NKRI sebagai negara yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah tegas menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Dengan tegas BPUPKI sebagai lembaga perwakilan para tokoh bangsa ini dalam sidangnya pada tanggal 22 Juni 1945 menetapkan rancangan UUD dengan Mukaddimah UUD alinea ketiga yang menyatakan:
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
Dan pada alinea keempat, BPUPKI menetapkan bahwa : "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia... maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya....”, yang sehari setelah proklamasi, yakni tanggal 18 Agustus 1945 diubah oleh PPKI menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa,”.
Teks perubahan inilah yang kini berlaku sebagai Pembukaan UUD 1945 yang merupakan konstitusi bangsa dan Negara Indonesia.
Melindungi aqidah umat Islam adalah kewajiban konstitusional
Sekalipun ada perubahan teks, namun secara substansi tetap, bahkan diperluas tanpa pembatasan berlakunya syariat Islam sebagai hukum Allah Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa pembatasan bagi para pemeluknya. Sebab kalimat Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa ditafsirkan lain kecuali Allah Yang Maha Kuasa yang termaktub dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945. Allah Yang Kuasa adalah Allah SWT yang telah menurunkan Al Quran, Injil, Zabur dan Taurat sebagai pedoman hidup manusia sesuai risalah kenabian. Dalam Al Quran Surat Al Maidah ayat 48 : “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya seperti Taurat dan Injil) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu...”
Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
Pada ayat 49. Allah Tuhan Yang Maha Esa berfirman : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." Kata “Mereka: dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang tidak mengimani Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hukum Allah tetap diterapkan kepada mereka meskipun bukan muslim.
Oleh karena itu, secara konstitusional, NKRI wajib memberlakukan hukum syariat Islam sebagai UU dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek perlindungan agama dan keyakinan rakyat Indonesia. Dengan demikian, dalam kasus Ahmadiyah, mestinya tidak ragu-ragu lagi Presiden SBY segera mengambil langkah membubarkan aliran sesat penoda Islam seperti Ahmadiyah itu dan menangkap seluruh pemimpin mereka dan memberikan mereka tempoh untuk bertobat. Jika mereka tidak mau bertobat, maka mereka harus dihukum mati. Adapun warga pengikut Jemaat Ahmadiyah Indonesia ditangani oleh Kementerian Agama dengan memberdayakan seluruh sistem pembinaan masyarakat dalam Kementerian Agama termasuk dengan memberdayakan para ulama, ustadz, dan muballigh serta aktivis oramas-ormas Islam. Dengan cara itu, pemerintah akan bisa melaksanakan tanggung jawab konstitusionalnya yakni melindungi segenap rakyat Indonesia dari segala serangan aqidah oleh musuh-musuh Islam.
Melindungi aqidah dan agama rakyat Indonesia yang mayoritas muslim ini dari serangan penyesatan dan pemurtadan oleh musuh umat Islam adalah tanggung jawab utama negara sebagai wakil masyarakat muslim yang mayoritas dinegeri ini. Sebab, tanggung jawab menjaga aqidah dan agama ini merupakan tanggung jawab kolektif umat Islam dan diorganisir oleh negara sebagai wakil umat.
Hal ini bisa kita fahami dari pemberitaan Allah Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam firman-Nya : "mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup... "(QS. Al Baqarah 217).
Dalam Tafsir Fathul Qadir diterangkan bahwa murtadnya kaum muslimin merupakan tujuan dari peperangan kaum kafir kepada orang-orang mukmin. Murtad adalah kembali dari Islam kepada kekufuran. Ayat ini mengancam kaum muslimin agar tetap berpegang teguh dengan dinul Islam.
Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, pelaksanaan hukum syariat Islam secara kafah antara lain bertujuan menjaga agama umat Islam. Dan tugas pemerintah adalah menjaga agar Islam tetap berlaku secara kaffah di seluruh wilayah negara, dan tidak satu pun umat dibiarkan murtad, keluar dari Islam.
Menangani orang murtad secara Hukum Islam
Dalam ajaran Islam, orang yang murtad tidak dibiarkan apalagi dilindungi dan dibiarkan menyebarkan pemurtadannya. Siapapun yang murtad, pemerintah wajib menahannya dan mengirim petugas yang ahli dalam ajaran Islam untuk berdiskusi dengannya tentang ajaran Islam dan bahaya murtad yang dilakukannya. Setelah itu diberi waktu tiga hari. Bilamana setelah itu yang bersangkutan kembali kepada Islam, maka dia dilepas. Namun jika dia TETAP DALAM KEKUFURAN DAN KEMURTADANNYA, maka dia dijatuhi hukuman mati berdasarkan hadits Nabi saw.: “Siapa yang mengganti agama Islamnya, maka bunuhlah” (Sahih Bukhari Juz 4/75).
