Sejarah Hidup dan Karyanya
Musthafa Kemal lahir pada tahun 1881 di sebuah kawasan miskin di Salonika, Turki. Ayahnya, Ali Riza, adalah seorang bekas pegawai rendahan di kantor pemerintah. Setelah mengalami dua kali kegagalan dalam bisnisnya, Ali Riza tenggelam dalam dunia hitam, menjadi peminum sebagai kompensasi kesedihannya.
Hingga akhirnya ia mati akibat penyakit tuberkulosis saat Musthafa masih berumur tujuh tahun.
Ibu Musthafa, Zubaida –seorang wanita yang buta huruf– menjadi ibu sekaligus kepala rumah tangga. Berbeda dengan suaminya, Zubaida adalah seorang muslim yang taat. Sebagaimana wanita-wanita Turki pada masa itu, seluruh hidupnya difokuskan untuk masa depan anak laki-lakinya yang tertua, Musthafa. Karena ketaatannya kepada Islam, ia mengharapkan Musthafa menjadi ulama yang faqih.
Namun ternyata Musthafa mempunyai pendirian yang berbeda. Musthafa tumbuh menjadi remaja pemberontak. Ia melawan segala bentuk peraturan, serta bersikap kasar dan kurang ajar kepada gurunya. Di depan para siswa yang lain, ia menunjukkan sifat yang sangat arogan dan suka menyendiri. Ia tidak mau bermain bersama teman-temannya, sehingga tumbuh menjadi pribadi yang tidak disukai teman-temannya. Bila merasa diganggu, ia tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melawan.
Suatu kali, karena sikap kasar dan kurang ajar Musthafa, gurunya menjadi gelap mata dan memukuli Musthafa sedemikian keras hingga melukai perasaannya. Musthafa lari dari sekolah dan tidak mau kembali. Meski ibunya berusaha keras membujuk agar kembali ke sekolah, Musthafa sama sekali menolaknya. Zaubaida merasa putus asa, sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya, datang usulan dari salah seorang pamannya agar memasukkan Musthafa ke sekolah militer di Salonika. Usulan ini berdasarkan pertimbangan bahwa Zubaida tidak perlu mengeluarkan biaya pendidikan –karena sekolah militer itu dibiayai oleh negara; lalu apabila Musthafa bisa menunjukkan prestasi yang bagus, ia bisa menjadi seorang perwira; dan kalaupun tidak ia tetap akan menjadi seorang prajurit. Singkat kata, apa pun yang akan terjadi, kehidupan Musthafa tetap terjamin.
Meskipun Zaubaida tidak sepakat dengan usul tersebut, namun ia tidak bisa menghalangi Musthafa –yang pada saat itu masih berusia 12 tahun– meminta salah seorang kenalan ayahnya untuk membantunya masuk ke sekolah militer. Musthafa mengikuti seleksi dan lulus menjadi seorang kadet. Di sekolah militer inilah, Musthafa menemukan dunianya. Dia mampu menunjukkan prestasi akademik yang bagus, sehingga salah seorang pengajar memberinya julukan “Kemal” yang berarti “kesempurnaan”. Karena kepandaiannya dalam bidang matematika dan pengetahuan kemiliteran, Musthafa dipromosikan sebagai staf pengajar. Di posisi ini, Musthafa mempunyai kesempatan mempertunjukkan kekuasaannya. Setelah berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian akhir, Musthafa lulus dengan gelar kehormatan pada bulan Januari 1905 dengan pangkat Kapten.
Pada saat itu, Musthafa bergabung dengan suatu perkumpulan mahasiswa nasionalis yang fanatik, yang dikenal dengan nama Vatan atau “Tanah Air”. Para anggota Vatan menganggap diri mereka kelompok yang revolusioner. Mereka sangat menentang pemerintahan Sultan Hamid II, yang memberangus segala pemikiran “liberal” yang merongrong pemerintahan Islam. Kelompok ini tak jemu-jemunya menyalahkan Islam yang dianggap sebagai penyebab keterbelakangan Turki dan terus menerus menyebarkan kebencian terhadap syariat yang dianggap kolot, serta menjadikan ajaran-ajaran sufi sebagai bahan tertawaan. Para anggota Vatan bersumpah akan melengserkan Sultan dan menggantinya dengan sistem pemerintahan ala Barat lengkap dengan konstitusi dan parlemen, menghancurkan otoritas para ulama, menghapuskan purdah (jilbab) dan kerudung, serta mendeklarasikan kesetaraan yang mutlak antara laki-laki dan perempuan. Tidak lama bergabung, Musthafa menjadi pimpinan kelompok itu.
