View Full Version
Jum'at, 15 Oct 2010

Kekerasan: Ormas Mau Dibubarkan, Preman Dibiarkan

Premanisme makin marak seolah terinspirasi operasi Densus 88. Polisi tidak berani menindak mereka. Sementara umat Islam terus dipojokkan. Ini ketidakadilan!.

Tawuran antar kelompok kini makin marak terjadi di tengah masyarakat. Di Jakarta, pada hari Ahad dini hari (10/10/2010) saja terjadi tiga aksi tawuran antar warga. Tawuran pertama terjadi pada pukul 02.05 WIB. Di pagi buta saat banyak orang masih terlelap tidur, puluhan pemuda terlibat tawuran di mulut gang tepat di bawah Halte Busway Duren Tiga, Pancoran, tepatnya di Jl. Mampang Prapatan arah Ragunan.

Mulanya dua kelompok warga saling lempar batu. Warga yang berasal dari luar gang kemudian makin mendekat dan memukuli warga yang berasal dari dalam gang dengan kayu. Dua pemuda tampak mengacung-acungkan parang. Sementara itu, beberapa pemuda lainnya tampak berdarah. Para pemuda yang ikut tawuran terlibat kejar-kejaran di dalam gang. Sementara itu, jalanan di luar gang nampak dipenuhi batu dan potongan kayu.

Aksi tawuran dalam waktu yang nyaris bersamaan dengan menggunakan bom molotov terjadi juga di Kawasan Karet. Sementara aksi tawuran yang terakhir terjadi pukul 03.42 WIB, di kawasan Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Sebelumnya, tawuran antara warga masyarakat dengan kelompok preman juga terjadi di Jalan Samratulangi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (30/9/2010) siang. Dalam peristiwa itu, diketahui dua warga mengalami luka bacok sehingga harus dilarikan ke RSCM guna mendapatkan perawatan medis. Asal muasal tawuran itu disebabkan seorang pria pengunjung warung makan yang berada di sekitar lokasi kejadian menolak membayar setelah makan di tempat itu.

Kekerasan demi kekerasan itu terjadi di tengah masyarakat Jakarta, padahal belum juga reda ingatan masyarakat terhadap ‘perang’ antar preman yang terjadi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (29/9/2010) lalu. Tak tanggung-tanggung, bentrokan yang terjadi di depan mata ratusan polisi itu akhirnya menewaskan empat orang, dan melukai puluhan orang lainnya. Seorang di antaranya adalah sopir kopaja 608 (Tanah Abang-Blok M) yang disewa untuk membawa massa, bernama Saefudin (48), kelahiran Medan tahun 1962. Dia seorang muslim warga Kebon Nanas RT 3 RW 1 Panunggangan Utara, Pinang, Tangerang. Saefudin yang tak tahu menahu urusan para preman itu tewas di depan kantor Medco dengan kedua tangan putus.

Menurut mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto, konflik horizontal yang terjadi belakangan ini adalah kombinasi dari dua hal. Pertama, masyarakat merasa tidak bisa mendapat keadilan. Kedua, menguatnya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat hukum.

“Akibatnya, masyarakat mencari keadilan dengan caranya sendiri”, ungkapnya.

Pengadilan yang seharusnya memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, menurut Sutarto malah tidak mampu memberikan keadilan bagi masyarakat.

Kekerasan di tengah masyarakat juga diilhami oleh aparat sendiri. Penanganan aksi terorisme yang dilakukan oleh Detasemen Khusus 88 dan ditayangkan secara live oleh stasiun televisi seolah menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk meniru adegan dramatis itu.

“Dalam teori psikologi, ada namanya teori modeling. Ilustrasinya, jika anak kecil diberi tayangan film yang di dalamnya ada adegan memukuli boneka, saat anak itu diberi boneka, ia akan ikut-ikutan memukuli boneka”, kata guru besar Psikologi Universitas Indonesia (UI), Sarlito Wirawan Sarwono.

Premanisme Etnik dan Politik

Bagi kalangan Islam, aksi kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini justru menjadi bukti bahwa sesungguhnya pelaku kekerasan yang paling sadis justru dilakukan oleh masyarakat karena faktor etnis maupun politik.

Kerusuhan di Tarakan Kalimantan Timur yang menewaskan Abdullah (45), seorang  penghulu dan imam masjid di Juata Permai, dan menghancurleburkan beberapa rumah adalah karena konflik antara Suku Tidung (Kalimantan) dengan Suku Bugis (Sulawesi). Beruntung mereka masih satu agama, Islam, sehingga dengan mudah kerusuhan itu bisa dipadamkan. Padahal sudah terdengar kabar Suku Dayak akan ‘turun gunung’ terlibat dalam pertikaian itu. Sementara bentrok antar preman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terjadi antara pemuda Flores, NTT dengan pemuda Ambon, Maluku. Keduanya sama-sama Kristen.

