KH Muhammad Al Khaththath
Sekjen FUI
Pagi itu Kamis, 19 Juli 2012, ruang bawah Islamic Center Jakarta dipenuhi para alim ulama, ustadz, mubaligh, muslimat, dan aktivis berbagai lembaga Islam se-Jakarta Utara yang menghadiri undangan MUI Jakarta Utara. Dari ekspresi mereka tampak kegalauan bercampur rasa tidak puas dan suasana meledak-ledak untuk menjaga harta mereka yang paling berharga di Jakarta, yakni kekuasaan untuk menjaga aqidah.
Para hadirin yang merupakan simpul-simpul umat di Jakarta wajar galau. Sebab, pengumuman quick count pemilukada DKI dimenangi oleh pasangan Jokowi Ahok yang dipandang representasi politik non muslim. Kegalauan mereka beralasan. Sebab jika pasangan tersebut menang dalam putaran kedua 20 September nanti lalu secara definitive menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI, maka akan timbul masalah. Masalah itu adalah bahwa menurut UU, wakil Gubernur DKI Jakarta ex officio adalah Ketua Dewan Pembina Badan Amil Zakat DKI. Tentu jadi runyam jika wagubnya non muslim.
Belum lagi masalah-masalah lainnya. Ketegangan muslim-non muslim pasti akan semakin meningkat. Sebab, di satu sisi kaum muslim tidak rela; di sisi lain, kaum non muslim cenderung akan lebih agressif. Agresifitas kaum Nasrani dalam melakukan Kristenisasi selama ini memang menjadi pangkal penyebab konflik di wilayah Jabodetabek. Paling tidak itu catatan ICG pasca konflik HKBP di Ciketing Bekasi. Belum lagi GKI Yasmin di Bogor yang terus ngotot walau masalahnya sudah diselesaikan Pemkot Bogor.
Itu semua terjadi di wilayah dimana mayoritas muslim dan kepemimpinan dipegang kaum muslim. Apalagi kalau kepemimpinan dipegang oleh mereka? SMS dan BBM seputar eforia kemenangan Jokowi Ahok yang kabarnya beredar di kalangan gereja cukup memiriskan hati siapapun muslim. Oleh karena itu, kegelisahan umat dan semangat mereka untuk memenangkan calon muslim dalam putaran kedua pemilukada DKI adalah sangat beralasan.
Ketika diminta bicara dalam forum tersebut, saya menyampaikan dua hal penting. Pertama, secara normative Allah SWT mengharamkan orang kafir berkuasa atas kaum muslim. Dalam QS. An Nisa 141 Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”. Dalam Tafsir Jalalain, kata “sabil” dalam ayat tersebut diartikan “sabil bil isti’shal” yang artinya jalan untuk mencabut hingga ke akar-akarnya. Para mufassirin menggunakan kata “isti’shal” untuk menjelaskan adzab suatu kaum yang artinya mereka diadzab hingga musnah, tidak tersisa seorang pun. Artinya, Allah tidak mengijinkan orang Islam memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslim yang dengannya kaum muslim bisa dihabiskan hingga ke akar-akarnya.
Kedua, fakta sejarah mencatat bahwa di beberapa wilayah di dunia umat Islam dihabiskan hingga ke akar-akarnya. Contoh yang paling nyata, adalah umat Islam di Andalusia. Andalusia adalah wilayah yang meliputi Spanyol, Portugal, dan Perancis Selatan. Di wilayah tersebut umat Islam pernah berkuasa sejak penaklukan pada tahun 711M hingga tahun 1492M atau sekitar 8 abad. Ketika umat Islam Berjaya di situ penguasa membangun peradaban Islam tanpa menghabisi para pemeluk agama lain. Tatkala umat Islam lemah, khususnya setelah terpecah menjadi para raja yang berkuasa atas berbagai wilayah (muluk at thawaif), maka kekuasaan kaum Katolik bangkit dan menguasai kembali Andalusia. Saat itulah, umat Islam dihabisi dari bumi Andalusia. Siapa saja muslim, siapa saja membaca Al Quran, dan siapa saja berbahasa Arab, semua dibunuh. Umat Islam dicabut dari Spanyol hingga keakar-akarnya.
Contoh paling dekat adalah kota Manilla, Philipina. Kota Manila adalah kota Islam yang didirikan Sultan Sulaiman. Manilla berasal dari kata fii amaanillah yang artinya doa semoga di dalam jaminan keamanan Allah SWT. Namun setelah kaum Nasrani Spanyol menyerang dan membersihkan kaum muslim dari Manilla dan kota-kota di Philipina bagian utara, maka kota Manilla menjadi satu-satunya kota Katolik di Asia.
Apakah Jakarta akan mengikuti jejak Manilla dan Indonesia mengikuti jejak Andalusia? Tentunya tergantung kesadaran umat Islam di Jakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Kalau umat Islam abai terhadap agama dan akhiratnya, kalau umat Islam tertipu dengan sekerat harta dunia, kalau umat cinta dunia dan takut mati, dan lebih khusus lagi kalau umat Islam mengabaikan larangan Allah SWT kepada kaum muslim mengangkat penguasa kafir bagi mereka dalam QS. An Nisa 141 di atas, maka hal itu mungkin saja terjadi.
Sebelum nasi menjadi bubur, umat Islam harus melakukan gerakan untuk mencegahnya. Umat Islam harus melakukan konsolidasi dan silaturrahmi antar berbagai komponen umat Islam. Konsolidasi pemikiran, perasaan, dan gerak untuk memberikan loyalitas hanya kepada Allah dan rasul-Nya penting dimasifkan. Untuk itu harus ada kesefahaman antara MUI, Ormas-ormas dan gerakan yang tergabung dalam FUI, serta para aktivis politik Islam untuk menjaga keharmonisan Jakarta sebagai kota Islam. Ketua MUI Cholil Ridwan mengatakan Jakarta atau Jayakarta didirikan Fatahillah berasal dari kata “fathan mubina” (QS. Al Fath 1). Mengingat angka golput yang mengungguli perolehan suara, penting untuk menyadarkan siapa saja yang dengan perilaku politik maupun apolitiknya telah membuka jalan berkuasanya orang-orang kafir atas kota Jakarta. Selamat berjuang. Allahu Akbar!