Kesempatan bagi Musthafa Kemal untuk memperluas pengaruh akhirnya datang. Begitu Sultan Abdul Hamid II diturunkan oleh Partai Turki Muda pada tahun 1908, Komite Persatuan dan Kemajuan mengundangnya untuk bergabung bersama. Namun, sebagai pendatang baru, ia diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah perintah dari pimpinan organisasi, sedangkan sifat dasarnya menuntut agar dialah yang menjadi pemimpin. Akibatnya, Musthafa merasa gelisah dan tidak puas. Ia sama sekali tidak menghargai anggota-anggota lainnya, yang dianggap sebagai penghalang keinginannya. Ia sangat membenci Perdana Menteri Pangeran Said Halim Pasha (1865 – 1921) dan Menteri Perang, Anwar Pasha (1882 – 1922), yang seringkali menentang pendapat-pendapatnya.
Selama sepuluh tahun berikutnya, ia kembali menekuni bidang kemiliteran sebagaimana sebelumnya. Perlahan-lahan, berkat kepribadiannya yang keras dan kecerdasannya, ia merengkuh semakin banyak kekuasaan politik. Ia menghabiskan malam-malamnya dengan mengadakan rapat-rapat rahasia untuk merencanakan kudeta, yang diharapkan dapat menghasilkan kekuasaan absolut baginya.
Kesempatan mulai terbuka, ketika pada akhir Perang Dunia I ia memimpin pasukan pertahanan Turki melawan Pasukan Sekutu Eropa yang ingin memecah belah kekuatan “The Sickman of Europe” dan menghancurkannya dengan cepat. Dengan usaha-usahanya merintangi penjajahan Sekutu dan membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang sampai mati demi tanah airnya, Musthafa menjadi pahlawan nasional. Pada saat Yunani berhasil dikalahkan dan Turki memperoleh kemenangan, rakyat Turki mabuk kemenangan dan memuja Musthafa Kemal sebagai Sang Penyelamat. Rakyat Turki memberinya gelar al-Ghazi, yang berarti “Pembela Kebenaran”.
Berbagai pengakuan dari para diplomat asing semakin meneguhkan kedudukan Musthafa sebagai pahlawan Turki melawan Penjajah Barat. Di depan para politisi Arab, Musthafa berkata, “Saya tidak percaya dengan federasi negara-negara Islam maupun liga bangsa Turki di bawah kekuasaan Soviet. Tujuan saya satu-satunya adalah melindungi kemerdekaan Turki dalam batas-batas alaminya, bukan membangkitkan ke-Khilafahan Utsmaniyah atau ke-Khilafahan lain. Jauh dari segala mimpi dan bayangan-bayangan! Mereka (ke-Khilafahan) telah banyak merugikan kita di masa yang lalu!”
Kepada delegasi komunis yang meminta dukungannya, Musthafa Kemal dengan jelas menyatakan, “Tidak ada penindas atau yang tertindas. Yang ada hanyalah mereka yang membiarkan diri mereka ditindas. Bangsa Turki bukan termasuk bangsa seperti itu. Bangsa Turki dapat mengurus dirinya sendiri. Biarkan bangsa lain mengurus diri mereka sendiri. Kami punya satu prinsip, yaitu melihat segala permasalahan dari kacamata bangsa Turki dan melindungi kepentingan nasional Turki.”
Musthafa Kemal menyatakan keinginannya untuk membangun Turki dalam batas-batas alamiahnya menjadi suatu bangsa yang kecil namun kompak, sejahtera, dan modern, yang dihormati oleh negara-negara lain di dunia. Ia begitu yakin dirinya –dan hanya dirinya– yang mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Ia pernah menyatakan, “Saya adalah Turki! Menghancurkan saya sama artinya dengan menghancurkan Turki!”
