View Full Version
Jum'at, 05 Nov 2010

Lain Obama, Lain SBY

 

Oleh: Amran Nasution Dir. Institute for Policy Studies (IPS)

Setelah tertunda berapa kali, November ini Presiden Obama ke Indonesia. Obama sangat beda dengan SBY. Apa itu?

Presiden Barack Hussein Obama datang ke Indonesia ketika di negerinya sedang banyak masalah, terutama akibat dampak krisis ekonomi yang lalu, misalnya, tingginya angka pengangguran. Itu menyebabkan populeritas Obama menurun.

Wajar kalau polling Associated Press – Knowledge Networks pekan lalu, menunjukkan para pemilih Partai Demokrat terbelah dua ketika ditanyakan apakah Obama masih jadi calon Presiden pada Pilpres 2012.

Selama ini ada kecendrungan di Washington bahwa job deskripsi seorang presiden adalah bagaimana agar ia terpilih kembali untuk priode kedua. Presiden Obama tak setuju. Menurutnya tugas presiden adalah memecahkan problem dan membantu rakyat, bukan sibuk berupaya agar terpilih lagi.

 ‘’Saya lebih memilih menjadi presiden satu priode yang berhasil daripada presiden dua priode yang medioker,’’ katanya kepada wartawati ABC Diane Sawyer, Januari lalu (lihat artikel David Ignatius, The Washington Post, 22 Agustus 2010).

Dengan itu Obama memilih menyelamatkan industri keuangan di Wall Street dan industri mobil negerinya dari dampak krisis 2008 melalui baill out.  Kebijakan itu secara umum benar tapi secara politis berisiko tinggi karena tak popular di mata rakyat.

‘’Kalau keputusan saya berdasarkan polling,’’ kata Obama dalam wawancara tadi, ‘’sistem perbankan mungkin sudah ambruk, General Motor dan Chrysler bukan lagi milik kita, dan ekonomi belum tentu tumbuh seperti sekarang.’’  Pada kuartal ketiga ini ekonomi Amerika tumbuh 2 persen.

Sikap Obama menjadi sangat jelas dalam kontroversi pembangunan Islamic center di dekat Ground Zero, Manhattan, New York.  Konstitusi menjamin pembangunan Islamic center itu. Tapi sebagian besar masyarakat Amerika bersikap ekstrem dan dengan emosional menganggap pembangunan masjid dua blok dari Ground Zero, menghina korban tragedi 11 September 2001. Meski sebenarnya sebelumnya di sekitar situ sudah ada dua masjid.

Obama tentu memahami itu semua. Tapi berbicara dalam acara buka puasa (iftar) di Gedung Putih, 13 Agustus lalu, ia berkata: ’’Ini adalah Amerika dan komitmen kita pada kebebasan beragama tak bisa digoyahkan. Prinsip bahwa manusia dengan segala kepercayaan diterima di negeri ini dan tak akan diperlakukan berbeda oleh pemerintah adalah esensial untuk menunjukkan siapa kita.’’ (The New York Times 13 Agustus 2010).

Sikap itu menyebabkan Obama jadi bulan-bulanan politisi lawan dari Partai Republik seperti bekas Ketua DPR Newt Gingrich, atau anggota DPR John Boehner dan Peter T. King. Populeritasnya pun kian melorot.

Setelah itu, survei Majalah TIME menunjukkan 24% responden percaya Obama beragama Islam. Artinya, satu dari lima orang Amerika percaya ia seorang Muslim. Padahal pada survei 2009 jumlah itu hanya 11%. Gedung Putih terpaksa harus repot-repot menjelaskan bahwa Obama seorang Kristen yang melaksanakan ajaran agamanya.

Bila diamati, sikap Presiden Obama sungguh bertolak belakang dengan Presiden SBY. Perilaku, langkah, dan ucapan SBY seakan ia sedang menghadapi musim kampanye sepanjang tahun. Karena itu ia enggan mengambil keputusan tak populer atau berisiko menurunkan angka polling. Yang paling disenangi SBY adalah bertemu rakyat tapi disaksikan lampu blitz wartawan dan kamera televisi. Belakangan dia sudah dua kali terlihat menangis terisak di depan rakyat dipancarkan luas oleh televisi. Tapi tulisan ini tak ingin mencurigai air mata itu.

