View Full Version
Kamis, 16 Sep 2010

DENSUS 88 DAN PERANG MELAWAN ISLAM

Isu Densus 88 akan diinvestigasi oleh Australia mencuat. Gara-garanya Australia tidak terima atas perlakuan Densus terhadap separatis RMS. Autralia marah, sebab sebagaimana diakui oleh Kabidpenum Mabes Polri Kombes (pol) Marwoto Suto, negara itu memang mempunyai andil terhadap Densus dengan memberikan sejumlah paket bantuan untuk palatihan. Tentu saja ini adalah pengakuan terbaru dari pihak kepolisian. Selain Australia, penyandang dana Densus 88 adalah Amerika Serikat.

Untuk sekedar mengingatkan pembaca, kami  menurunkan kembali tulisan jurnalis senior yang juga mantan Redpel Tempo, Amran Nasution, tentang Densus 88 dan Perang Melawan Islam yang beberapa tahun lalu dimuat di Tabloid Suara Islam. Selamat membaca!.
(redaksi suara islam.com)

Detasemen Khusus (Densus 88) Anti-Teror Polri ternyata dibentuk atas biaya sepenuhnya dari pemerintah Amerika Serikat. Majalah “Far Eastern Ekonomic Review“ (FEER), edisi 13 November 2003, menulis bahwa pemerintahan Bush mengeluarkan biaya 16 juta dolar (Rp 150 Milyar ) Untuk membentuk detasemen yang punya 400 Anggota itu. Hal yang sama ditulis Koran “ Jakarta Post”, 6 September 2004, dan “Warta Kota”, 12 November 2003.

Laporan Congressional Research Service (CRS), Lembaga riset di bawah The Library Of Congress pada tahun 2005, memaparkan dengan rinci dana yang di keluarkan pemerintah Bush untuk Indonesia, termasuk untuk polri dan pasukan Anti – terornya. Misalnya, pada tahun 2004, Amerika Serikat memberikan bantuan $US. 5.778.000 tahun 2005 sebesar $ US 5.300.000.
   
Kenapa bantuan rutin diberikan? Karena Indonesia dianggap berjasa di dalam perang melawan teror. “Kontribusi Indonesia untuk “global war on terror “ adalah kepentingan vital Amerika Serikat,“ tulis laporan itu .

Melihat fakta dan data di atas, muncul pertanyaan : Bolehkah Polisi Kita bekerja sesuai dengan keinginan asing? pertanyaan kedua: bila itu benar, tidakkah itu bertentangan dengan UUD 1945?. Pertanyaan-pertanyaan itu bertambah penting, karena sekarang sudah terbukti, “ War on terror” adalah “ War on Islam” atau perang untuk menghancurkan Islam.

GLOBAL WAR ON ISLAM
Perang melawan teror diproklamirkan Presiden George W. Bush 20 September 2001.  “Perang melawan teror tak akan berhenti sampai semua group teroris dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan,” kata Bush. Pada kesempatan itu, Bush tak lupa menguraikan bahwa perang melawan teror adalah “crusade” Alias perang salib. Itulah perang tentara Islam dengan Kristen 1000 tahun lalu, untuk memperebutkan Yerusalem.

Proklamasi perang itu diikuti pengarahan pesawat tempur membombardir Afganistan, Oktober 2001, dengan dalih untuk menghancurkan teroris Al-Qaedah, Pemimpinya Usama Bin Laden , serta Rezim Taliban yang melindunginya.

Tak terhitung korban sipil yang jatuh. Afghanistan kemudian dijajah Amerika Serikat dan sekutunya. Sekitar 2.1 Juta warganya jadi Pengungsi ke Iran atau Negara lain. “War On Teroris” dilanjutkan dengan menyerang Irak pada 2003.

Untuk melengkapi infrastrukturnya dalam perang ini, Bush mendirikan penjara di Teluk Guantanamo, Kuba, dan penjara rahasia di Eropa dan Asia. Waktu menyerang Afghanistan, Bush berdalih untuk memburu Al-Qaeda. Lalu menyerang Irak karena Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Ternyata semua itu bohong. Senjata itu tak pernah ditemukan.

Di Palestina, Amerika dan sekutunya Israel mengadu Fatah dengan Hamas, Sunni diadu dengan Syiah di Lebanon dan Irak.  Somalia, Negeri Islam yang amat miskin, di obrak-abrik. Survei yang dilakukan Zogby International, untuk Georgetown University, guna mengetahui sikap masyarakat muslim Amerika Serikat pada 2004, menunjukkan, mayoritas (38%) responden percaya bahwa sebenarnya “War on Terror “ itu adalah “ War On Islam”.