Tidak lama setelah berkuasa, Musthafa menyatakan dengan tegas bahwa ia akan menghancurkan seluruh puing reruntuhan Islam dalam kehidupan bangsa Turki. Hanya dengan mengeliminasi segala sesuatu yang berbau Islam, Turki bisa memperoleh “kemajuan” menjadi bangsa yang dihormati dan modern. Tanpa rasa takut dan ragu, ia menyerang Islam dan pilar-pilar Islam:
“Selama hampir lima ratus tahun, hukum dan teori-teori ulama Arab serta tafsir para pemalas dan tiada guna telah menentukan hukum perdata dan pidana Turki. Mereka menetapkan konstitusi, rincian aturan hidup orang Turki, makanannya, waktu-waktu bangun dan tidurnya, bentuk busananya, rutinitas isteri yang melahirkan anak-anak mereka, apa yang dipelajari di sekolahnya, adat istiadatnya, pemikiran-pemikirannya, bahkan sampai perilaku mereka yang paling pribadi. Islam –teologi Arab yang immoral itu– adalah benda mati. Bisa saja Islam cocok untuk suku-suku di padang pasir. Tetapi Islam tidak bermanfaat untuk negara yang modern dan maju. Wahyu Tuhan, katanya! Tidak ada itu wahyu Tuhan! Islam hanyalah rantai yang digunakan para ulama dan penguasa tiran untuk membelenggu rakyat. Penguasa yang membutuhkan agama adalah orang yang lemah. Orang yang lemah tidak boleh berkuasa!”
Ketika Abdul Majid diangkat sebagai Khalifah, Musthafa Kemal Pasha menolak melakukan upacara tradisi yang biasa dilakukan. Ketika Dewan menemuinya untuk membahas hal itu, Musthafa memotong pembicaraan, “Khalifah tidak memiliki kekuasaan atau kedudukan apa pun, kecuali sebagai figur seremonial saja.” Ketika Abdul Majid menulis petisi untuk meminta kenaikan biaya operasionalnya, Musthafa menjawab, “Khalifah, kantor anda tidak lebih adalah peninggalan sejarah. Tidak ada dasar hukum yang melandasinya. Sungguh tidak sopan anda berani menulis surat kepada sekretaris saya!”
Pada tanggal 3 Maret 1924, Musthafa mengajukan Undang-undang untuk menghapuskan Khalifah selamanya dan mendirikan negara sekuler Turki. Namun demikian, sebelum UU tersebut diperkenalkan, ia telah berusaha membungkam suara-suara penentangnya dengan memberikan ancaman hukuman mati bagi orang-orang yang mengritik segala tindakannya.
“Apa pun konsekuensinya, negara republik harus ditegakkan…Khilafah Utsmaniyah adalah bentuk negara yang tidak masuk akal atas dasar pondasi agama yang rusak. Khalifah dan keluarga Utsmani lainnya harus diusir. Peradilan dan hukum-hukum agama yang kolot harus diganti dengan hukum sipil modern. Sekolah agama harus dijadikan sekolah negeri yang sekuler. Negara dan agama harus dipisahkan. Republik Turki harus menjadi negara yang sekuler.”
Akhirnya, Undang-undang berhasil disahkan tanpa perdebatan dan Khalifah beserta keluarganya harus diasingkan ke Swiss. Rezim baru pun menetapkan:
“Pembukaan Konstitusi (baru) Turki menyatakan kebulatan tekad untuk melaksanakan reformasi bangsa Turki, sedangkan Pasal 153 melarang segala bentuk upaya yang menghalangi proses reformasi tersebut. Dinyatakan bahwa,
‘Tidak ada ketentuan dalam konstitusi ini yang menganggap tidak sah berbagai undang-undang berikut ini yang bertujuan membangkitkan bangsa Turki menuju peradaban masa kini, serta untuk menjaga karakter sekuler negara yang telah ditetapkan konstitusi melalui pemilihan umum:
1. Undang-undang tentang penyatuan (dan sekulerisasi) pendidikan pada tanggal 3 Maret 1924.
2. Undang-undang tentang penutup kepala, pada tanggal 25 November 1925.
3. Undang-undang tentang penutupan biara dan kuburan para darwis, penghapusan kantor penjaga makam, dan peraturan tentang penghapusan dan pelarangan gelar-gelar tertentu pada tanggal 30 November 1925.
