Oleh: Aru Syeif Assadullah (Pemimpin Redaksi Suara Islam)
Fakta hubungan yang saling curiga bahkan acapkali terjadi gesekan dan kekerasan antara umat Islam dengan golongan Nasrani, bagai tak bisa dikendorkan di Indonesia. Hari-hari ini gesekan Islam-Kristen membara di Bekasi dan dikhawatirkan akan menyulut pertikaian antar-agama di Indonesia.
Peristiwa Ciketing Bekasi itu menjadi pemicu yang bisa berkelanjutan. Peristiwa Ciketing niscaya merupakan satu peristiwa paling banyak menjadi alasan gesekan Islam-Kristen di Indonesia. Orang Kristen di Ciketing berjumlah hanya 20-an orang dari empat keluarga memaksakan diri mendirikan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Kristen). Mereka jelas-jelas melanggar ijin dengan memanipulasi data untuk memenuhi persyaratan sesuai PMB (Peraturan Bersama Menteri d/h SKB) Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Karena pelanggarannya itulah Pemda Bekasi juga Polres Bekasi menyegel, rumah tinggal yang dipaksakan menjadi gereja itu.Dari sinilah gesekan bermula. Umat Islam protes ditegakkannya PMB sementara orang Kristen nekad membuat kebaktian dengan mengerahkan penganut Kristen dari daerah-daerah lain. Berbulan-bulan peristiwa ini semakin menjadi liar sampai terjadi bentrokan tepat di hari raya Idul Fitri 1431 H yang lalu.
Dalam kasus Ciketing Bekasi ini, terang benderang umat Islam tidak bersalah. Pihak Kristen seolah-olah menjadi pihak yang teraniaya.Orang Kristen sengaja pasang badan agar “dianiaya” umat Islam. Bagaimana mungkin disebut umat Islam menganiaya, kalau fakta di lapangan adalah : Tepat di Hari Raya Idul Fitri 1431 itu, 200-an jemaat HKBI dari berbagai wilayah Jakarta berdatangan sengaja menggelar kebaktian yang amat provokatif di Ciketing. Penduduk dibuat marah karena kemacetan hebat. Melintas pula belasan pemuda Islam mengendarai motor. Terjadilah saling ejek dan berakhir dengan perkelahian 15 pemuda melawan 200-an jemaat HKBI. Tetapi berita yang muncul di hampir semua media justru terbalik dari fakta di lapangan. Semua media khususnya TV menyiarkan bertubi-tubi adanya penganiayaan oleh umat Islam kepada jemaat HKBP di Ciketing Bekasi.
Bahkan jauh sebelum peristiwa Ciketing meledak,melalui jaringan media massa milik golongan Nasrani juga kaum sekuler, opini seolah-olah umat Islam tidak menghargai kebebasan beragama (berdasarkan UUD), juga tidak memiliki toleransi, telah ditebarkan terus-menerus. Berbagai laporan menyindir sampai menuduh secara terang-terangan dan terus digencarkan bahwa umat Islam tidak menghormati kebebasan beragama, tidak memiliki toleransi. Bahkan yang kasar pun dituduhkan, bahwa umat Islam brutal, anarkhis, dan menganiaya golongan minoritas. Berita-berita seperti ini jelas pemutar-balikkan fakta yang amat mudah dibalikkan kembali tuduhan yang sangat tidak berdasar itu. Seperti kasus Bekasi dengan mudah dibalik menjadi peristiwa sebagaimana yang terjadi sebenarnya. Ketika fakta di lapangan diuraikan berbagai pihak berwenang (seperti diuraikan di atas) pihak Kristen HKBP pun, tidak berkutik. Akhirnya mereka pun mengikuti kesepakatan menempati gedung OPP di pusat kota Bekasi.
Walau demikian, opini terus menyudutkan Islam dalam kasus gesekan Islam-Kristen itu, terus saja terjadi di berbagai media melalui artikel dan berita lain yang dikait-kaitkan. Lebih menyakitkan opini yang amat menyudutkan Islam dan umat Islam itu justru dilontarkan oleh sementara tokoh-tokoh Islam sendiri. Dahulu pelopor opini yang “nyleneh” seperti ini selalu dilontarkan Abdurahman Wahid (alm). Kini setelah dia mangkat, ternyata penerusnya bermunculan lebih banyak lagi. Tuduhan mereka yang jauh dari fakta itu antara lain : Umat Islam mengidap chauvinisme beragama dan menindas kaum minoritas. Umat Islam dianggap tidak memiliki sense of minority dan hanya mengumbar gaya pemahaman agama yang sempit dan dzalim, serta formalisasi agama yang berlebihan sehingga memaksakan kehendaknya kepada kelompok lain.