Kekerasan yang didorong oleh partai politik karena kekalahannya dalam pemilu kepala daerah juga menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Kerugian material juga tidaklah kecil.

Masih terekam dalam memori warga Mojokerto, Jawa Timur. Tidak terima calon pasangan bupati dan wakil bupatinya dicoret oleh KPU, ratusan orang berunjuk rasa di depan gedung DPRD Mojokerto dan melemparinya dengan bom molotov. Akibatnya 17 mobil pribadi dan dinas milik Pemkab setempat terbakar, sembilan orang harus dilarikan ke rumah sakit karena terkena lemparan bom molotov.

Aksi yang sama juga terjadi di Tana Toraja, Makale, Sulawesi Selatan. Pemilihan Kepala Daerah di wilayah itu berujung pada kerusuhan yang hebat, Kamis (24/6/2010). Massa gabungan pendukung lima pasangan calon yang kalah dalam Pilkada tersebut melakukan pengrusakan dan membakar kantor KPUD karena merasa kecewa dengan hasil perhitungan suara yang diangap banyak kecurangan. Selain itu mereka juga merusak merusak 12 kantor kecamatan dan membakar kertas suara perolehan sementara.

Unjuk rasa ribuan warga Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, yang menuntut pemilukada diulang, Rabu (9/6/2010), diwarnai bentrokan. Seorang pengunjuk rasa tertembak dan seorang lainnya mengalami luka parah. Sementara di Kota Sibolga, Sumatera Utara, sedikitnya 14 gedung sekolah taman kanak-kanak rusak akibat kerusuhan dalam pemilihan calon Wali Kota Sibolga. Demo anarkis yang menuntut pemekaran Provinsi Tapanuli di Kantor DPRD Sumatera Utara juga mengakibatkan Ketuanya, H. Abdul Aziz Angkat meninggal dunia.

Rentetan kekerasan akibat pemilu kepala daerah dan motif politik ini seolah melengkapi kerusuhan Tuban yang terjadi pada tahun 2006 silam. Saat itu piluhan ribu massa yang protes terhadap hasil pemilu melakukan pembakaran kantor KPU, Pendopo Pemkab Tuban, rumah pribadi, tiga mobil dan Hotel Mustika milik keluarga Haeny Relawati yang memenangkan pemilihan.

Ormas Islam Kambing Hitam

Anehnya, meski kekerasan yang dilakukan karena faktor etnis dan motif politik korbannya lebih besar dan sangat meresahkan, tetapi tidak ada tuntutan dari berbagai pihak yang mendesak agar kelompok-kelompok itu dibubarkan. Berbeda halnya jika ormas Islam, terutama Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan. Meski kejadian sesungguhnya belum diketahui secara jelas, semua orang, baik tokoh agama, politik, LSM, media massa dan semua kalangan yang benci terhadap Islam segera bersuara lantang meminta pemerintah membubarkan organisasi yang dipimpin oleh Habib Rizieq Syihab itu. Bahkan Presiden SBY bergegas menggelar konferensi pers untuk menyikapi peristiwa itu.

“Negara tidak boleh kalah dengan perilaku kekerasan”, kata Presiden SBY sehari setelah Insiden Monas terjadi.

Media massa menjadi corong efektif bagi mereka untuk menyuarakan desakan itu. Insiden Monas 1 Juni 2008, peristiwa pembubaran kongres waria di Depok serta sejumlah aksi demonstrasi FPI di berbagai daerah seperti Singkawang dan Bekasi, terus menerus diputar oleh stasiun televisi untuk menunjukkan ke publik bahwa FPI melakukan kegiatan anarkis dan karena itu layak untuk dibubarkan.

Dalam Insiden Banyuwangi, saat FPI tidak ada di lapangan pun, masih saja peristiwa itu dikait-kaitkan dengan FPI. Bahkan dengan pede-nya  Riebka Tjiptaning Proletariyati melaporkan FPI ke Mabes Polri. Lantas siapa yang mau dilaporkan, wong kepengurusan FPI di Banyuwangi dua bulan sebelum terjadi peristiwa itu sudah dibekukan?.

