View Full Version
Jum'at, 08 Oct 2010

Sutarman Janji Tindak Premanisme

Tiga pesawat Sukhoi-27-SKM-Flanker made in Rusia bergabung dengan TNI-AU. Tiga pesawat senilai US $ 335 juta itu siap mengamankan udara Indonesia, meski tanpa senjata dan amunisi.

Sigap, tangkas, dan ganas. Kesan itulah yang tergambar saat tiga pesawat Sukhoi-27-SKM, Flanker, membelah angkasa di atas Makassar, Sulawesi Selatan, Senin, 27 September 2010 lalu. Apalagi dengan suaranya yang menggelegar, burung-burung besi itu mulai memamerkan manuver unggulan mereka: patukan Cobra Pugachev .

Pagi itu pula, tiga pesawat tempur multi fungsi bernilai total US $ 335 juta, buatan KnAAPO, atau Komsomolsk-na Amure Aircraft Production Association ini, diserahterimakan dari perusahaan negara Rosoboronexport milik Rusia, kepada Kementrian Pertahanan Republik Indonesia. Ketiga pesawat itu memulai tugasnya mengawal udara Indonesia pada hari TNI, 5 Oktober ini.

Kedatangan tiga pesawat itu tentu saja semakin melengkapi Skuadron Sukhoi di Indonesia. Kini Indonesia memiliki 10 buah pesawat Sukhoi. Lima buah pesawat dari jenis Sukhoi-30-MK dan lima lainnya dari jenis 27-SKM. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro tampak puas saat serah terima pesawat itu. “Saya tadi pagi sudah mencobanya, pesawat ini sangat bagus dan siap memperkuat pertahanan kita…,” ujarnya.

Di tengah suasana uzur dan minimnya alutsista yang dimiliki Indonesia, kehadiran pesawat-pesawat Sukhoi itu memang patut disyukuri. Namun, karena selama Orde Baru Indonesia selalu memakai pesawat buatan Blok Barat, maka ketika kembali memakai pesawat buatan eks Blok Timur, hal ini menjadi masalah baru. Sebab beberapa standar yang dipakai pesawat-pesawat itu berbeda dengan standar NATO. “Untuk mengubahnya, perlu biaya tambahan,” kata pialang senjata RM Soerjo Goeritno.

Beberapa standar yang berbeda itu misalnya sistem pengukur ketinggian. Pada pesawat Sukhoi sistem pengukur ketinggian memakai satuan meter, sementara yang biasa dipakai di Indonesia adalah satuan feet (kaki) ala Barat. Hal ini terjadi setelah pesawat-pesawat buatan Blok Timur yang dulu merajai angkasa Indonesia pensiun dan diganti pesawat-pesawat made in Amerika, Inggris, Belanda dan Spanyol. Padahal jika terbang ke mana-mana, air traffic control selalu mengacu kepada satuan feet. “Memang ada beberapa perbedaan yang harus disesuaikan,” kata Sekjen Dephan Marsekal Madya Erris Heryadi.

Jika dihitung satuan, pesawat buatan Rusia bisa jadi murah per satuannya. Tapi untuk mengubah pesawat dan sistemnya menjadi standar barat, harganya menjadi jauh lebih mahal. Sistem perawatan juga berbeda. “Misalnya dulu pesawat MIG tidak mengenal median overhaul, jadi setelah sekian jam, seribu atau dua ribu jam harus ganti engine,” kata Mantan KSAU Marsekal Chappy Hakim.

Masih banyak lagi masalah yang tak sederhana. Sebab, semua peralatan yang sudah dimiliki Indonesia sangat berbeda dengan sistem Rusia yang baru dibeli, terutama menyangkut ground power equipment (peralatan untuk daya dukung di darat). Selama ini karena Indonesia memakai pesawat buatan NATO, maka jika kembali membeli pesawat standar NATO, ground power-nya bisa memakai ground power untuk F-16, atau yang lain. Namun, jika yang dibeli adalah pesawat non-NATO, maka Indonesia juga harus membeli ground power equipment-nya. Sebab, yang dimiliki Indonesia dengan standard NATO tidak cocok dengan standard non-NATO. “Socketnya nggak cukuplah, sekrupnya nggak sama, banyak hal-hal yang menghambat,” kata Chappy.

Idealnya, Indonesia memang harus mempunyai alternatif persenjataan non-NATO, agar tidak terlalu tergantung kepada Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya. Namun, langkah ke arah perimbangan kekuatan persenjataan bukan langkah yang mudah. “Kredit Negara satu milyar dollar dari Rusia saja hingga kini masih belum terealisir,” kata Goeritno.

Tak hanya soal kesiapan sistem keuangan Indonesia yang ribet, Amerika Serikat lewat para agennya pun mencoba menghambat rencana pembelian alutsista buatan Rusia dengan Kredit Negara itu. Ketika Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin beberapa kali mengunjungi Rusia untuk merancang pembelian itu, konon Amerika Serikat pun sewot.

Macan Ompong?

Ketika melintas di atas podium saat ulang tahun TNI 5 Oktober di Base Ops Halim kemarin, decak kagum sempat terdengar dari para penonton. Sayangnya, meski bertampang sangar dan bersuara menggelegar seram, pesawat-pesawat tempur itu bagaikan macan ompong. Sebab, seperti tujuh pesawat sebelumnya, hingga kini burung-burung besi itu ternyata masih belum dilengkapi dengan senjata andalan seperti bom, peluru kendali dan amunisi.

