View Full Version
Senin, 23 May 2011

Negara Gagal Buah Reformasi Mei 1998

HM Aru Syeiff Assadullah
Pemimpin Redaksi Tabloid Suara Islam


Rejim Orde Baru di bawah Soeharto yang telah berkuasa lebih 30 tahun pun akhirnya tumbang  21 Mei 1998 digantikan Rejim Reformasi. Siapa sebenarnya otak di balik penumbangan rejim Soeharto? Sejarah mencatat pasca lengser-keprabonnya Soeharto, telah memunculkan Amien Rais sebagai “Pahlawan Reformasi” dan dielu-elukan rakyat Indonesia. Apakah Amien Rais perancang skenario penumbangan rejim Soeharto?

Duabelas tahun setelah peristiwa jatuhnya Soeharto, kini, Mei 2011, dengan terang benderang bisa dijelaskan bahwa Amien Rais bukanlah “otak” di balik penjatuhan rejim Orde Baru. Di sejumlah diskusi dengan berbagai kalangan, Letjen (Purn) Prabowo Subianto, yang menjabat Pangkostrad pada Mei 1998, tegas menolak ketika elemen mahasiswa mengklaim sebagai penumbang rejim Soeharto. Prabowo dengan tegas menunjuk CIA lah sebenarnya yang telah merancang dan menjatuhkan rejim Orde Baru.

Tudingan mantan Danjen Kopassus itu kini menjadi konklusi atau kesimpulan yang tak terbantahkan. Deretan ahli ekonomi internasional pun menyimpulkan bahwa malapetaka yang melumatkan Indonesia yang dimulai dengan krisis moneter, pada Juli 1997 yang berubah menjadi krisis multidimensi yang menumbangkan Soeharto itu, hakikatnya memang suatu skenario yang sengaja dirancang. Gambar Michael Camdesus, Managing Director IMF berkacak-pinggang saat menyaksikan Presiden Soeharto yang tengah menandatangani perjanjian (letter of intent) dengan IMF, menjadi simbol pemaksaan IMF pada pemerintahan RI. Dan sejarah membuktikan dengan sederetan persyaratan yang dipaksakan IMF itu (al : membekukan 16 bank, menaikkan harga BBM dst) telah menjadi bom yang dalam waktu singkat menghancurkan negeri ini dalam krisis yang berkepanjangan. Camdesus sendiri beberapa tahun kemudian mengakui dan lantang mengatakan dimana-mana,”Kami sengaja menciptakan kondisi itu, agar Soeharto jatuh!” Fakta di sekitar skenario IMF, World Bank dan diotaki sejumlah negara Adidaya, khususnya Amerika Serikat, terhadap usahanya menghancurkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), kini bisa dibaca, di antaranya dalam buku karya John Perkins berjudul : Cofessions of an Economic Hit Man. Bahkan ada lagi misteri dana 26 juta dolar AS yang digelontorkan US-AID sekitar Mei 1998 yang niscaya jumlah dana yang besar untuk menggerakkan massa yang telah beringas siap menumbangkan  Soeharto.

Reformasi Berbuah Negara Gagal

Kendati pelajaran melalui perjalanan nyata pergantian era Orde Baru dan era Reformasi, begitu terang benderang, tetapi bangsa Indonesia tak pernah sadar akan kesalahan-kesalahannya yang fatal. Pada masa akhir jabatan Soeharto, Indonesia selalu dipuji-puji Barat sebagai negara Macan Ekonomi Asia yang fundamen ekonominya sangat kuat. Bangsa Indonesia pun mabuk oleh pujian ini. Tapi  pujian itu ternyata omong kosong belaka, Sang Macan Asia yang kuat fundamen ekonominya itu, dalam waktu singkat hancur lebur diterjang krisis moneter pertengahan 1997, dan menjadi krisis multidimensi yang meluluh-lantakkan negeri ini dan pengaruhnya masih dirasakan setelah lewat satu dekade. Sementara sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan yang juga dilanda krisis moneter, cukup memerlukan waktu satu, dua tahun untuk memulihkan dirinya. Malaysia, malah dengan garang menolak bantuan dan campur tangan IMF, dan kemudian terbukti (menjadi contoh) negara mana saja yang “manut dirawat” IMF justru bagai menyerahkan lehernya untuk menelan pil-pil pahit yang makin mencekiknya.

Pujian kosong yang justru menghancurkan itu, tak pernah dijadikan pelajaran para pemimpin bangsa Indonesia. Kini di era reformasi lebih satu dekade ini  bangsa Indonesia (khususnya pemerintahannya) kembali mabuk akan pujian Barat yang selalu manyanjung Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia ke III setelah Amerika Serikat dan India. Inilah kiranya bius demokrasi yang akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. Pelajaran nyata praktik demokrasi sepanjang lebih sepuluh tahun di bawah empat presiden : Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono (dua kali memerintah) yang kesemuanya mengusung sistem politik yang demokratis bahkan liberalistis dan kapitalistis itu, apa hasilnya?