Menurut Zahid Buchari, Direktur Survei Zogby International, munculnya persepsi “War On Islam” akibat pernyataan menyerang Islam dari para pendeta pemimpin Kristen Evangelical Amerika Serikat, seperti Pat Robertson, Jerry Palwell (meninggal beberapa bulan lalu), dan Franklin Graham.

Padahal para pendeta itu dekat sekali secara politik dengan Gedung Putih, terutama dengan Presiden Bush. Buku “America Theocracy” (2006) yang ditulis Kevin Phillips, mantan ahli strategi partai Republik, bahkan menyebutkan, kini Partai Republik merupakan partai Kristen Fundamentalis pertama di dalam sejarah Amerika Serikat. Segepok indikator dan bukti ada di dalam buku itu. Dalam konteks ini menjadi jelas kenapa Bush menyamakan “War On Terror” dengan Perang Salib.

Survey oleh WorldPublicOpinion.org yang tadi dikutip di atas – didukung START Concortium dari University Of Maryland, menunjukkan bagaimana sikap umat Islam terhadap politik luar negeri Amerika. Survey dilakukan dengan jajak pendapat mendalam (in-depth poll) di empat Negara berpenduduk mayoritas Islam: Indonesia, Mesir, Maroko, dan Pakistan, dari Desember 2006 sampai Februari 2007.

Hasilnya, Mayoritas responden 4 negara itu, percaya bahwa Amerika Serikat berusaha menghancurkan dan memecah belah dunia Islam. Responden yang berpendapat seperti itu rata-rata 79 % dari mulai Indonesia 73 % sampai Mesir 92 %.

Dalam presentase yang sama besar (rata-rata 79%), Responden berpendapat, Amerika Serikat sedang berusaha menguasai sumber-sumber minyak di Timur Tengah.  Malah dalam jumlah cukup besar (rata-rata 64 %), responden percaya bahwa tujuan Amerika Serikat adalah untuk menyebarkan Kristen di Timur Tengah.

Maka Arab Saudi yang selama ini dikenal dekat dengan Amerika Serikat kini tampak mulai bersikap lain. Koran “USA TODAY”, 1 September 2006, membuat laporan ketika Mufti Besar Kerajaan Arab Saudi, Sheik Abdul-Aziz Al-Sheik, berkhutbah di Padang Arafah di musim haji 2006, yang dibanjiri lebih dari 2 juta jemaah.

Suara ulama ini biasanya mirip sikap pemerintahannya. Nah, ia mengatakan Umat Islam sekarang sedang menghadapi tantangan yang gawat : dituduh teroris, melanggar hak asasi manusia, dan disuruh merevisi buku teks di sekolahannya “Oh bangsa Muslim, sekarang ada perang terhadap keimanan kita, terhadap budaya kita, dengan dalih palsu memerangi terorisme. Kita harus tabah dan bersatu untuk mempertahankan agama kita. Musuh-musuh Islam ingin mengubah Islam itu dengan nilai-nilai dan penafsirannya, tapi tentara Allah pasti akan menang“ katanya. Terdengar teriakan “amin” membahana di padang gersang

KEBEBASAN JADI DALIH
Majalah mingguan Al Ahram mengangap kecaman Paus Benedict XVI yang menyebutkan Islam disebarkan dengan Pedang, Karikatur Koran Denmark yang melecehkan Rasulullah, berita “ the daily telegraph “ yang menuding nabi, semua adalah bagian dari perang melawan teror .

Bukankah itu kebebasan berekspresi? koran tadi menolaknya. Ditunjukkan bukti, bagaimana sekarang setidaknya 12 negara Eropa menyeret siapa saja ke dalam penjara bila berani mengkritik kebenaran “holocaust“. Pembunuhan orang Yahudi pada Perang Dunia II oleh Jerman. Di mana kebebasan bereksipresi?
Di antara Negara Eropa dimaksud adalah Perancis, Jerman, Italia, Belgia, Austria dan Polandia. Di sana, sekalipun anda peneliti sejarah bergelar doctor, akan dijebloskan ke penjara, bila mengkritik kebenaran “holocaust” ancaman hukumannya tak main-main. Mulai paling ringan, 15 bulan di Swiss sampai terberat 20 tahun penjara di Austria. Dan korbannya sudah banyak .