4. Peraturan sipil tentang pernikahan pada tanggal 17 Februari 1926.
5. Undang-undang tentang pengambilan angka internasional pada tanggal 20 Mei 1928.
6. Undang-undang tentang pengambilan dan penerapan alfabet (latin) Turki serta pelarangan tulisan Arab, pada tanggal 1 November 1928.
7. Undang-undang tentang penghapusan gelar-gelar dan sebutan seperti Efendi, Bey, atau Pasha pada 26 November 1934.
8. Undang-undang tentang larangan memakai busana tradisional pada 3 Desember 1934.
Segala bentuk pengingkaran terhadap gerakan Ataturkisme tidak dimungkinkan dan tidak dapat dipahami oleh masyarakat. Tidak dimungkinkan karena konstitusi melarangnya, dan tidak dapat dipahami karena orang-orang Turki, baik tua maupun muda, telah menerima segala konsekuensi reformasi, dan westernisasi tetap menjadi kata-kata ajaib yang menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera.”
Pada masa reformasi tersebut, Musthafa Kemal mengawini seorang wanita cantik dengan latar belakang pendidikan Eropa bernama Latifa. Pada masa perjuangan Turki, Latifa didorong oleh Musthafa untuk mengenakan pakaian seperti laki-laki dan menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun, ketika ia bersikap tegas dan bersikeras minta diperlakukan dan dihormati sebagaimana mestinya seorang isteri, Musthafa dengan kasar segera menceraikan dan mengusirnya. Setelah bercerai dari Latifa, ia menjadi lelaki yang tak tahu malu dan tak mengenal batas. Musthafa menjadi peminum berat dan tidak bisa lepas dari minuman keras. Sejumlah lelaki muda yang tampan menjadi objek pemuas syahwatnya. Demikian pula para istri dan anak perempuan dari para pendukungnya menjadi korban agresivitas nafsunya. Hingga tak lama kemudian penyakit kelamin menggerogoti kesehatannya.
Ketika menggambarkan kepribadiannya, H.G. Armstrong –pengarang The Grey Wolf– menulis:
“Musthafa selalu menjadi seorang penyendiri, soliter, dan suka bekerja sendirian. Tak seorang pun yang dipercayainya. Dia tidak ingin mendengar pendapat yang bertentangan dengan keinginannya. Dia tidak segan mencemooh orang lain yang berani menentang pendapatnya. Dia menilai setiap tindakan hanya berdasarkan kepentingan pribadinya. Ia juga sangat pencemburu. Seorang yang cerdas dan memiliki kemampuan dipandang sebagai bahaya yang harus segera disingkirkan. Musthafa suka mencela kemampuan orang lain, dan biasa mencemarkan nama baik dan mencemooh tindakan orang lain dengan ganas, sekalipun terhadap para pengikutnya sendiri. Ia jarang mengucapkan kata-kata yang manis, dan kalaupun diucapkan pasti dilakukan secara sinis. Dia tidak pernah mempercayai siapa pun dan tidak mempunyai seorang pun teman dekat. Teman-temannya hanyalah beberapa orang fasik yang biasa minum bersama, menjadi kaki tangannya, dan setia mendengarkan kesombongannya. Semua orang yang terhormat, yang pernah bekerjasama dengannya pada masa perjuangan kemerdekaan, telah berubah memusuhinya.”
Sebagaimana para diktator yang enggan memiliki lawan, Musthafa Kemal selalu menggunakan kesempatan untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya.
“Polisi rahasia bekerja secara efektif. Melalui penyiksaan, pemukulan, atau cara apa pun yang dikehendaki, polisi harus mendapatkan bukti yang cukup memberatkan untuk menangkapi para pemimpin kelompok oposisi. Pengadilan otonom diterapkan kepada mereka, sehingga tanpa prosedur atau bukti yang kuat pengadilan bisa menjatuhkan hukuman gantung kepada mereka.