Dua tahun terakhir ini mengemuka istilah : Negara Gagal (Failed State). Itulah julukan NKRI yang amat mengerikan hari-hari ini. Kegagalan rejim reformasi, kiranya nyata disebabkan telah terjebak sistem demokrasi itu sendiri. Pemilihan  secara langsung telah menghasilkan presiden SBY, belasan gubernur, dan ratusan bupati/kepala daerah, tetapi sistem ini ternyata sarat oleh praktek sogok alias politik uang  yang secara pasti akan menyeret bangsa Indonesia ke pusaran air bah yang akan menenggelamkannya. Keprihatinan golongan elite mencuat di mana-mana, di antaranya yang menamakan diri DEPAN (Dewan Penyelamat Negara), yang dibentuk sejumlah politisi, ekonom, bekas perwira tinggi TNI, dan agamawan. DEPAN bermanuver dimana-mana dengan mengunjungi sejumlah tokoh nasional, bahkan membezoek Antasari Azhar bekas Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di penjara. DEPAN selalu mendorong tokoh yang ditemui agar membongkar kebobrokan rejim SBY. Hal inilah yang dilakukan saat menemui Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra di kantornya Ihza & Ihza Law Firm, 11 Mei 2011 di Gedung Citra Graha Gatot Soebroto Jakarta Selatan. Kecaman terhadap rejim SBY pun mengemuka di forum ini, termasuk status baru NKRI sebagai Negara Gagal. Hatta Taliwang mewakili DEPAN mendaulat Yusril agar menceritakan sejumlah misteri, misalnya soal Bank Century, keterkaitan Boediono, hingga kasus Sisminbakum yang gamblang sebagai kasus politik bertujuan mendiskreditkan dirinya. Cerita di balik layar dan musykil pun dibentangkan Yusril dan membuat yang mendengarnya geleng-geleng kepala. Sudah separah inikah NKRI hari ini?

Status Negara Gagal buat NKRI sebenarnya sudah mulai mencuat sejak 2007, setelah majalah Foreign Policy yang bekerjasama dengan tink-tank Amerika Serikat The Fund for Peace, mengumumkan daftar 60 index Negara Gagal. Indonesia masuk dalam daftar 60 Negara Gagal itu bersama Sudan, Somalia, Zimbabwe, Kongo, Ethiopia, Uganda, Irak, Timorleste, Myanmar, juga sederetan negara di Amerika Latin seperti Haiti. Ukuran sebagai negara gagal di antaranya disebutkan pemerintahan pusat posisinya sangat lemah dan tidak efektif. Pelayanan umum buruk, tindak kriminalitas dan korupsi merajalela, dan ekonomi merosot. Tanda-tanda atau indikasi sebagai Negara Gagal yang telah dibuat Foreign Policy bersama The Fund for Peace, pada 2007 niscaya kini 2011 kondisinya lebih parah lagi dan makin merosot. NKRI yang makin centang-perenang telah diuraikan di rubrik ini edisi  SI 112 yang baru lalu. Ada lagi julukan kini Indonesia menerapkan sistem Demokrasi Kriminal.

Enyahkan Mimpi Negara Demokratis

Kondisi yang jelas-jelas membawa NKRI ke  arah Negara Gagal ini tentu saja tak pernah diakui oleh penguasa dan kalangan establishment yang justru menikmati kondisi centang-perenang dan kehancuran bangsa Indonesia ini. Dalih yang amat popular untuk menepis fakta mengerikan itu adalah : Kondisi ini Hanyalah Masa Transisi. Jadi semua pihak harus sabar dan harus mempertahankan sistem politik yang sekarang yakni demokrasi yang liberal dan kapitalistik itu. Sungguh dalih yang amat naïf dan jauh dari fakta-lapangan.

Jika orang mau merujuk kepada ilmuwan penganjur sistem demokrasi liberal itu sendiri, yakni Prof Huntington dari Harvard University AS, diperlukan syarat bagi sebuah negara yang semula otoritarianisme untuk menerapkan sistem demokrasi yang liberal yakni income perkapita atau pendapat perkapita penduduk yang (harus)  tinggi. Semakin tinggi income perkapita  suatu negara makin muluslah perubahan dari sistem diktator ke sistem demokrasi liberal. Menurut Huntington dalam bukunya The Third Wave  : Democratization in the Late Twentieth Century, apabila negara miskin (mungkin seperti Indonesia maksudnya) memaksakan untuk menerapkan peralihan sistem dari otoriter ke demokrasi liberal, maka negara itu dalam waktu singkat akan kembali ke sistem semula yang otoriter.

Gamblang kiranya fakta yang terbentang dan diuraikan di atas, perubahan rezim otoriter Soeharto sejak Mei 1998 diganti rejim demokrasi liberal sepanjang 11 tahun terakhir, ternyata justru membawa Indonesia dalam kesulitan-kesulitan yang luar biasa. Yang paling mengerikan kini NKRI bahkan memiliki label baru : Negara Gagal. Sebelum benar-benar tenggelam ke dasar jurang yang lebih dalam, ada baik hikmah peringatan 11 tahun Reformasi Mei 2011 ini direnungkan dalam-dalam. Rumus paling pas justru mengikuti penganjur Demokrasi liberal itu sendiri, yakni Prof. Huntington, yang tegas-tegas menyebutkan negara miskin tak mungkin bisa mengikuti sistem demokrasi liberal. Jadi, enyahkanlah mimpi sebagai negara demokratis terbesar ke-III di dunia. Dengan sistem politik apapun, yang prioritas bagi Indonesia adalah: Mensejahterakan rakyat Indonesia. Yang kedua barangkali juga masih : Mensejahterakan rakyat Indonesia bahkan yang ketiga juga masih : Mensejahterakan rakyat Indonesia. Bukan sekadar slogan jika hal itu tercapai, segala yang lain niscaya mudah dicapai pula. Sistem yang belum dicoba adalah sistem Islam yang paripurna dan lengkap serta teruji dalam khazanah apapun untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera. Wallahua'lambissawab!


latestnews

View Full Version