Anehnya, tanpa melakukan investigasi media massa sekuler ikut-ikutan ‘nyinyir’ menyiarkan berita bohong itu. Belakangan terungkap, mengapa media massa terutama televisi suka menyiarkan opini pembubaran FPI. Selain karena agenda politik, ternyata ada motif ekonominya. Entah sengaja atau tidak, Fessy Alwi, presenter Metro TV dalam sebuah acara dialog tentang pembubaran FPI antara M. Luthfie Hakim (Tim Advokasi FUI), Budiman Sudjatmiko (anggota FPDIP DPR) dan Mendagri Gamawan Fauzi, keseleo lidah mengucapkan bahwa waktu untuk narasumber sangat terbatas karena pengiklannya cukup banyak.

Polisi Tak Berdaya, LSM Komprador Diam

Polisi terlihat sangat sigap dan cepat bekerja dalam mengusut kasus yang pelakunya adalah ormas Islam atau umat Islam. Apalagi operasi Densus 88 dalam membantai umat Islam. Dar, der, dor,.... puluhan anggota Densus 88 dengan sigapnya menembaki tersangka aksi terorisme dengan ngawurnya. Dalam kasus penembakan di Cawang, Densus 88 malah menembak orang tanpa data yang akurat. Belakangan setelah terjadi Kasus Medan, baru diumumkan oleh Kapolri nama Mr. X yang dikuburkan di Pondok Rangon itu. Tembak dulu, nama belakangan.

Insiden Ciketing Bekasi juga mendapat perhatian luar biasa dari kepolisian. Sembilan orang langsung ditangkap dan dinyatakan sebagai tersangka dalam konflik antara masyarakat Ciketing, Mustika Jaya, Bekasi melawan arogansi jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dua hari setelah Idul Fitri yang lalu. Kepada jemaat HKBP yang segelintir itu, ratusan polisi dikerahkan untuk mengamankan kegiatan kebaktian jemaat HKBP setiap minggunya. 

Sebaliknya, ketika menghadapi aksi-aksi premanisme polisi seolah tak berdaya. Kinerja polisi juga biasa-biasa saja dalam menangani kasus anarkisme massa. Bahkan dalam kasus kerusuhan di PN Jakarta Selatan, polisi hanya menangkap satu orang tersangka saja. Banyak kalangan menilai bahwa polisi kecolongan dan bahkan melakukan pembiaran terhadap tindakan biadab itu.

"Jangan diadakan pembiaran sehingga menjadi tontonan yang mengerikan. Ini bagaimana? Masihkan ada polisi yang melindung masyarakat?" tanya anggota DPR, Didi Irawadi Syamsuddin.

Polisi pun membantah telah melakukan pembiaran terhadap pelaku anarkis itu. Kadivhumas Mabes Polri Irjen (Pol) Iskandar Hasan mengatakan bahwa pihaknya saat itu hanya fokus pada pengamanan di dalam sidang. Sementara untuk penanganan kerusuhan, pasukan yang didatangkan datanganya terlambat. “Karena macet”, katanya singkat di sebuah acara stasiun televisi swasta (4/10/2010).

"Mereka sampah masyarakat, kurang ajar, sok jago, pengacau dan perusak, penganiaya dan pembunuh! Kenapa mereka tidak ditembak di tempat oleh aparat?. Kemana Densus 88?. Jangan beraninya cuma nembak dan bunuh ustadz," ungkap Habib Rizieq Syihab kepada Suara Islam (SI) melalui pesan singkat.

Lebih lanjut Habib Rizieq juga mendesak kepolisian segera menangkap dan menghukum mati Hercules dan Jhon Key apabila keduanya memang terbukti terlibat dalam peristiwa maut tersebut. "Jika polisi membiarkan, maka Laskar FPI yang akan kejar para begundal itu" tukasnya.

Untuk kasus begini, kita tidak akan menemukan sikap lantang dari kalangan LSM Liberal maupun tokoh-tokohnya. Tidak ada LSM yang berteriak agar polisi secepatnya menangkap tokoh di balik aksi preman-preman yang konon di belakangnya ada backingan jenderal itu. Juga tak ada tokoh agama atau politik yang meminta pemerintah agar membubarkan kelompok gengster itu. Padahal kerusuhan-kerusuhan itu telah menelan korban jiwa. Bandingkan dengan aksi laskar FPI yang hanya memecahkan botol minuman keras atau menonjok oknum pembela aliran sesat Ahmadiyah.

Sebaliknya, jika ada kasus yang menimpa minoritas agama tertentu atau melibatkan ormas Islam semacam FPI mereka pastio bersuara lantang. Namun dalam kasus kekerasan preman ini ternyata mereka diam seribu bahasa. Ibarat iklan mobil Phanter, wus..wus..wus...nyaris tidak terdengar teriakan mereka untuk mengusut tuntas kasus itu, apalagi tuntutan pembubaran. Jika mereka ditanya mengenai sikap ambiguitasnya itu, dengan sigap akan berkelit sembari menyalahkan FPI, ”kekerasan yang dilakukan FPI sudah bersifat sistematis dan meluas”.