Surat permohonan hukuman mati dikirimkan kepada Musthafa Kemal di rumahnya di Khan Kaya untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan. Salah satu surat permohonan hukuman mati diperuntukkan bagi Arif, yang setelah berdebat dengan Musthafa Kemal kemudian bergabung dengan kelompok oposisi. Arif, sebelumnya adalah pengikut loyal Musthafa, yang bahu-membahu pada masa perjuangan kemerdekaan. Arif adalah satu-satunya teman yang pernah menjadi tempat Musthafa mengungkapkan isi hatinya. Diriwayatkan bahwa ketika surat permohonan hukuman mati bagi Arif itu disampaikan kepadanya, air muka Musthafa sama sekali tidak berubah. Dia tidak memberikan catatan-catatan yang meringankan atau kelihatan ragu-ragu. Saat itu, ia tengah merokok. Kemudian dia meletakkan rokoknya ke asbak, dan menandatangani surat permohonan hukuman mati itu sebagaimana ia menandatangani surat-surat rutin lainnya yang datang setiap hari . . .
Musthafa ingin membuat segalanya berjalan dengan sempurna. Pada malam itu juga, ia mengadakan pesta dansa di Khan Kaya. Setiap orang harus datang –para hakim, anggota kabinet, para duta besar, menteri luar negeri, para bangsawan, dan semua perempuan cantik. Singkatnya, seluruh Ankara harus ikut merayakannya……
Pesta dansa itu dimulai dalam suasana muram. Dengan busana malam buatan seorang penjahit London yang sangat necis, al-Ghazi berdiri di sudut, tengah bercakap-cakap dengan seorang diplomat. Para tamu menatapnya penuh perhatian. Sebelum ia mendapatkan mood-nya untuk mulai berdansa, para tamu harus mengatur langkahnya dengan hati-hati serta bercakap-cakap dengan suara yang rendah. Amat berbahaya menunjukkan sikap suka-cita, sementara ia tengah dalam suasana hati yang murung. Namun malam itu al-Ghazi sedang bersemangat. Dirinya tidak sedang menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Malam itu adalah malam untuk bergembira.
“Kita harus bersuka cita! Kita harus hidup, harus hidup!” teriaknya, sambil merengkuh seorang wanita asing dan segera berdansa dengannya.
Para tamu mengikutinya. Mereka berdansa –bila tidak, al-Ghazi akan memaksanya. Al- Ghazi sedang berada dalam suasana hati yang paling baik; berdansa berkeliling bersama pasangan-pasangannya dengan langkah-langkah yang panjang dan memberi minum kepada mereka pada saat-saat jeda.
Empat mil jauhnya dari Ankara, sebuah lapangan besar diterangi dengan cahaya putih yang berasal dari selusin lampu listrik. Di sekelilingnya dan di jalan-jalan berkerumun para warga masyarakat. Di bawah siraman cahaya lampu, tegak berdiri sebelas tonggak kayu yang besar tepat dibawah tembok penjara. Di bawah masing-masing tonggak kayu, berdiri seseorang dengan tangan terikat ke belakang dan seutas tali melingkar di batang lehernya. Merekalah para musuh politik Musthafa Kemal yang siap menerima kematiannya.
Di tengah keheningan, secara bergiliran para terpidana diberi kesempatan untuk menyampaikan sesuatu kepada masyarakat. Ada yang berpuisi, ada yang berdoa, ada pula yang menangis mengiba sembari berteriak bahwa ia adalah warga Turki yang setia.
Di Khan Kaya, hampir seluruh tamu telah pulang. Ruangan tersebut pengap dengan asap rokok, bau minuman keras, dan bau busuk nafas orang yang mabuk. Lantainya kotor dengan abu rokok, sedangkan kartu judi dan uang bertebaran di meja-meja.
Musthafa Kemal berjalan melintasi ruangan dan memandang keluar jendela. Wajahnya dingin dan berwarna kelabu; matanya yang pucat tidak menyiratkan ekspresi apa pun. Dia tidak menunjukkan keletihan, sedangkan jasnya tetap rapi seperti sediakala. Komisaris Polisi melaporkan bahwa eksekusi telah berakhir. Tubuh-tubuh di tiang gantungan perlahan menjadi kaku. Akhirnya, ia menjadi pemenang. Musuh-musuhnya terusir, hancur, atau mati.”
