View Full Version
Rabu, 04 Aug 2010

Jangan Berputus Asa Dari Rahmat Allah

Oleh: Rafiq Jauhari (Aktivis Syabab Institute)


Tiada kesempurnaan  kecuali hanya milik Allah semata. Begitu juga dalam hal perbuatan, tiada manusia yang terlepas dari kesalahan dan dosa kecuali mereka yang telah Allah karuniakan kepadanya sifat maksum (terhindar dari dosa). Yaitu, Rasulullah  dan para rasul-rasul Allah yang lainnya. Sudah menjadi sunatullah atas
setiap hambaNya untuk melakukan kesalahan dan dosa. Akan tetapi, sebaik-baik dari mereka adalah yang bertaubat. Yakni, bersegera menyadari kesalahan dan dosa yang
telah diperbuat kemudian memohon ampunan atasnya dan berusaha menjaga diri untuk tidak mengulanginya di lain kesempatan.

Rasulullah bersabda dalam haditsnya, “Setiap anak Adam itu berbuat kesalahan (dosa), namun sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah orang yang bertaubat”. (HR. At-Tirmidzi 2499 dan Ibnu Majah 4251)

Taubat ialah kembali dari keadaan jauh dari Allah menuju kepada kedekatan denganNya. Yaitu, kembalinya seorang hamba kepada Allah setelah sebelumnya ia lalai bahkan bermaksiat kepadaNya kemudian bersegera mengakui kesalahan dan dosanya serta mengharapkan ampunan Allah atas perbuatan itu. Taubat itu mencakup seluruh perbuatan dosa dan kemaksiatan, baik yang lahir maupun yang batin. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dosa-dosa yang batin bahayanya senantiasa lebih besar daripada dosa yang lahir. Karena, dosa yang lahir adalah nampak dan akan segera diketahui. Sedangkan yang batin adalah tersembunyi dan hanya diketahui setelah adanya perenungan dan timbulnya kesadaran.

Ibnu Atha’illah as-Sakandari membagi taubat kedalam dua ketegori, yaitu: taubat inabah, yaitu seorang hamba bertaubat karena takut dari siksaan. Dan taubat istijabah, yaitu seorang hamba bertaubat karena malu terhadap kedermawanan Allah . Perbuatan taubat mensyaratkan beberapa hal sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi, “ para ulama’ berkata, ‘bertaubat dari setiap dosa wajib dilakukan.

Apabila kemaksiatan yang dilakukan seorang hamba ialah maksiat antara antara dirinya dengan Allah dan tidak ada  kaitannya dengan hak anak Adam, ada tiga syarat (yang harus terpenuhi) : (1.) Meninggalkan kemaksiatan tersebut. (2.) Menyesali atas perbuatannya. (3.) Bertekad untuk tidak mengulangi kemaksiatan itu untuk selama-lamanya”. Adapun kalau kemaksiatan itu berkaitan dengan hak anak Adam, maka syaratnya ditambah dengan membebaskan dirinya dari hak-hak pemiliknya. Kalau hak-hak itu berupa harta atau yang semisal, ia harus mengembalikan kepada pemiliknya. Kalau berkaitan dengan menggunjing orang lain dan yang semisalnya,  maka ia harus mendapat jaminan darinya atau meminta maaf. Kesemuanya bertumpu pada keteguhan hati dalam menjalani proses taubatnya. Perumpamaannya adalah seperti
orang sakit yang sudah tahu bahwa buah-buahan bisa membuat penyakitnya bertambah parah. Lalu dia teguh hati untuk tidak memakan sedikit pun buah-buahan selagi dia masih sakit. Dan semua syarat tersebut haruslah terpenuhi. Kalau salah satu darinya tiada, maka taubatnya belum dianggap sah.

