View Full Version
Selasa, 11 Jan 2011

Revisi UU Terorisme untuk Siapa?

alt
Pemerintah akan merevisi Undang – Undang (UU) Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi ini dilakukan untuk memperkuat program Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Amendemen yang sekarang sedang dibahas dalam pokja di Kementerian Hukum dan HAM, ujar Kepala BNPT Ansyaad Mbai. Dapat dipastikan UU ini akan lebih keras dari sebelumnya. Pertanyaanya Revisi UU Terorisme untuk siapa?

Tindakan subversif yang pernah diberlakukan di era Orde Baru kini dimunculkan kembali melalui UU. UU Terorisme nampaknya belum juga cukup, kini Revisi UU Terorisme yang diajukan berpotensi menduplikasi UU semacam dengan Internal Security Act (ISA) yang diberlakukan Malaysia dan Singapura. Karena UU seperti itu (Subversif) sangat efektif membuat negara kita masuk dalam pelanggar hak asasi manusia terbesar.

Baik penegakan hukum yang subversif yang dilakukan oleh Densus 88 maupun program deradikalisasinya, nampaknya hanya memperpanjang catatan pelanggaran HAM. Bahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) mengkritik cara penangkapan dan penggerebekan terduga teroris oleh Densus 88 yang seringkali melanggar HAM. Densus 88 dinilai sering kali melanggar HAM saat beraksi memberantas terorisme.

“Atas nama perang melawan terorisme, tentunya tidak dapat dijadikan pembenar bagi Densus 88 untuk mengabaikan norma-norma HAM. Khususnya sebagai dalih pembenar untuk melakukan tindakan extra judicial killing,” ujar Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun Komnas HAM di Hotel Sahid Jaya.

Berdasarkan data yang dimiliki Komnas HAM, setidaknya ada sejumlah terduga teroris yang tewas saat penggerebekan Densus 88. Tiga teroris yang ditembak mati di Aceh, lima di Serdang, tiga di Tangerang, tiga di Cawang, dan dua di Tanjungbalai, Karimun.

“Sejumlah terduga teroris yang tertembak dan akhirnya meninggal dalam beberapa kasus tidak bisa diidentifikasi peranannya atau salah sasaran yang jarang dijelaskan kepada publik,” kata Ifdhal.

Selain itu, ada juga korban salah tangkap oleh Densus 88. Komnas HAM banyak menerima laporan dari korban yang salah tangkap. Data Komnas HAM, 16 orang yang ditangkap di Jakarta dan Bekasi, 11 orang di antaranya dibebaskan. Sementara di Medan, dari 21 terduga teroris yang ditangkap, lima orang dibebaskan.

“Penangkapan yang diikuti penahanan tersebut, sering kali tidak diindahkan hak-hak orang yang ditangkap tersebut. Di antaranya hak untuk mendapatkan penasihat hukum. Pihak keluarga juga sering kali tidak diberi akses informasi yang memadai,” kata Ifdhal.

Terkait masalah ini, Ifdhal sudah sering mengajukan protes ke Mabes Polri. Namun sayangnya, jawaban yang diberikan selalu normatif dan tidak menyelesaikan persoalan. “Kami minta agar Densus 88 tidak memberantas teror dengan teror,” katanya.

Pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan oleh Densus 88 sebenarnya telah lama disuarakan oleh Forum Umat Islam. Selama berbulan-bulan FUI telah melaporkan persolan ini ke sejumlah lembaga negara seperti Komisi III DPR RI, Mabes Polri, Kompolnas, dan Komnas HAM. Selain melanggar HAM, FUI menilai ada banyak kejanggalan dan rekayasa dalam penanganan terorisme oleh Densus 88.

Tertembaknya dua orang Mr X di Cawang, rekayasa penangkapan sejumlah aktivis JAT sekaligus Amirnya, Ustadz Abu Bakar Baasyir dan penangkapan Khairul Ghazali di Medan adalah sedikit fakta yang dilaporkan oleh FUI ke berbagai lembaga negara di atas. Intinya, selain melanggar HAM, penanganan terorisme juga penuh rekayasa. (mj)


latestnews

View Full Version