Sementara itu, gemuruh kaum oposisi Turki mulai menderu. Gemuruh itu akhirnya meledak pada tahun 1926, ketika suku-suku Kurdi di pegunungan melancarkan pemberontakan bersenjata melawan rezim Kemalis. Musthafa tidak membuang-buang waktu. Seluruh suku Kurdistan di Turki dibinasakan dengan cara yang bengis, desa-desa dibakar, ternak dan hasil panen dihancurkan, perempuan dan anak-anak diperkosa dan dibantai. Empat puluh enam kepala suku Kurdi digantung di depan umum. Yang terakhir adalah Syaikh Said, sang pemimpin suku Kurdi. Sebelum dieksekusi, ia mengatakan kepada eksekutornya, “Saya tidak punya kebencian kepada anda. Anda dan atasan anda, Musthafa Kemal, membenci Tuhan! Kami harus menyelesaikan tanggung jawab kami di hadapan Tuhan pada Hari Pembalasan.”
Sekarang Musthafa Kemal menjadi diktator absolut. Rakyat Turki harus menerima reformasi anti-Islam, seperti larangan mengenakan fez/tarbus (kopiah Turki) dan sorban, wajib mengenakan busana Eropa, wajib menggunakan aksara Latin, kalender Kristen, dan menjadikan hari Ahad sebagai hari libur. Semua itu ditetapkan di bawah ancaman pedang. Ribuan ulama dan para pengikutnya rela mengorbankan jiwa mereka daripada menerima kehancuran segala sesuatu yang mereka sucikan. Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa penerimaan rakyat Turki terhadap reformasi ala Musthafa Kemal hanyalah khayalan belaka. Besarnya penolakan dapat dibayangkan dari fakta bahwa Musthafa mengumumkan keadaan perang sebanyak sembilan kali. Jutaan rakyat Turki, terutama di desa-desa dan kota-kota kecil, menghinakan dan mengutuk Musthafa Kemal.
Pada tahun 1932, Musthafa Kemal menetapkan agar setiap warga Turki mencantumkan nama keluarganya sebagaimana biasa terdapat pada masyarakat Eropa dan Amerika. Ia memilih menggunakan nama “Attaturk” yang berarti “Bapak Turki”. Enam tahun kemudian, kesehatannya benar-benar memburuk, dan akhirnya mati karena penyakit radang hati yang disebabkan karena kecanduan alkohol.
“Kategori ‘pribadi psikopatik’ digunakan untuk menyebut keranjang sampah segala macam penyakit jiwa. Orang-orang yang termasuk dalam golongan itu bukanlah para psikotik, psikoneurotik, bukan pula orang yang lemah ingatan. Golongan itu sama sekali berbeda. Psikopat tidak sama dengan psikotik, tidak “gila”. Ia tahu dimana ia berada, siapa dia, jam berapa sekarang. Ia hidup di dunia nyata, bukan hidup di alam fantasi psikosis. Tetapi sindrom psikopatik menguasai seluruh kepribadiannya sebagaimana pada psikosis. Para psikopat tidak bodoh, bahkan tidak jarang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata. Emosinya-lah yang mengalami kerusakan, begitu pula moral atau ‘sifatnya’. Ia bersikap dingin, menyendiri, tidak terjangkau, menunjukkan sikap yang berbeda dengan orang kebanyakan, bahkan memusuhi orang lain. Secara intelektual, ia ‘mengetahui’ konsekuensi tindakan kriminal yang dilakukannya bagi dirinya maupun orang lain, tetapi ia tidak mampu ‘merasakan’ konsekuensi itu secara emosional, sehingga tidak berusaha menahan diri dari perbuatan itu. Ia tidak pernah merasa menyesal atau bersalah. Bila dia adalah seorang pembunuh yang tertangkap, ia tidak pernah menyesali pembunuhan itu, namun justru menyesali diri kenapa ia sampai tertangkap. Psikopat biasa berprofesi sebagai pembunuh bayaran; baginya membunuh adalah sesuatu yang sama sekali tidak berarti. Ia menolak bersosialisasi, dan menentang segala peraturan atas dirinya. Selamanya ia akan bersikap memberontak, tidak mampu menjalin hubungan emosional dengan orang lain secara permanen. Kehidupan seksualnya bersifat acak dan untung-untungan; orientasinya adalah kenikmatan seksual bagi dirinya sendiri, bukan bagi pasangannya. Tidak ada data statistik yang akurat tentang jumlah psikopat yang dikurung dalam penjara, namun tidak ada yang meragukan bahwa di antara mereka adalah orang-orang yang paling berbahaya bagi kehidupan manusia. Itulah kenapa penjara penuh dengan orang-orang seperti itu.”