Diantara salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan taubat adalah bersegera dalam melakukannya. Allah  berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu kedalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai....” (QS At-Tahrim: 8)

Di dalam ayat yang mulia ini, Allah memberikan dorongan kepada hamba-hambaNya yang beriman agar bertaubat dengan tubatan nashuha. Maksudnya, taubat yang sebenar-benarnya, yang dalam taubatnya tersebut orang yang melakukan dosa tak akan mengulanginya lagi. Selain itu, Allah juga menyebutkan balasan bagi orang yang bertaubat kepadaNya. Pertama, dosa-dosanya akan ditutupi. Kedua, ia akan dimasukkan kedalam jannah.

“... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nuur: 31)  “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau mendzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampun atas dosa-dosanya,... (135) (QS Ali Imron:133-135) 

Akan tetapi, yang musti disayangkan adalah adanya sekelompok manusia yang sebenarnya mereka menyadari kesalahan dan dosa yang mereka lakukan, tetapi mereka merasa merasa sudah kepalang basah dan pesimis akan adanya ampunan dari Allah. Mereka menyangka bahwa dosanya yang sudah sedemikian besar sehingga tidak mungkin lagi untuk dimaafkan. Sungguh persangkaan seperti ini adalah persangkaan yang salah dan menyimpang dari apa yang diajarkan islam. Bahkan, bisa jadi ini adalah bentuk makar dan tipu daya setan untuk senantiasa menyesatkan manusia dari jalan kebenaran.

Apakah belum sampai kepada mereka kisah tentang taubatnya orang yang telah membunuh  99 orang, yang dalam prosesnya menjumpai seorang rahib untuk meminta petunjuk dan nasehat. Tetapi, bukannya nasehat yang dia dapatkan melainkan vonis bersalah. Maka, dia pun membunuhnya dan genaplah menjadi 100 orang jumlah yang terbunuh olehnya. Tapi yang musti dicatat, bahwa dia tidak berhenti sampai di sini. Dia terus berusaha mencari cara bertaubat dengan mendatangi rahib lainnya untuk meminta petunjuk.

Akhirnya, dia menemukan seorang rahib yang alim yang setelah dia menceritakan kisahnya sang rahib mengkhabarkan bahwa ampunan dan rahmat Allah lebih luas dibandingkan dengan dosa yang dia lakukan. Sang rahib kemudian mensyaratkan kepadanya dalam menjalani proses taubat untuk meninggalkan kampungnya yang rusak dan berhijrah menuju kampung yang baik. Ternyata di tengah perjalanan Allah berkehendak untuk mengambil nyawanya. Disini terjadi perdebatan antara malaikat rahmat dan adzab. Kemanakah dia akan dibawa, mendapat nikmat ke jannah atau dilemparkan dalam siksa api neraka dikarenakan proses pertaubatan yang belumlah selesai. Akhirnya datanglah malaikat yang lainnya yang menjadi penengah dan menyarankan untuk mengukur jarak yang telah ditempuh olehnya. Jika lebih dekat kapada tempat asalnya maka dia dibawa oleh malaikat adzab, tetapi jika lebih dekat dengan tempat tujuannya dia dibawa oleh malaikat rahmat. Singkat cerita, setelah diukur ternyata dia lebih dekat dengan tempat tujuan dan akhirnya dia di bawa oleh malaikat rahmat untuk mendapatkan nikmat.

Kisah ini seharusnya menjadi sebuah pelajaran yang berharga bahwa tidak sepantasnya bagi kita untuk berputus asa akan rahmat dan ampunan Allah. Bahkan sebaliknya, kita harus selalu optimis dan berbaik sangka kepadaNya. Tetapi, kita juga tidak boleh menafikan bahwa usahalah yang menjadi tolok ukur keberhasilan atas setiap perbuatan hamba, termasuk didalamnya taubat.

Firman Allah  : “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisaa’:110) Dan firmanNya : “ ... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS Al-Baqarah: 222)

Rasulullah  bersabda: “Sekiranya kalian telah berbuat kesalahan(dosa) hingga sesalahan kalian mencapai langit, kemudian kalian bertaubat. Sungguh Allah akan menerima taubat kalian.” (HR Ibnu Majah 4258, Al-Albani berkata ‘hasan shohih’)


latestnews

View Full Version