Dalam keterangan pers usai acara di Makassar, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro sempat menepis rumor bahwa pesawat-pesawat Sukhoi ini tidak memiliki sistem kesenjataan. “Tidak benar itu, anda bisa lihat sendiri di pesawat itu ada tempat untuk bom, amunisi dan misil,” ujarnya. Purnomo yakin, bom buatan Indonesia, bisa dipasangkan dengan pesawat-pesawat itu.

Saat itu Purnomo bahkan sempat bercerita bahwa beberapa jam sebelumnya, saat dia ikut uji coba terbang Sukhoi-27-SKM, pesawat yang dinaikinya sempat uji bombing raid di atas area latihan pemboman di Takalar. “Kita pakai bom-bom buatan dalam negeri buatan Pindad,” ujar Bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu penuh percaya diri.

Namun Pak Menteri agak gelagapan ketika saya menanyakan kompatibilitas bom buatan Pindad dengan sistem yang dimiliki Sukhoi-27-SKM-Flanker, serta peluru kendali yang jelas-jelas belum bisa dibuat di dalam negeri. Ia pun langsung mempersilakan KSAU Marsekal Imam Sufaat untuk menjawab pertanyaan saya.

Pengakuan jujur pun meluncur dari mulut penerbang F-16 ini. Menurut Imam, bom-bom buatan Pindad itu hingga kini sebenarnya memang masih sedang diuji. Pengujian ini menyangkut kompatibilitas, ketepatan dan mutunya. Maklumlah, ini bukan persoalan sederhana. “Adapun untuk peluru kendali, hingga kini TNI AU masih sedang bernegosiasi dengan pihak Rusia,” ujar Imam Sufaat.

Meskipun demikian, Purnomo masih mencoba meyakinkan para wartawan yang hadir di gedung Galaxi, pangkalan Udara Hasanuddin, Makassar, termasuk saya. Menurut dia, soal belum adanya persenjataan tidak menjadi masalah. Sebab, “Biasa itu, pembelian pesawat dan pembelian senjata ada dalam kontrak yang berbeda,” ujarnya.

Padahal, menurut Soerjo Goeritno, ketiadaan sistem kesenjataan dalam kontrak pembelian Sukhoi ini adalah suatu cacat dan kecerobohan yang sangat memalukan. Sebab, pihak Rusia hanya mengikuti apa maunya pemerintah Indonesia. Ia bahkan menduga ada permainan di balik tender pembelian pesawat tempur ini. “Seharusnya, pada saat kontrak pembelian pesawat Sukhoi ini pihak Dephan dan TNI AU meneliti semua klausul kontrak,” ujarnya.

Saat pembelian pesawat-pesawat Sukhoi yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri itu, sebenarnya beberapa pejabat di Departemen Pertahanan marah-marah. Mereka merasa dilangkahi, karena pesawat ini dibeli tidak lewat Departemen Pertahanan tapi lewat Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo. “Mereka adalah Dirjen Rengar (Perencanaan Anggaran) dan Dirjen Mafasja Material, Fasilitas, dan Jasa,” kata seorang sumber.

Karena ditangani Kepala Bulog, sempat muncul rumor santer bahwa pesawat-pesawat Sukhoi pertama yang datang ke Indonesia itu dibeli dengan barter beras ketan. Sementara itu, penggelembungan proyek, hingga US $ 10 juta itu sudah mulai terdengar. “Saya juga dengar angka itu,” kata Bekas Jaksa Agung Marsillam Simandjuntak, saat itu.

Dugaan mark up itu muncul karena harga pembelian Sukhoi Malaysia dari Rusia --yang hampir bersamaan dengan Indonesia-- jatuhnya lebih murah. Untuk menepis isu itu, sampai-sampai Sekjen PDI Perjuangan Soetjipto membentuk tim klarifikasi. Pramono Anung adalah salah satu anggotanya. Tim ini bertugas menjelaskan kepada publik dan DPR bahwa berbagai terobosan yang dilakukan itu untuk menekan harga pembelian. “Karena akan lebih mahal kalau harus melalui Dephan dan TNI,” ujarnya ketika itu.

Untuk meredam gejolak DPR, harga Sukhoi itu kemudian dievaluasi dan ditekan lagi. Caranya dengan memangkas fee bagi broker dan terutama seorang tokoh penting di negeri ini, saat itu. Gara-gara pemangkasan itu, kabarnya Menteri Perindustrian Rini Suwandi sempat ribut besar dengan tokoh itu. Namun, kontrak pembelian akhirnya jalan terus. Maklumlah, duit jutaan dolar sudah melayang.

Yang menarik, jawaban tentang mengapa pesawat-pesawat itu tidak beramunisi, saya dapat dari seorang sumber saya. Menurut dia, saat berkunjung ke pameran pesawat terbang buatan KnAAPO itu, Presiden Megawati menunjuk Sukhoi yang dipajang. “Yang begini saja,” kata Mega ketika itu, sebagaimana ditirukan sang narasumber. “Karena yang ditunjuk kebetulan tanpa amunisi, bom dan misil, maka pesawat-pesawat ompong itu pula yang diangkut ke Indonesia,” ujarnya.

 Lah….

 (Hanibal WY Wijayanta)


latestnews

View Full Version