Secara faktual telah diketahui, rakyat sebuah bangsa tidak mungkin memerintah sendiri, tetapi memerintah melalui para wakilnya yang terwujud dalam mayoritas anggota majelis perwakilan yang telah mereka pilih.
Maka, berubahlah kehendak mayoritas (rakyat pada umumnya) menjadi kehendak minoritas (kehendak wakil rakyat). Saat itulah muncul kesewenang-wenangan/kediktatoran baru, karena kehendak rakyat beralih ke tangan orang-orang yang mereka pilih saja. Sehingga rakyat tidak mampu untuk membatalkan, menghapus, ataupun mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh para wakilnya.
Menurut banyak pakar politik, prinsip mayoritas adalah teori yang paling berbahaya terhadap berlangsungnya kebebasan individu, karena setiap perbuatan yang muncul dari orang yang terpilih dapat menjadi hukum sekaligus undang-undang hanya karena ia merupakan kehendak rakyat. Dari sini kita bisa melihat bahwa mayoritas pendapat yang ada telah berubah menjadi kesewenang-wenangan minoritas, dan fakta telah membuktikan hal itu. Oleh karena itu, seharusnyalah umat Islam menjadi umat yang bersandar pada dalil syar’i, bukan pada suara mayoritas.
Demokrasi Adalah Pemerintahan Minoritas
Kita menolak demokrasi, berbeda dengan orang kafir, berdasarkan qa’idah syar’iyah yang telah diadopsi oleh jumhur muslimin untuk berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani. Adapun dalil-dalil syar’i yang mengesahkan qa’idah ini begitu masyhur untuk disebutkan dan terlalu banyak untuk dibatasi. Salah satunya adalah firman Allah SWT :
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS Al-Jatsiyah [45] : 180)
Imam Ibnu Taymiyah telah menjelaskan maksud ayat tersebut secara baik di dalam kitabnya Iqthidha` Ash-Shirat Al-Mustaqim fi Mukhalafati Ash-hab Al-Jahim halaman 8:
“Kemudian Allah menjadikan Rasulullah SAW berada di atas syariat-Nya dari agama itu yang telah ditetapkan-Nya bagi beliau dan Allah memerintahkan beliau agar mengikuti syariat tersebut sekaligus melarang beliau untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Pada saat itu Rasulullah tinggal bersama orang-orang yang tidak mengetahui, yaitu setiap orang yang selalu menyalahi syariat beliau beliau. Hawa nafsu mereka adalah apa-apa yang mereka sukai. Penampakan dari perilaku musyrikin tersebut muncul karena mereka mengikuti agama mereka yang batil dan ajaran-ajaran lainnya. Akhirnya mereka menyukai perbuatannya tersebut. Mereka meniru Rasulullah hanya untuk mengikuti apa yang mereka senangi. Oleh karena itu kaum musyrikin dalam sebagian prilakunya senang menyamai kaum muslimin, walau harus mengeluarkan banyak harta demi tercapainya apa yang mereka inginkan itu.”
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim juz 4 halaman 310:
“Allah melarang kaum mukminin untuk menyerupai mereka sedikit pun baik dalam perkara ushul maupun furu’.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari juz 10 halaman 298:
“Aku telah mengumpulkan hadits yang berbicara tentang perbedaan kaum muslimin dengan Ahlul Kitab. Ternyata aku menemukan 30 hukum tentang hal itu. Lalu aku tulis dalam kitabku dengan nama Al-Qaulu Ats-Tsabt fi Ash-Shaumi Yaum As-Sabt.
Sayid Qutub menjelaskan dalam kitab Fi Zhilal Qur`an juz I halaman 127 pada masalah berbedanya kaum muslimin dalam masalah kiblat:
“Sesungguhnya kekhasan dan perbedaan dalam penampakan jati diri merupakan hal yang penting bagi kaum muslimin. Kekhasan dan perbedaan dalam penampakan jati diri dan akidah serta kekhasan dan perbedaan dalam kiblat dan ibadah haruslah berbeda dan memiliki ciri khas tertentu. Terkadang pengaruh (perbedaan) muncul demikian jelas mengenai kekhasan dalam jati diri dan akidah, terkadang pula tidak begitu jelas dalam masalah kiblat dan syiar-syiar ibadah.
Di sini perlu diperhatikan nilai dari bentuk-bentuk formalitas ibadah. Orang yang pandangannya terfokus pada bentuk-bentuk formal ini semata, yang dilepaskan dari hal-hal yang melingkupinya dan juga terlepas dari dari tabiat kemanusiaanya dan pengaruh-pengaruhnya, maka akan tampak baginya bahwa melestarikan bentuk-bentuk formal tersebut adalah suatu fanatisme sempit atau suatu penyembahan kepada formalitas. Tetapi kalau kita mau berpikir lebih luas dan dalam, maka akal sehat kita akan menyingkapkan hakikat yang lain secara gamblang.
Berdasarkan asas yang fitri inilah Islam menegakan syiar-syiar ibadahnya secara keseluruhan. Syiar-syiar ibadah itu tak cukup ditunaikan hanya dengan niat atau kekhusyuan batin (tawajjuh ruhiyah) semata, akan tetapi kekhusuyuan batin ini harus memiliki bentuk-bentuk zahir.
Demikianlah, dalam setiap ibadah ada gerakan dan dalam setiap gerakan ada ibadah. Ini untuk menyatukan aspek yang lahir dan batin, untuk menyelaraskan antara kekuatan lahir dan kekuatan batin, yang sesuai dengan fitrah manusia secara keseluruhan, dengan metode yang selaras dengan jati dirinya yang khusus.
Pembedaan tempat yang diarah seorang muslim dalam sholat dan ibadah dan pengkhususannya, bukanlah (semata) agar dia berbeda dan nampak secara khusus dengan jati diri, manhaj dan arahnya. Pembedaan ini, adalah untuk memenuhi panggilan perasaannya yang cenderung ingin berbeda dan bersifat unik, yang pada gilirannya akan memunculkan keistimewaan dan keunikan.
Dari sini pula ada larangan untuk menyerupai (tasyabbuh) orang-orang non-muslim dalam sifat-sifat khas mereka, yang merupakan ekspresi lahir dari perasaan-perasaan batiniah mereka, seperti juga larangan mengikuti metode mereka dalam perasaan dan perilaku. Ini bukanlah kefanatikan dan bukan pula berpegang dengan formalitas semata, melainkan pandangan yang mendalam mengenai bentuk-bentuk formal yang bersifat lahiriah.” (SYAIKH ALI BELHAJ)