Serba Terbalik dan Fitnah Keji
Dari awal laporan ini telah dikemukakan adanya fitnah golongan Nasrani yang digencarkan secara sengaja dalam kasus Ciketing Bekasi. Ternyata fakta yang terjadi justru sebaliknya. Tuduhan yang lebih mendasar lagi bahwa umat Islam tidak memiliki semangat sens of minority, mengidap chauvinisme beragama dan hanya memahami agama berdasarkan formalisasi yang sempit. Bahkan sebagai kelompok mayoritas telah melakukan penindasan kepada golongan minoritas. Tuduhan yang luar biasa ini jelas-jelas fitnah yang jauh dari fakta kehidupan beragama, khususnya : Islam-Kristen di Indonesia sepanjang sejarahnya. Fakta paling gamblang betapa berlebihannya toleransi umat Islam kepada pemeluk agama minoritas adalah pemberian hak libur di hari-hari besar agama minoritas. Orang Islam tidak protes terhadap kebijakan pemerintah yang telah menetapkan hari libur orang Nasrani sampai tiga kali yakni : Natal, Wafatnya Isa Al Masih dan Paskah, hampir sama dengan hari libur orang Islam. Padahal orang Nasrani hanya berjumlah 8,7% saja. Orang minoritas lain di era Presiden Abdurahman Wahid malah diberi hari libur juga seperti Hindhu, Budha dan Khong Hu Chu, padahal jumlah mereka tidak lebih 1% kecuasli Hindhu 1,6% (Lebih jelas baca kolom KH. Abdul Rasyid AS : Umat Islam Indonesia Paling Toleran Di Dunia).
KH. Abdul Rasyid AS, ulama kharismatis Betawi itu telah membacakan klaimnya bahwa umat Islam paling toleran di dunia di hadapan Majlis Taklim As-Syafiiyah dan disiarkan sejumlah radio Islam, pada Ahad 19 September 2010. Dengan intonasi yang bergetar Kyai Rasyid memprotes tuduhan, seolah-olah umat Islam tidak toleran kepada pemeluk agama lain. Ia mencontohkan nasib umat Islam di negara-negara Barat yang mayoritas Nasrani seperti Amerika, Australia, dan Eropa, yang kesemuanya tidak ada yang memberi toleransi hari libur kepada umat Islam di hari raya Islam, kendati jumlah umat Islam cukup banyak di negara-negara itu. Tuduhan-tuduhan kepada umat Islam memang serba terbalik faktanya dan mengarah menjadi fitnah yang keji.
Dicari Modus Vivendi Islam-Kristen
Adalah M.Natsir (alm), mantan Perdana Menteri RI 1950-an, tokoh Islam yang sejak awal amat concern hubungan Islam-Kristen yang selalu penuh gesekan bahkan bentrokan fisik. M.Natsir menulis buku tipis (80 hal) berjudul : Mencari Modus Vivendi Antar Ummat Beragama di Indonesia (terbitan Dewan Dakwah 1980). Buku ini jika dibaca siapa saja niscaya menjadi data faktual betapa tokoh-tokoh Islam begitu tulus ihlas hendak membangun suatu : Modus Vivendi atau cara hidup bersama antara umat Islam dengan penganut agama lain di Indonesia. M.Natsir menuliskan hasil-hasil Musyawarah Antar Umat Beragama pada 1967 yang diprakarsai Pd (pejabat) Presiden Soeharto, dalam buku tipis itu. Jiwa besar kenegarawanan Natsir tercermin sebagai tokoh Islam dalam musyawarah itu. Begitu halnya wakil Islam lainnya seperti: KH.Masykur, HM.Rasyidi, H.Harsono Tjokroaminoto, dan Letjen (Purn) Soedirman. Pihak pemerintah yang amat prihatin adanya berbagai pertikaian Islam-Kristen saat itu (terjadi pembakaran gereja di Makassar) akhirnya menetapkan clausul hasil musyawarah tersebut, yakni : “Tidak dibenarkan suatu agama menyebarkan agamanya itu kepada penduduk yang telah menganut suatu agama tertentu!”. Keputusan ini diterima dengan lapang dada oleh golongan Hindhu, namun clausul yang amat adil ini ditolak oleh golongan Nasrani, melalui : Tambunan (Katolik) dan TB.Simatupang (Kristen/Protestan). Tambunan mengatakan alasannya yang merupakan perintah Bible, yakni : Pergilah ke seluruh dunia dan maklumkanlah Injil ke seluruh mahluk (Markus 16 :15). Mempertahankan pendapatnyanya ini, menurut Rosihan Anwar yang hadir sebagai wartawan, Tambunan berjuang bagai singa yang luka dalam pertempuran ( Baca buku :70 Tahun HM.Rasyidi). Sebaliknya Natsir merespon sikap keras Tambunan itu justru dengan argument yang penuh sikap kenegarawanan. Natsir mengatakan prinsip pemikiran Tambunan itu sebagai : “Godelijke Opdracht” (bahasa Belanda) yang maknanya adalah Wajib Dakwah. Dan Wajib Dakwah seperti itu niscaya juga diperintahkan kepada setiap pemeluk Islam.