Tengoklah ucapan dedengkot liberal Indonesia yang kini bergabung ke Partai Demokrat, Ulil Abshar Abdalla ketika menyikapi Insiden Banyuwangi. Sekonyong-konyong Ulil meminta pemerintah membubarkan FPI sembari melupakan Kasus Century.

"Masalah Century kita abaikan dulu. Hadapi masalah yang lebih serius. Masyarakat dan yang concern dengan pembubaran FPI, terus wacana kan itu," ucapnya di DPR waktu itu.

Koordinator Kontras, Usman Hamid, punya alasan lain lagi. Saat ditanya tentang perannya dalam kasus yang menimpa umat Islam dia berkelit, ”Hidup di Jakarta macet butuh waktu berjam-jam untuk sampai rumah, apalah artinya Kontras yang kecil ini, tidak mungkin mengurusi semua kasus yang ada di Indonesia”. Padahal untuk kasus-kasus lainnya ia berteriak lantang kemana-mana.

Data Bodong Kapolri

Tak mau ketinggalan menggebuki ormas-ormas Islam, Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri belum lama ini juga telah merilis data-data kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah ormas, termasuk FPI dan Forum Betawi Rempug (FBR). Dihadapan anggota DPR, BHD mengungkapkan bahwa FPI dan FBR telah melakukan 10 aksi kekerasan pada tahun 2007 dan 8 kekerasan pada tahun 2008. Pada tahun 2009 aksi kekerasan yang dilakukan dua ormas itu meningkat menjadi 40 kekerasan. Hingga Agustus 2010 ini, kata Kapolri, ormas-ormas tersebut tercatat melakukan 49 kekerasan.

Tentu saja penyataan Kapolri ini dibantah oleh FPI. Ketua DPP FPI Munarman,  menilai data yang disebutkan BHD terkait ormas yang melakukan kekerasan sepanjang tahun 2007-2010 adalah data bodong atau fiktif.

"Saya sudah lihat data yang di publish Kapolri, datanya data bodong," ujar Munarman. "Maklum saja, ia kan sedang sakit, jadi dia ngeracau, data itu bukan dari bawahannya, tapi dari LSM. Sehingga asal ada data, karena panik akhirnya dibeberkan," lanjutnya.

Menurut Munarman, informasi yang dibeberkan di depan DPR oleh Kapolri tersebut adalah data yang berasal dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) liberal anti-Islam yang dibiayai oleh Amerika Serikat. Namun, ia tidak menyebutkan secara spesifik nama LSM tersebut.

"Data itu di-supply oleh gerombolan LSM liberal anti-Islam yang dibiayai Amerika," jelasnya.

Artinya, lanjut Munarman, dengan adanya data-data tersebut, Kapolri dianggapnya telah kembali melakukan kebohongan publik. Sebelumnya, Kapolri juga dianggap telah berdusta atas keberadaan rekaman pembicaraan Ari Muladi dan Ade Rahardja.

"Kapolri kan udah beberapa kali bohong, kasus rekaman Ary Muladi dan Ade Rahardja, dia bilang ada rekaman ternyata nggak ada. Dia sakit dibilang dipanggil Presiden sehingga pelantikan batal, kasus rekening gendut sampai hari ini belum juga terungkap. Dia lagi sakit panas kayaknya, jadi lagi ngigau," tandas Direktur An Nashr Institute itu.

Juru Bicara FBR, Junaedi, juga turut membantah pernyataan Kapolri itu. “Mungkin Kapolri lagi ngelindur (mengigau). Namanya juga orang tua, lagi banyak masalah. Tidak usah diambil hati,” katanya.

Junaedi melihat bahwa ormas-ormas, termasuk FBR memang sengaja menjadi target pembubaran. “Coba kalau partai politik yang bikin ribut dan rusuh. Apakah mau juga dibubarkan?” tanyanya. 

Munarman malah berpesan kepada BHD, daripada asal ngomong soal data kekerasan ormas lebih baik ia mengurus Polwan yang hamil di luar nikah di Lampung. “Pesan saya, sebaiknya Kapolri ngurusin anak buahnya, Polwan di Lampung yang hamil di luar nikah,” cetusnya.

Pantas saja, jangankan menangkap preman bersenjata ngurusi polwan saja tidak bisa. Umat Islam malah dijadikan sasaran tembak. Taubat Pak mumpung belum terlambat!.
(shodiq ramadhan)


latestnews

View Full Version