Gambaran itu sama persis dengan kepribadian dan sifat-sifat Musthafa Kemal. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa ia adalah pribadi yang terkenal, yaitu sebagai diktator, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya berbuat kriminal dalam skala nasional.
Pihak yang paling sering menunjukkan penghargaan atas kediktatoran Musthafa adalah para intelektual dan politisi di Amerika. Kaum Yahudi dalam kalangan tersebut secara sangat antusias memberikan pujian kepadanya. Bagaimana mungkin tradisi kebebasan berpolitik dan demokrasi yang diklaim bangsa Amerika sebagai sistem yang terbaik dapat bergandengan tangan dengan kekejian diktator Musthafa Kemal. Ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dipahami, sampai para pemerhati politik internasional menyadari bahwa penghargaan demokrasi Barat atas hak asasi manusia hanya terbatas untuk kalangan mereka sendiri. Tanpa maksud-maksud tertentu, konsep HAM itu tentu tidak akan diekspor di kalangan kaum Muslim. Pernyataan-pernyataan resmi dari USIS (Lembaga Informasi Amerika Serikat) pada masa Perang Dingin menunjukkan bahwa mereka tidak pernah ragu mendukung rezim-rezim otoriter sepanjang tidak berafiliasi dengan blok Komunis. Kediktatoran, dalam pandangan mereka, bisa diterima apabila menjadi sarana menuju modernisasi (baca: kapitalisme) negara. Rakyat di negara-negara berkembang adalah orang-orang yang terbelakang, kolot, bodoh, dan buta huruf. Hanya “pemerintahan yang bijaksana”-lah yang mampu menentukan apa yang terbaik buat mereka. Westernisasi adalah hal yang paling baik, dan tidak ada nilai-nilai moral yang dipandang terlalu mahal untuk dikorbankan dalam rangka menuju westernisasi. Oleh karena itu, apa pun caranya –termasuk tiran yang paling kejam sekalipun– akan mendapat restu dari Amerika dan demokrasi Barat, sepanjang cara tersebut dapat mempercepat pemisahan negara dari ideologi Islam.
Apakah tujuan Kemalisme? Jawabannya dapat ditemukan dalam buku yang baru-baru ini ditulis oleh seorang diplomat yang sangat terkenal. Ketika menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan Turki saat ini dan dibandingkan dengan kehidupan pada masa lima puluh tahun sebelum masa Musthafa Kemal, dengan penuh suka cita ia menyatakan bahwa hanya jenis makanan saja yang tidak berubah. Setelah mengulas keberhasilan “emansipasi” di kalangan para isteri dan anak-anak perempuan sesuai dengan konsep Barat, serta pembicaraan sehari-sehari pada saat makan bersama tentang pesiar di hari Minggu, nonton bioskop, atau makan malam di restoran, dan berbagai “kebiasaan baru dalam kehidupan keluarga Turki” lainnya, ia –dengan penuh kemenangan– menyatakan bahwa, “Urusan agama tidak pernah terlintas dalam benak mereka, kecuali pada bulan Ramadhan, ketika kakek-kakek dan bibi mereka yang tua tengah berpuasa.” (Maryam Jameelah, Islam and Modernism)
Referensi:
Islam and Modernism, Maryam Jameelah, Mohammad Yusuf Khan and Sons, Lahore, 1965/1988
The Emergence of Modern Turkey, Bernard Lewis, Oxford University Press, London, 1961
Conflict of East and West in Turkey, Halide Edib, Syaikh Muhammad Ashraf, Lahore, 1935
The Grey Wolf, H.C. Armstrong, Capricorn Books, New York, 1961