Kesalahan atau kecaman adalah tanggung jawab para menteri atau pembantunya. Dengan begitu citra diri SBY senantiasa terjaga tetap mengkilap walau pun sebenarnya – berdasar UUD – SBY pasti tak bisa dipilih menjadi Presiden ketiga kalinya.

Coba lihat ketika terjadi peristiwa Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, Mei 2006. Ketika itu semburan lumpur bercampur gas menenggelamkan pemukiman penduduk di sekitarnya. Bencana terjadi di saat PT Lapindo Brantas milik pengusaha Aburizal Bakrie, menteri dan teman Presiden SBY waktu itu, sedang melakukan pengeboran mencari gas di kawasan itu. Presiden SBY diam tak bicara, menjauhkan diri dari ingar-bingar peristiwa.

Nyatanya belakangan kasus sumur Lapindo dinyatakan sebagai bencana alam sehingga yang memikul tanggung jawab adalah pemerintah. Trilyunan rupiah dikeluarkan dari APBN. Tapi sampai sekarang – sudah 4 tahun – semburan lumpur belum bisa dihentikan. Areal terdampak lumpur kian meluas. Rakyat kian menderita.
 
Bandingkan Lapindo dengan semburan minyak di Teluk Meksiko. Bencana dimulai 20 April 2010 ketika terjadi ledakan di anjungan lepas pantai menelan korban 11 orang tewas, dan 4,9 juta barel minyak tumpah menggenangi laut. Sungguh mengerikan.
Tapi siapa pun menyaksikan Presiden Obama menunjukkan kepemimpinannya yang kuat dan berwibawa. Ia mondar-mandir meninjau negara bagian yang terkena dampak. Dari Gedung Putih ia mengecam dan minta tanggung jawab BP, perusahaan raksasa minyak Inggris yang melakukan pengeboran lepas pantai. BP harus menyetop kebocoran, membersihkan genangan minyak, memulihkan lingkungan, serta membayar ganti rugi ke seluruh warga Amerika Serikat yang dirugikan.

BP tentu tak menyerah begitu saja. Awalnya perusahaan itu melempar kesalahan pada Transocean, perusahaan operator yang disewa BP. Obama tak kurang akal. Ia bujuk Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk menekan BP agar menerima tanggung jawab. Hasilnya?

Sejak 15 Juli lalu, minyak yang menyembur dari dasar Teluk Meksiko telah berhenti.  Beberapa pekan berselang BP menyatakan telah berhasil memaksa minyak turun dengan cara memompakan lumpur ke dalam sumur. Setelah ini sumur akan dikubur selamanya dengan semen. Selesai. Walau pun untuk semua bencana ini kantong BP harus robek berpuluh milyar dollar. Jelas bedanya dengan kasus Lapindo?

Sementara Presiden SBY terkenal senang rapat berjam-jam dengan para Menteri dan pembantunya. Karena harus mendengarkan SBY bicara berlama-lama seringkali kantuk menyergap para pendengarnya. Kalau sudah begini SBY pasti marah.

Apa sebenarnya yang dirapatkan berlama-lama? Orang yang tahu mengatakan rapat itu mirip seminar. Menteri dan para pembantu melapor lalu Presiden membuat komentar-komentar yang bertele-tele. Setiap orang bicara dikomentari. Akhirnya waktu habis. Maka jangan heran kalau rapat seringkali tak jelas keputusannya.

Belakangan ada kebiasaan baru di Istana. Sering terlihat para Menteri atau Pembantu Presiden mencium tangan setiap bersalaman dengan SBY. Malah panitia rekrutmen pegawai di Departemen Perdagangan mencantumkan judul lagu ciptaan Presiden sebagai bahan ujian pengetahuan umum calon pegawai. Ini jelas manifestasi tindakan penjilat yang mengarah feodalisme, sesuatu yang rupanya sulit dihilangkan dari Indonesia.

Agaknya negeri kita yang sedang morat-marit ini membutuhkan pemimpin yang berani bertindak tegas mengikuti nuraninya demi kepentingan rakyat. Citra atau polling memang dibutuhkan, tapi cukuplah untuk Pemilu. Bukan sepanjang tahun seperti kita saksikan sekarang. [suara-islam.com]


latestnews

View Full Version