuk cincin, kalung, bros maupun perhiasan lainnya. Kasihan sekali anak-anak ini, karena tidak pernah keluar dari kawasan Petra yang didekap bebatuan itu. Jauh dari keramaian kota.
Di sisi teater terbuka, ada jalan setapak menuju ke atas bukit. Disana sebuah altar yang juga dipahat sedemikian rupa. Menurut penduduk, altar yang suci itu dipakai buat meletakkan kurban. Sampai darahnya mengering diatas batu altar itu.
Inilah kota besar yang pernah hilang dari Sejarah. Setidak-tidaknya sampai tahun 1812. Inilah yang disitir Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al-An’am ayat 44-45. ”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga, apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai keakar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam.”
Yah, penduduk Petra yang tadinya berjaya dan sukses dengan pajak perdagangan yang melintas di kota mereka, telah membuat mereka sombong. Kerusakan dengan memahat gunung semakin menjadi-jadi. Peradaban bersumber dari kesombongan itulah yang dimusnahkan oleh Allah swt. Kota Petra hilang dari muka bumi.
Dalam Surat Hud ayat ayat 67-68, Allah berfirman: ”Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Rabb mereka. Ingatlah kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.”
Bangunan dengan memahat bukit batu itu menjadi saksi bisu sejarah. Peradaban masa lalu yang demikian maju, tehnologi tinggi dan kekayaan melimpah ruah, akhirnya hilang. Yang tersisa adalah bangunan batu yang kosong. Saya coba memasuki gua-gua batu itu. Mereka tinggal dalam gua itu ditemani lampu petromak gas, menyediakan minuman kaleng. ”Kalau malam hangat, kalau siang dingin. Karena kehebatan batu pualam ini,” kata si penghuni.
Bagi mereka tidak ada rencana pindah dari ’kota batu’ ini, karena sulitnya mendapatkan lokasi baru dan biaya pembangunan rumah baru. Tetapi masa depan anak-anak mereka tampaknya menjadi korban. Sebab, sepanjang hari hanya bermain dengan batu, pedagang batu, makan dari menjual batu dan malam tidur dalam rumah batu. Pelajaran apa lagi yang kita peroleh dari ciptaan Allah swt ini?. []