KH Muhammad Al-Khaththath
Sekjen FUI
“Bubarkan Densus 88 pak! Mereka sudah zalim, telah membunuh anak saya yang tidak bersalah.!” Demikian jeritan hati yang diungkapkan berkali-kali oleh Ibu Hajjah Fatma, ibunda almarhum Anas Wiryanto, salah satu korban penembakan Densus 88 di Dompu Nusa Tenggara Barat kepada hadirin dalam acara Temu Pembaca Suara Islam di Jakarta Januari lalu.
Ibu Hajjah Fatmah pun menegaskan bahwa keliru besar pemberitaan media massa yang menyebut anaknya teroris apalagi mayatnya akan ditolak oleh penduduk Dompu, kampung halaman almarhum Anas. Ibu Fatma yang sudah berhari-hari di Jakarta berusaha untuk memulangkan jenazah anaknya menegaskan bahwa Anas sangat baik kepada lingkungan dan dicintai masyarakat di kampung halamannya.
Ibu Hajjah Fatma datang bersama tiga keluarga korban penembakan ngawur Densus 88 lainnya untuk mengadukan nasib mereka yang dizalimi Densus 88. Jenazah anaknya pun tidak mereka kembalikan ke tempat mereka mengambil. Padahal anaknya yang tak berdosa itu dibunuh dan dibawa ke Jakarta. Petugas menolak mengembalikan jenazah tersebut dengan alasan tidak ada biayanya. Benar-benar tidak bertanggung jawab!
Ya, sepak terjang Densus 88 akhir-akhir ini mencuat lagi setelah menebar teror dengan menembak mati 7 “terduga” teroris dan menangkap 4 lainnya dalam waktu 2 x 24 jam. Dalam salah satu penangkapan, Densus 88 layaknya dead squad tanpa ampun membunuh 2 orang aktivis Islam di Masjid Nur Afiah, di Rumah Sakit Makasar.
Berdasarkan monitoring Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI), Densus 88 telah berulang kali melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Selama ini operasi besar-besaran Densus 88 yang didanai oleh negara maupun asing tidak pernah jelas penggunaannya. Misalnya, Densus 88 menerima pelatihan, perlengkapan dan dukungan operasional dari Polisi Federal Australia (AFP) antara 2010 dan 2012 yang nilainya mencapai $ 314.500, kemana semua dana tersebut?.
Densus 88 juga sering kali terlibat dalam penyiksaan dan extra-judicial killings, membunuh menggunakan senjata tanpa SOP kepada “terduga” teroris yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan. Ingat terbunuhnya Mr. X di Cawang beberapa tahun lalu yang sampai 2 bulan tidak ketahuan identitasnya hingga akhirnya dikubur tanpa nama. Kini, tiga dari tujuh orang yang dibunuh itu juga belum jelas siapa mereka karena tidak ada keluarga yang mencarinya?
Densus 88 bersama Amerika dan Australia tidak hanya melancarkan kampanye tuduhan teroris terhadap aktivis Islam tetapi juga melakukan pembantaian.
Densus 88 dengan segala fasilitasnya telah menjadi pelaku impunitas (penghilangan nyawa yang lolos dari investigasi tanpa proses hukum) dan pelanggar HAM berat. Sampai detik ini, masih banyak praktik impunitas dalam bentuk penyiksaan yang dilakukan oleh Densus 88 di dalam tahanan maupun di luar tahanan terhadap para “terduga” teroris. Lalu apa gunanya pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1998.
Komnas HAM periode 2007-2012 sudah pernah membentuk Tim Investigasi atas pelanggaran HAM Densus 88. Namun sayang hingga akhir masa jabatan, laporan tim tersebut tidak pernah dibahas dalam rapat pleno. Sehingga boleh dikatakan pihak yang berwenang di negeri ini seolah semua bungkam terhadap kezaliman dan pelanggaran HAM Berat oleh Densus 88. Tinggallah gumaman atau gunjingan saja bahwa Densus 88 ini tidak tersentuh bahkan sudah jadi negara dalam negara.
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh para pimpinan ormas Islam yang bergabung dalam FUI untuk menghentikan kezaliman Densus 88. FUI sudah mendatangi dan mendesak Komisi III DPR agar memanggil KaDensus 88, Bareskrim Mabes Polri & BNPT untuk mempertanggungjawabkan tindakan kewenangannya terhadap korban terbunuh maupun korban salah tangkap. Juga sudah melaporkannya kepada Komnas HAM, Kompolnas, dan lain-lain karena jelas dan tegas telah melakukan pelanggaran HAM yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Bahkan pimpinan umat pernah melakukan clash action di PN Jaksel atas berbagai tindak kezaliman Densus 88 atas nama pemberantasan terorisme. Namun PN Jaksel berpihak kepada Densus 88.
Terorisme memang harus diberantas dan dicegah, tetapi penanganan dengan pelanggaran HAM dan ada tendensi kezaliman, bahkan termasuk menembak mereka yang diduga teroris hingga mati, tetapi lebih dari satu bulan ternyata tidak diketahui identitas yang bersangkutan karena tidak ada keluarga yang mengambilnya, adalah tindakan ngawur dan zalim. Sebab korban tidak diketahui siapa dia dan tidak sedang melakukan perbuatan yang disangkakan sebagai pelaku tindakan terorisme. Demikian juga salah tangkap yang dilakukan oleh Densus 88 terhadap aktivis Masjid Baitul Karim Kebon Kacang Jakarta saat membagi daging kambing korban Idul Adha lalu.
Kezaliman harus dihentikan. Kalau pemerintah dan para pejabat Densus 88 serta siapapun yang bertanggung jawab atas kezaliman Densus 88 masih beriman kepada Allah SWT, Tuhan YME, yakin akan adanya hari pembalasan, dan faham bahwa kezaliman akan membangkrutkan para pelakunya, dimana amal salih mereka dirampas untuk menghabiskan dosa para korban kezaliman, mereka akan segera menghentikan kezaliman tersebut dan akan memberikan diyat atau tebusan untuk masing-masing korban sebesar 100 ekor ontau atau uang 1000 dinar (1 dinar emas seharga 2,45 juta rupian) atau Rp 2,45 miliar kepada keluarga korban.
Kalau pemerintah tidak sanggup menghentikan kezaliman Densus 88, lebih baik bubarkan!