


Oleh: Aru Syeif Assadullah (Pemimpin Redaksi Suara Islam)
 
 Hari-hari September 2010 saat ini ingat kembali, ketika Sekjen PBB Kofi  Anan mengumumkan hasil Referendum Timor-Timur (Tim-Tim), pada 4  September 1999, hari itu penulis tengah berkunjung di kediaman sementara  Letjen (Pur) Prabowo Subianto di Amman Yordania.   Di tengah berbincang dengan tamu yang lain (al: Hartono Mardjono SH,  Fadli Zon, Ahmad Muzani), tiba-tiba telepon seluler Prabowo berdering.  Sejurus berbincang di telepon, Prabowo tampak  menggertakkan giginya,  mukanya merah padam, murka besar. Tak bisa menyembunyikan kemarahannya  lagi, Prabowo pun  memukul sekeras-kerasnya meja di depannya, Braak!  Kami yang duduk di seberang lain terperangah.
 
 Hartono Mardjono (alm) tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu, segera  bertanya,   “Ada apa Mas Bowo?”. Agak beberapa saat Prabowo tidak  menjawab pertanyaan itu, dan ekspresi wajahnya, masih menegang seraya  tangannya dikepal-kepalkan menahan kemarahan hebat. Dan Prabowo pun  menjawab,”Habis sudah, Tim-Tim lepas sekarang. Sia-sia perjuangan kita  puluhan tahun, dengan korban jiwa-raga, juga darah, air mata dan  segalanya. Dalam sekejap Tim-Tim musnah hanya gara-garanya referendum  konyol itu,” ujar Prabowo terbata-bata menceritakan telepon yang  diterimanya dari tanah air dari sumber resmi Angkatan Darat. Referendum  Tim-Tim yang dipaksakan Barat dan ditekan agar pemerintahan Habibie  melaksanakannya berhasil dengan skenario kekalahan telak di pihak  Indonesia. Dua opsi, bergabung dengan Indonesia atau berpisah dari  Indonesia, dan merdeka, ternyata dipilih opsi kedua. Hasil referendum  yang dicurigai penuh rekayasa itu, 79% memilih pisah dari Indonesia dan  21% memilih tetap bergabung dengan Indonesia.
 
 Guru Besar Ilmu Politik Singapore Nasional University, Prof. Dr. Bilveer  Singh, mengomentari singkat, “Lepasnya Tim-Tim dari Indonesia itu,  sekaligus momentum berakhirnya “Perang Salib di Tim-Tim,”katanya tandas.  Ilmuwan Singapura ini dikenal amat concern terhadap masalah Tim-Tim dan  menulis buku : Timor Timur Indonesia dan Dunia Mitos dan Kenyataan (541  halaman terbitan : I PS, April 1998). Benarkah ada Perang Salib di  Tim-Tim? Buku Bilveer Singh itu membongkar “kejahatan” golongan Nasrani,  khususnya Katolik, termasuk Katolikisasi.
 
 Propaganda sejumlah tokoh Katolik, seperti Markus Wanandi (adik kandung  Shofyan Wanandi), khususnya Uskup Belo, berbuah manis dengan pemberian  Hadiah Nobel untuk Belo pada 1996. Provokasi bertahun-tahun oleh Belo,  mendapat simpati dari Dunia Barat, seolah-olah terjadi Islamisasi  besar-besaran di Tim-Tim, bahkan orang Islam melakukan Genocida alias  pembasmian besar-besaran, dimulai dengan pelanggaran Berat HAM oleh  ABRI. Dunia Barat yang amat Phobi terhadap Islam menyambut hangat fitnah  dan provokasi Belo, itu, apalagi yang jadi korban adalah Katolik. Dan  dengan “Heroik” ketika itu Belo seolah-olah menjadi korban “kebiadaban”  Islam dan harus melarikan diri ke luar negeri mulai ke Australia,  kemudian keliling ke sejumlah negara di Eropa, dan berceramah tentang  jahatnya orang Islam yang menjarah Tim-Tim, sekaligus mememaksakan  Islamisasi. Menurut data dalam buku Singh tercatat penduduk Tim-Tim pada  1940 orang beragama Katolik berjumlah 29.889 orang atau sekitar 8,0%.  Tahun 1974 penganut Katolik di Tim-Tim meningkat menjadi 202.850 orang  atau 29,4%, dan meningkat drastis pada 1994 menjadi 722.789 orang atau  92,3%. Padahal jumlah orang Islam menurut catatan Singh, pada 1974  adalah 5.000 orang dan pada 1994 hanyalah 48.000 jiwa saja. “Jika  pandangan yang berimbang dan obyektif berdasarkan data ini diambil, maka  tidak ada dasar apapun untuk menuduh bahwa Indonesia atau ABRI  melakukan Islamisasi di Tim-Tim,” ujar Singh.
 