Lalu Natsir menyatakan ,”Kita (orang Islam-Kristen) sama-sama terikat oleh Wajib Dakwah untuk menyebarkan agama sampai ke ujung bumi, namun kita juga wajib menjaga masa depan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), hidup bersama saling rukun dalam kaitan ini dengan perkataan : Dapatkah kita mencapai kiranya Modus Vivendi, cara hidup bersama di dalam negara (NKRI) yang bersifat multi rejius ini tanpa mengkhianati keyakinan masing-masing?” Ungkapan pertanyaan ini dijawab Natsir sendiri,”Saya katakan bahwa saya sendiri sebagai Muslim mempunyai rasa optimis dalam menjawab pertanyaan ini. Sebab apa ? Dalam menjalankan Wajib Dakwah itu kami orang Islam mempunyai code etick sebagai pedoman. Antara lain code ethic itu ditegaskan bahwa keyakinan agama tidak boleh dan tidak bisa dipaksakan. Tidak ada paksaan dalam keyakinan agama. Dakwah harus dilakukan dengan bijaksana (hikmah), dengan pendidikan yang baik-baik (maudzah hasanah), dan dengan bertukar pikiran dengnan cara terbaik (mujadalah billati hiya ahsan). Dan berdasarkan code ethic itu kami orang Islam tidak menganggap umat Masehi sebagai orang-orang Heiden atau orang Anemis yang masih belum beragama. Bagi kami umat Masehi adalah apa yang disebut sebagai Ahli Kitab yang mempunyai kedudukan yang khusus dalam penilaian kami..” katanya seraya Natsir mensir perintah Quran bagaimana seorang Muslim bersikap kepada Ahli Kitab: “Aku perintahkan supaya berlaku adil terhadapmu, Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan mu jua, bagi kami amalan kami, bagi-mu (pulalah) amalan-mu.Tak ada (alasan untuk) bersengketa antara kita, Allah jua akan menghimpun kita (semua) dan kepada-Nyalah kita akan (sama-sama) kembali. (Al-Quran).
***
Demikianlah ajakan Natsir dalam Musyawarah Antar Ummat Beragama pada 1967 itu tapi justru “dilawan” oleh sikap pihak Nasrani untuk tetap bertekad menyebarkan agamanya kepada siapa saja. Ini yang menjadi dalih pemerintah pada 1969 mengeluarkan SKB Tiga Menteri (yang dilanjutkan dengan PMB sampai hari ini) untuk mengatur kegiatan penyiaran agama yang berpotensi gesekan Islam-Kristen. Dalam SKB itu juga diatur rinci perihal ijin mendirikan rumah ibadah. Telah menjadi fakta orang Kristen terus melakukan Kristenisasi di Indonesia dengan dalih Diakonia (Pelayanan Masyarakat), dan hal ini menjadi keprihatinan M.Natsir berkepanjangan. Itulah pasalnya ketika Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Indonesia pada akhir 1989, M.Natsir dan sejumlah tokoh Islam antara lain : KH.Masykur (mantan Menteri Agama RI), Prof. Dr.HM Rasyidi (mantan Menteri Agama RI), KH.Rusli Abd.Wahid (mantan Menteri Negara RI), melayangkan surat kepada Paus dan copy suratnya dibukukan dan diedarkan luas ke tengah masyarakat.. Dalam suratnya kepada Paus Natsir dkk, mengingatkan adanya Kristenisasi dengan dalih Diakonia di Indonesia. Natsir juga mengutip hasil Konferensi Chambesy Juni 1976, di mana pemimpin Islam, Katolik dan Protestan sepakat mengutuk cara penggunaan Diakonia, khususnya untuk penyebaran agama.
Catatan lama ini kita kutip sebagian untuk menyegarkan ingatan kepada fakta lama betapa amat tolerannya para pemimpin Islam dalam membahas hubungan antara umat beragama di Indonesia. Adalah tuduhan yang keji jika kini umat Islam disebut-sebut anti toleransi, tidak mau hidup rukun dengan agama lain bahkan sebagai mayoritas, umat Islam menindas kelompok agama minoritas. Jadi sebetulnya siapa yang mengidap chaunisme dalam bergama dan tidak memiliki semangat sense of minority? Barangkali yang menuduh itu sendiri yang justru memiliki watak yang amat primitif itu Niscaya!.