Kerusuhan berdarah kembali melanda Darfur. Oposisi JEM menyiapkan serangan dahsyat. Perundingan damai masih terus tertunda.
Setelah tenang beberapa pekan, konflik Darfur kembali memanas. Kawasan kering di Sudan bagian Barat itu 18 Juli lalu kembali dilanda kerusuhan berdarah. Bentrokan terjadi antara militer Sudan dengan kekuatan oposisi utama di Darfur, JEM ( Justice and Equality Movement – Gerakan Keadilan dan Persamaan). Bentrokan berlangsung beberapa hari secara brutal, menewaskan 75 tentara Sudan, sementara 300 milisi JEM meninggal. Jenderal Al-Tayyeb Musbah Osman – komandan militer Sudan di wilayah Barat menyatakan, tentara juga menawan 86 orang JEM.
Menurut JEM – seperti dilaporkan Antara – pertempuran pecah sehari setelah International Criminal Court (ICC) menambahkan tuduhan baru kepada Presiden Sudan Omar al-Bashir telah melakukan genocide di Darfur. Sebelumnya, pada 4 Maret 2009 ICC telah mengeluarkan surat perintah penangkapan Omar al-Bashir atas tuduhan kejahatan perang dan kemanusiaan di Darfur.
Isu genocide sebenarnya hanya alat untuk mendelegitimasi al-Bashir. Sampai saat ini tidak terbukti adanya isu genocide tersebut meski dihembuskan pers Barat. Lima orang panel misi PBB yang dipimpin Hakim Italia Antonio Cassese melaporkan pada tahun 2004 bahwa genosida tidak pernah terjadi di Darfur. Meski memang terjadi sejumlah kejahatan HAM dalam perang, yang justru dilakukan milisi anti pemerintah. Kelima orang itu meminta pengadilan kejahatan perang.
Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisi tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.
Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu. Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Susan Rice – Duta Besar Amerika untuk PBB menyatakan kepada pers, Selasa 27 Juli : Kita sangat prihatin dengan kondisi keamanan di Darfur, yang memburuk”. Dia menekankan bahwa langkah Pemerintah Sudan yang membatasi gerak UNAMID maupun operasionalisasi helikopter UNAMID untuk menunjang misinya, termasuk melindungi warga sipil dan evakuasi pasukan perdamaian UNAMID yang diserang, "sangat tidak bisa diterima dan harus dicegah". Dubes AS untuk PBB itu meminta Pemerintah Sudan agar memberikan "kebebasan penuh akses dan pergerakan kepada UNAMID dan para pekerja kemanusiaan."
Menurut catatan UNAMID (United Nation-African Mission in Darfur / Misi Penjaga Perdamaian PBB dan Uni Afrika di Darfur) korban konflik Darfur pada bulan Mei mencaia 600 orang, sementara pada bulan Juni tercatat 221 orang. Kerusuhan sebagian besar akibat pertikaian antar suku. Pasukan penjaga perdamaian itu mengatakan, tidak dilaporkan terjadi bentrokan setelah suku-suku Rezeigat dan Misseriya mencapai perjanjian perdamaian pada 28 Juni.
Etnik minoritas bangkit melawan dominasi kekuaaan pemerintahan yang dipegang suku-suku Arab, mengakibatkan perang Darfur meletus sejak 2003, dengan korban 300 ribu orang meninggal dan 2,7 juta orang mengungsi. Minoritas menuntut pembagian otoritas kekuasaan dan akses sumber daya alam dan perekonomian yang lebih besar.
Dua kelompok oposisi utama Darfur adalah Sudan Liberation Army /SLA berbasis suku Fur – penduduk pribumi Darfur, dibawah pimpinan Abdul Wahid Nur (pro-Perancis, sangat dekat dengan Israel), dan JEM pimpinan Dr. Khalil Ibrahim yang pro-Inggeris. Keduanya merupakan gerakan bersenjata yang mengobarkan pemberontakan Darfur.
Minyak, Permainan Barat dan Misi Zionis Israel
Selain karena sengketa etnik, konflik Darfur juga dikobarkan campur tangan asing. Negara-negara Barat, seperti Perancis, Inggris, dan terutama Amerika, bermain dalam konflik di negeri miskin yang kaya sumber daya alam. Darfur yang berpenduduk 5-6 juta jiwa ternyata kaya minyak, gas dan uranium.