 Alhasil tuduhan Islamisasi itu jelas fitnah yang amat keji. Data di atas  membuktikan kebohongan isu Islamisasi di Tim-Tim. Dengan telak Bilveer  Singh menyanggah hal itu setelah melakukan riset yang mendalam di  Tim-Tim. Menurut Bilveer Singh, yang terjadi malah sebaliknya :  Katolikisasi di Tim-Tim.”Jadi ‘alih-alih’ Islamisasi, Tim-Tim justru  mengalami Katolikisasi dan ini hanya membuat kita pertama-tama ingin  tahu apakah ketakutan akan Islamisasi hanyalah kedok untuk menutupi  Katolikisasi besar-besaran yang telah dan berlangsung di Tim-Tim,!”  (Buku Timor Timur Hal. 310, karya Bilveer Singh)
 
 Sejarah Tim-Tim tak pelak merupakan sejarah hitam bagi NKRI, sekaligus  catatan kelam bagi umat Islam yang telah difitnah habis-habisan. Sejarah  dengan terang benderang justru mencatat Indonesia didorong oleh Barat  khususnya Amerika Serikat dan Australia untuk masuk (menganeksasi)  Tim-Tim dengan dalih integrasi guna membendung Komunisme. Sejarah pula  kini mencatat bagaimana Barat, tanpa malu-malu, khususnya Australia dan  Amerika Serikat. memprakarsai rekayasa kemerdekaan Tim-Tim yang kini  berubah menjadi Timorleste. Bagi pahlawan-pahlawan integrasi, seperti  Prabowo dan puluhan jendral lainnya, sejarah hitam Tim-Tim kini dikenang  amat pedih dan  menyakitkan. Ketidak-adilan Barat menjadi sumber  malapetaka di Tim-Tim. Pahlawan yang tergabung dalam Kelompok Seroja,  lebih pahit lagi mengenang Tim-Tim. Teringat pada pertengahan 1970-an  dikerahkan ribuan sukarelawan melalui pangkalan Iswahyudi Madiun, dan  sebagian gugur. Korp Baret Hijau di Kudus, konon bahkan tidak satu pun  yang selamat, tewas dibantai Fretilin yang menembaki pasukan itu saat  mendarat dengan parasit (pelanggaran konvesi Perang Jeneva). Kini markas  mereka di Kudus bangunannya kosong melompong .
 
 Kenangan pahit juga diderita umat Islam yang pernah berkiprah di  Tim-Tim. Ada yang asli penduduk Tim-Tim, ada juga umat Islam pendatang.  Betapa mengerikan mengenang, mereka dijadikan sasaran fitnah ketika itu.  Masjid-masjid di berbagai kota di Tim-Tim terus dibakar pada 1990-an  (Baca Boks : Pelecehan Roti Hostia). Umat Islam pun tunggang langgang  melarikan diri. Catatan laporan ini sekadar mengungkap kejahatan  golongan Nasrani secara faktual. Kini Timorleste—berdasarkan laporan  kunjungan anggota redaksi Suara Islam : HM. Mursalin belum lama  berselang—jauh berbeda dengan era saat dikuasai para pemfitnah.  Pemerintah Timorleste lebih ramah dan ingin membuktikan bahwa mereka  tidak memusuhi Islam dan umat Islam. Entah di mana Belo “Sang Pahlawan  Gereja” saat ini? Pemerintah Timorleste melalui Perdana Menterinya  Xanana Gusmao malah mengimbau agar umat Islam membangun Pusat Islam di  ibukota Timorleste, Dili.
 
 Hari-hari akhir ini kita mendengar konflik yang makin panas antara umat  Islam dengan golongan Kristen HKBP di Bekasi pinggiran Jakarta. Nuansa  konfliknya pun telah di angkat oleh koran-koran milik golongan Nasrani  menjadi opini nasional, seolah-olah umat Islam tidak menghargai  kebebasan beragama. Kita tentu tidak berharap gesekan di Bekasi itu  berekskalasi menjadi konflik besar, seperti di Ambon, Poso, apalagi   ditiupkan fitnah seperti di Tim-Tim. []