Di dalam laporan tahunan yang dimuat di Koran Inggris, “The Guardian” 23 Mei 2006, Amnesty International menyerang habis penjara Guantananmo. Amnesty menjulukinya Gulag hari ini (“Gulag Of Today”). Gulag adalah kamp tahanan Uni Soviet untuk lawan politik pemerintah. Sekarang Amerika punya “Gulag of Today”, simbol keangkuhan dan kesewenang-wenangan Negara “Super Power”.

Di sana terdapat hampir 400 tahanan yang ditangkap dari seluruh dunia. Mereka ditahan tanpa jelas tuduhannya, tak bisa ditemui (termasuk oleh pengacara) dan sudah 5 tahun tak dibawa ke pengadilan. Harap catat: semuanya beragama Islam.

Apalagi laporan dari Guantanamo menyebutkan di sana terjadi penyiksaan, penghinaan martabat manusia, serta pelecehan terhadap agama Islam yang luar biasa. Kitab suci Al-Qur’an di masukkan ke dalam kloset. Tujuannya agar tersangka marah dan terpancing buka mulut. Bacalah buku “For God and Country : Faith dan Patriotism Under Fire” tulisan James Yee dan Aimee Molloy (2005)

UNTUK MINYAK DAN ISRAEL

Kenapa Afghanistan dan Irak dihancurkan? kenapa ada “war on terror “? wartawan terkenal Craig Unger dalam bukunya “House of Bush, House of Saud“ (2004) menyederhanakan pilar kebijakan politik Amerika di Timur Tengah, cuma dengan dua kata: minyak dan Israel. Setiap langkah negeri itu, pasti berhubungan dengan minyak. Kalau tidak, dengan Israel, sekutu strategisnya sejak Perang Dunia II.

Oleh karenanya Palestina dan Lebanon harus di pecah-belah. Bila keduanya kuat akan mengancam Israel. Iran dan Syria harus diremukkan sebab selalu mengancam negeri Yahudi itu. Bila Iran sekarang di keroyok dan dipojokkan di Dewan Keamanan PBB dengan dalih pengadaan Uranium, itu cuma alasan yang dibuat-buat. Besok pun, urusan itu bisa diklirkan, asal Iran berbaik-baik dengan Israel. Apalagi kalau minyaknya di serahkan kepada perusahaan Amerika .

Ketika Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddeg yang terpilih secara demokratis, menasionalisasikan perusahaan minyak di negerinya, ia segerah dituduh main mata dengan negeri komunis Uni Soviet. Operator CIA pun bergerak.

Operasi itu dipimpin Kermit “kim” Roosevelt, cucu mantan Presiden Teddy Rosevelt. Maka dollar pun ditebar untuk menghasut orang, tapi terutama untuk mendirikan atau membeli koran dan wartawan. Tiba-tiba saja bermunculan banyak koran baru di Teheran, dan dengan galak menyerang Perdana Menteri Mosaddeg.

Orang-orang Kim Roosevelt menggarap para jenderal untuk melakukan kudeta. Seperti tercatat dalam sejarah, aksi CIA itu berhasil. Agustus 1953, huru hara pecah di negeri itu, dan Musaddeg ditumbangkan . Shah Iran yang sudah lari ke Roma, dipanggil pulang, dinobatkan menjadi raja. Bila diamati, apa yang terjadi mirip dengan peristiwa mei 1998 di Indonesia, dengan kasus US$ 26 Juta dari Amerika itu.

Semua ini bukan teori konspirasi,  apa yang terjadi – 47 tahun kemudian – diakui secara terbuka oleh Madeleine Al-bright, Menteri Luar Negeri di masa Presiden Clinton. “Pada 1953, Amerika memainkan peran yang signifikan, untuk menjatuhkan Perdana Menteri Mohammad Mosaddeg yang popular,“ kata Albright dalam suatu acara di Hotel Omni Shoreham, Washington, 17 Maret 2000 (Kenneth M.Pollack, “ The Persian Puzzle”,2004)

Kisah seperti inilah sesungguhnya yang terjadi di balik “War on Terror”, bisa di baca buku “Failed States”, dan lebih detil di dalam “America Theocracy”. Penyerbuan terhadap Afghanistan dan Irak sudah di rencanakan sebelum terjadi serangan terror 11 September. Keduanya karena alasannya minyak.

Pertanyaanya sekarang, apakah polisi kita harus ikut menjadi bagian dari perang seperti ini ?? (Amran Nasution)


latestnews

View Full Version