Jakarta (SI ONLINE) - Agenda deradikalisasi yang dijalankan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dinilai gagal. Pasalnya tindak 'terorisme' akhir-akhir ini mencuat kembali. Hal itu dikarenakan program deradikalisasi para mantan teroris tidak tuntas.
"Kita gagal melakukan agenda deradikalisasi secara signifikan dan masif di seluruh Indonesia," kata Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida, dalam acara "Dialog Aktual" yang disiarkan langsung oleh TVRI, Selasa pagi (23/10/2012).
La Ode Ida mengemukakan negara selama ini menempuh cara "by pass" yaitu membunuh teroris.
"Seharusnya ada pendekatan lebih humanis agar menghilangkan pikiran-pikiran radikal mematikan orang lain. Kalau menumpas teroris dengan cara membunuh, yang terjadi justru menyuburkan benih-benih radikalisasi baru, gerakan pembalasan karena teman, sahabat, orang tuanya dibunuh aparat."
Anggota DPR RI Komisi III yang membidangi keamanan, Martin Hutabarat, dalam kesempatan yang sama mengakui bahwa program deradikalisasi tidak berjalan maksimal.
"Para tahanan kasus terorisme tidak mendapatkan pencerahan pikiran secara cukup," kata Martin.
Dia membandingkan dengan proses deradikalisasi di Malaysia, yaitu seseorang yang disebut teroris akan ditempatkan di sebuah rumah dengan penjagaan dan tokoh agama datang berdialog.
"Akhirnya mereka sadar bahwa paham yang mereka miliki itu salah. Deradikalisasi berjalan baik lewat dialog dengan tokoh agama."
Sementara itu pengamat intelejen Wawan H Purwanto memperkirakan kasus teror terbaru di Poso merupakan tanda belum tuntasnya masalah radikalisme dan ada pola mengulang sejarah yaitu para teroris akan beraksi kembali di tempat lama.
Menurut Wawan, sasaran para teroris berubah dari yang awalnya orang asing menjadi ke aparat dan pejabat tinggi pemerintah. Hal itu terjadi karena ada kecaman terhadap teroris karena serangan yang ditujukan terhadap warga asing sering menimbulkan korban masyarakat setempat.
"Mereka lalu ubah sasaran ke aparat," kata Wawan lalu mencontohkan serangan terhadap aparat kepolisian di Kebumen, Purworejo, Hamparan Perak, Palu Solo bahkan serangan yang ditujukan kepada presiden.
"Ini akan bakal jadi serangan panjang dan akan memainkan tempat lama, karena itu mereka harus segera didekati dan dirangkul kembali. Mari kita melihat mereka sebagai korban cuci otak," kata Wawan.
Dia berpendapat deradikalisasi berjalan namun tidak semuanya berhasil.
"Dalam hitungan saya 380 yang menjalani proses deradikalisasi dan sudah keluar penjara. Mereka dititipkan di Pesantren, sentra-sentra ekonomi, tambak, dan keluarga mereka diurus. Tapi ada 22 yang tidak diketahui rimbanya," kata Wawan.
Dia mengemukakan penanganan terorisme di Indonesia menggunakan sistem hukum pidana yang mengutamakan bukti sedangkan di Malaysia dan Singapura aparat bisa bertindak menghadapi terorisme cukup berdasarkan informasi.
red: shodiq ramadhan