Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming mengungkapkan Protap Kapolri tentang Penanggulangan Anarki akan menimbulkan fobia dan trauma serius pada masyarakat.
"Kapolri di akhir masa jabatannya kembali menghentak wacana publik dengan disahkannya Protap Nomor 1/X/2010 tentang penanggulangan anarki," kata Saharuddin di Jakarta, Selasa, (12/10/2010).
Menurut dia, dengan postur dan perilaku Densus 88 yang berbekal UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, pasukan berseragam coklat ini terlihat sangat garang, agresif dan cenderung menggunakan fasilitas persenjataan dari uang rakyat untuk menembak secara membabi buta kepada siapapun yang tercatat sebagai bagian dari kelompok teroris sekalipun hanya dengan data yang sangat minim dan dangkal.
"Kini Polri punya mainan baru dalam bentuk Protap penanggulangan anarki. Saya menilai Protap ini sangat rentan menjadi alat legitimasi bagi Polri sebagai bagian dari pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM," ujar dia.
Karena tanpa Protap seperti ini saja, menurut dia, Polri sering sekali terlibat dalam tindak kekerasan dan pelanggaran HAM dengan mengatasnamakan penegakan hukum.
"Saya heran mengapa dalam mengoptimalkan tugas Kamtibmas dari Polri justru memilih justifikasi dengan pendekatan refresif. Bukankah pimpinan Polri berulang-ulang menggembar-gemborkan wacana Polisi masyarakat (Community Police) sebagai salah satu agenda penting dalam reformasi Polri," lanjutnya.
Ia mengaku terkejut saat disodori naskah rancangan Protap itu pada tanggal 4 Oktober 2010, dan mencoret beberapa Pasal, khususnya yang memberi wewenang kepada Polri secara individu untuk melakukan tembak di tempat.
Apapun alasannya, ia mengatakan rumusan seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Dan Merendahkan Martabat Manusia (International Convention Against Torture And Other Cruel, Inhumane Or Degrading Treatment of Punishment) di ratifikasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, Tanggal 28 September 1998.
Protap tersebut juga tidak sejalan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang diperkuat dengan kovenan hak sipil dan politik (dirativikasi dengan UU No.12 tahun 2005). (mj/antara)