View Full Version
Kamis, 09 Feb 2012

Larangan Jilbab di Cirebon: Walau GIS Menyerah Masalah Belum Tuntas

Kamis, 09 Februari 2012 | 15:59:23 WIB 

Humas Forum Ukhuwah Islamiyah Wilayah III Cirebon dan
Aliansi Ummat Islam Jawa Barat.


Geeta International School (GIS), sebuah sekolah internasional di Kota Cirebon yang dalam satu setengah bulan terakhir membuat runyam karena melarang siswi dan karyawatinya berjilbab, akhirnya dengan tidak ikhlas terpaksa menyerah setelah mendapat dua kali surat peringatan dari Pemkot Cirebon, yang didukung seluruh lembaga pemerintahan, DPRD, dan masyarakat. Hal inilah menurut aliansi Ummat Islam persoalannya masih tetap menyimpan masalah.

Sangat jarang terjadi atau mungkin belum pernah dalam sejarah Cirebon, masalah pelarangan pemakaian jilbab oleh GIS yang bernaung dibawah Yayasan Putra Sindhu ini, menyatukan hampir seluruh elemen masyarakat bukan hanya di Kota Cirebon bahkan Wilayah III Jawa Barat. Dan bukan hanya Ummat Islam, bahkan non muslim pun sangat mengecam tindakan GIS ini.

Dalam perundingan terakhir yang tertutup di balai Kota Cirebon tanggal 6 Februari lalu, GIS setelah menerima Surat Peringatan (SP) ke tiga, dimana pihak Pemkot dengan persetujuan DPRD siap menutup GIS jika SP 3 ini tidak diindahkan, rupanya membuat pihak GIS mulai berpikir lain, hingga akhirnya menyatakan siap mencabut klausul pelarangan jilbab. Tetapi rupanya pihak GIS tidak ikhlash, buktinya dia sempat mengajukan syarat asalkan siswi yang menjadi pelopor jilbab di sekolah itu beserta dua adiknya dipindahkan. Tapi pemerintah yang didukung seluruh lembaga Muspida meminta semua dilakukan tanpa syarat.

Sebenarnya menurut Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon, Edi Suripno, pihak Dinas Pendidikan Kota Cirebon sudah membuat skenario pemindahan 250 siswa GIS, jika SP 3 itu tidak dindahkan. Dalam masalah ini, Pemkot Cirebon dan DPRD beserta Ormas Islam yang pada hari yang sama melakukan demonstrasi, meminta pernyataan GIS untuk meminta maaf dan mencabut klausul pelarangan jilbab ini harus dibuat tertulis dan diumumkan secara luas.

Kendati demikian, Aliansi Ummat Islam Jawa Barat tetap menyiapkan diri untuk melakukan suatu tindakan, seandainya pihak GIS tidak sungguh-sungguh dengan janjinya, seperti yang diungkapkan Ustadz Suryana Nur Fatwa pimpinan Pagar Aqidah, dan Ustadz Andi Mulya dari Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat, Abdul Kholiq dari FPI dan unsur lain dari Persis, DDII dan HTI.

Sayangnya pihak GIS selalu tertutup kepada wartawan, pihak DPRD saja saat melakukan kunjungan ke GIS untuk klarifikasi masalah pelarangan jilbab ini tidak diterima bahkan sempat diusir, yang mengakibatkan seluruh anggota DPRD Kota Cirebon merasa dilecehkan. Dan satu hal yang aneh, pihak Pemkot dan DPRD mengaku belum tahu status kewarganegaraan pemilik yayasan Putra Sindhu induk GIS, seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Edi Suripno, saat dengar pendapat dengan Aliansi Ummat Islam di gedung DPRD.

Sejarah Jilbaber Cirebon

Tahun 1979, beberapa siswi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri di Bandung memakai jilbab, pro kontra mulai merebak hingga ketua MUI Jawa Barat, Engkin Zaenal Muttaqin ikut menyelesaikan masalah itu. Kasus ini diikuti SMA Negeri 3 dan 4 Bandung pada 1980, lalu menyusul SMA Negeri 8 dan 30 Jakarta, setelah itu maraklah pelarangan jilbab di sekolah negeri maupun swasta.

Pada 17 maret 1982 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan SK no 052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah negeri. Sebelum ada SK itu, keputusan terkait pemakaian jilbab diserahkan pada masing-masing sekolah. SK itu menimbulkan sengketa yang makin liar, siswi-siswi berjilbab dipaksa keluar dari sekolah atau pindah. Sikap otoriter sekolah itu justru menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang makin keras, dan semakin banyaknya siswi yang berjilbab.

Pada 1984 para jilbaber marak di Cirebon, para pendukung jilbaber tidak melakukan perlawanan frontal secara fisik, bahkan tidak melakukan perlawanan hukum, tetapi melakukan tindakan untuk memperkuat sistem yang mendorong para siswi untuk berani menghadapi resiko jika dikeluarkan atau dipindahkan sekolahnya. Maka persoalan ini semakin meledak pada 1985.

Dengan dipelopori SMA Negeri 2, disusul kemudian oleh SMA Negeri 1, SPG Negeri, lalu SMA Negeri 3 dan pada 1987 SMA Negeri 4 semuanya di Kota Cirebon, didukung oleh SMA Muhammadiyah Cirebon dan Sindang Laut, SPG Muhammadiyah Ciledug, SMA Negeri Sindang Laut, lalu SMEA Negeri Sindang Laut, persoalan siswi berjilbab di Cirebon menjadi tidak sederhana.

Mereka semakin mendapat dukungan yang kuat, jika pada awalnya yang tertekan itu para siswi, tapi pada tahun 1988 dan pertengahan 1989 situasi berubah, persoalan jilbab justru menjadi tekanan bagi pihak sekolah. Kompromi-kompromi yang dilakukan semakin memberi peluang bagi para siswi, sehingga pada akhir 1988 tidak lagi terdengar siswi berjilbab dikeluarkan atau dipindah dari sekolah negeri ke swasta. Bahkan kemudian pada pertengahan 1990 banyak sekolah yang memberi keleluasaan pada siswi berjilbab.

Dan akhirnya setelah Mendikbud Prof Dr Fuad Hasan mengeluarkan SK tentang seragam sekolah no 100/C/Kep/D/1991 tanggal 16 Februari 1991, maka persoalan jilbab ini dianggap selesai. Para pengusung Revolusi Jilbab pun mengadakan sujud syukur di kampus Universitas Indonesia di Depok, usai diberlakukannya SK itu. Apalagi dengan adanya UU no 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang didalamnya juga mengatur soal jilbab, maka keberadaan siswi berjilbab tidak boleh diganggugugat.

Menurut Ustadz Andi Mulya Dunia pendidikan adalah ruang paling ideal untuk mengembangkan budaya toleransi dan intelektual, ruang paling ideal untuk memanusiakan manusia, wajib mengantarkan anak didiknya memahami siapa dirinya, sebagai hamba Tuhan, warga  negara, memahami kewajibannya terhadap orang tua, guru, teman-temannya, tetangganya dan masyarakatnya. Maka penolakan GIS terhadap keinginan siswinya untuk berjilbab adalah anti logika.

Melarang seorang anak didik menjalankan keyakinannya, sama dengan mengajarkan anak didik menjadi penentang agama, menjadi atheis, maka anak didik itu tidak lagi mengenal Tuhan, agama tidak penting, dan ini bertentangan dengan UUD 45 dan Pancasila. Jadi Geeta School telah menjadi agen terbaik Sekularisasi yang Atheis.


latestnews

View Full Version