Pada April 2005, pemerintah Sudan mengumumkan telah menemukan minyak di Darfur Selatan yang diperkirakan dapat menghasilkan 500.000 barel/hari. Tapi jauh sebelum itu, Perusahaan minyak besar AS, Chevron, telah mengetahui kekayaan minyak Sudan sejak awal 1970. Duta Besar PBB George H.W. Bush waktu itu secara pribadi memperlihatkan pada Numeiry hasil foto satelit yang menunjukkan minyak di Sudan. Numeiry agaknya termakan umpan itu. Pada tahun 1979, Jafaar Numeiry, mengundang Chevron untuk mengeksplorasi minyak di Sudan.
Presiden Sudan, Omar al-Bashir, menuding Israel dan sejumlah negara Barat berada di balik konspirasi yang membakar konflik di Darfur. Menurut Bashir, pendanaan perang dan distribusi persenjataan milisi di Darfur yang memerangi pemerintahan Sudan dilakukan oleh Israel dan sejumlah negara Barat, guna menguasai aset kekayaan yang dimiliki Darfur melalui krisis yang sekarang tengah berkobar.
Menteri Pertahanan Sudan, Abdul Rahim Muhammad Hussein, seperti ditulis Yusuf Burhanuddin dalam Majalah Sabili, menegaskan kepada surat kabar Arab Saudi, Okaz, bahwa 24 organisasi Yahudi tengah menyulut konflik di Darfur. “Konflik Darfur disulut oleh 24 organisasi Yahudi yang sangat aktif mengeluarkan pernyataan-pernyataan dan isu holocaust bagian dari kampanye mereka,” kata Hussein.
Pemerintah Sudan sangat khawatir dengan eskalasi perang Darfur. Upaya perdamaian coba dilakukan. Namun upaya perdamaian itu mengalami pasang surut. Maju-mundur proses perdamaian antara kedua pihak berlangsung sejak tahun lalu. Pemberontak utama Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.
Pada Februari tahun lalu, Gerakan Keadilan dan Persamaan (JEM) menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei 2009, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikan setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu. Perundingan di Doha, Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.
Kegagalan perundingan telah mengarah pada peningkatan kekerasan akhir-akhir ini di Darfur. Pemerintah Sudan mengendus eskalasi perlawanan para pemberontak tersebut khususnya JEM di negeri tetangganya, Chad. Para pemberontak ini tengah menyusun kekuatan untuk menyerang Sudan dengan dukungan penuh dari Israel.
Menyikapi ancaman itu, Khartoum kini mempersiapkan pasukan militernya untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi. Juru bicara Menlu Sudan, Ali al-Shadiq, menegaskan, pihaknya tengah mematangkan persiapan pasukan pemerintah guna menghadapi pasukan pemberontak. Al-Shadiq menuding JEM menjalin kerjasama intens dengan terutama saat jubir Israel menegaskan dukungan militer untuk memperkuat barisan pemberontak yang ada di wilayah Chad. Misi utama Israel ini tiada lain agar bisa ikut campur dalam mencaplok pengaruh penguasa lokal di Darfur.
Konflik Darfur sebenarnya juga merupakan pengembangan konflik Sudan Selatan yang dimotori kelompok radikal Kristen Dr. John Garang, pemimpin SPLA (Sudan Peoples’s Leberation Army). Etnik Kristen di Sudan Selatan mengobarkan pemberontakan, menuntut referendum, menentukan nasib sendiri, merdeka dari dominasi Pemerintahan Sudan di Utara.
SPLA mendapat dukungan penuh dari Amerika, dan bahkan kemudian menjalarkan tuntutannya itu ke provinsi Dafur. Pada Juli 2002, Pemerintah dan SPLA mencapai kesepakatan seputar kekuasaan negara dan agama, serta hak menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan. Penetapan hak menentukan nasib sendiri, pembagian kekayaan dan kekuasaan tersebut jelas ancaman strategis dan ideologis bagi Sudan. (msa, dari berbagai sumber)