Itulah mengapa Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a. sebagai kepala negara pengganti Rasulullah saw. memerangi Nabi Palsu Musailamah Al Kaddzaab setelah yang bersangkutan diminta bertobat, kembali kepada ajaran Islam yang haq sesuai Al Quran dan As Sunnah, dalam surat beliau yang dibawa oleh komandan pasukan.
Terkait dengan ajaran Nabi Palsu Mirza Ghulam Ahmad dari India yang berkembang di Indonesia sejak zaman Belanda, pemerintah telah mengeluarkan SKB Pelarangan Ahmadiyah pada tanggal 9 juni 2008. Dalam SKB tersebut jelas dilarang menyebarkan ajaran Ahmadiyah. Namun sayang SKB itu tidak menyebut sanksinya, sehingga beberapa kali laporan Ustadz Amin Jamaluddin Direktur LPPI kepada Kepolisian tentang pelanggaran SKB oleh pengurus Ahmadiyah selalui memenui jalan buntu dan polisi menyarankan agar kembali kepada pihak yang mengeluarkan SKB, yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung.
Melarang tanpa memberi sanksi dan bahkan membiarkan pengurus Ahmadiyah tetap eksis, maka itu berarti membiarkan aliran murtad penoda ajaran Islam ini terus beroperasi melakukan penyesatan dan pemurtadan. Tentu ini meresahkan masyarakat. Sebab, siapa saja yang terekrut oleh mereka pasti akan disesatkan dan dimurtadkan, sebab mereka menganggap ajaran sesat mereka sebagai kebenaran. Bagaimana masyarakat bisa tenang, kalau aliran sesat yang sudah dihukumi murtad dan kafir oleh ulama sedunia, termasuk MUI dalam Fatwanya tahun 2005, terus aktif mengajarkan ajaran sesat dan kafirnya itu kepada masyarakat muslim dengan cover Islam. Sebab masyarakat awam kurang bisa membedakan antara Ahmadiyah dengan Muhammadiyyah.
Masyarakat Islam Korban Serangan Aqidah dari Ahmadiyah
Keresahan masyarakat inilah yang memicu gerakan di masyarakat dalam rangka bela diri, membela aqidah dan agama mereka dari aliran penoda dan penista agama Islam, yakni Ahmadiyyah. Oleh karena itu, mestinya pihak keamanan dan pemerintah sadar-sesadarnya bahwa rakyat yang marah adalah di pihak yang benar. Dalam insiden pembubaran pengajian Ahmadiyah dan perusakan tempat ibadahnya di Desa Tenjowaringin Kec. Salawu, Tasikmalaya, pada 5 Mei 2013 dan penyegelan tempat ibadah Ahmadiyah di Kelurahan Jatibening Baru, Kec. Pondok Gede, Kota Bekasi, pada 6 Mei 2013, termasuk kasus-kasus Ahmadiyah sebelumnya, rakyat dalam posisi bela diri sebagai korban serangan jemaat aliran sesat Ahmadiyyah. Adalah sangat tidak masuk akal jika pemerintah dan aparat melindungi dan membackingi aliran sesat Ahmadiyah untuk menyebarkan kesesatannya di tengah-tengah rakyat muslim.
Justru tugas dan tanggung jawab pemerintah dan aparat keamanan adalah menjaga aqidah rakyat dari serangan penyesatan dan pemurtadan, karena hakikat dari penyesatan dan pemurtadan itu adalah tujuan dari segala bentuk peperangan yang dilakukan oleh orang-orang kafir kepada kaum muslimin. Sejarah mencatat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah antek imperialis Inggris yang ditugaskan mengacak-acak kekuatan kaum muslimin di India agar bisa terus dijajah oleh imperialis kafir itu. Maka ajaran sesat dan menyesatkan Ahmadiyah yang dibuat oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku dirinya sebagai nabi adalah bagian dari strategi peperangan kafir untuk menjajah dan sekaligus memurtadkan kaum muslimin. Perlu diketahui, sampai kini pun Jaemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tunduk di bawah perintah Jemaat Ahmadiyah Internasional yang berkedudukan di Inggris.
Presiden SBY harus segera bubarkan Ahmadiyyah
Sudah waktunya pemerintah meningkatkan status SKB Pelarangan Ahmadiyah menjadi Keppres Pembubaran Ahmadiyah untuk menyelesaikan berbagai problem yang muncul dari keberadaan aliran sesat dan menyesatkan Ahmadiyah.
Presiden tidak perlu ragu lagi. Sebab seluruh dunia Islam sudah melarang Ahmadiyah dan Putusan HAM PBB di Geneva 26 Maret 2009 menyatakan bahwa penodaan agama adalah pelanggaran HAM.
Jika Ahmadiyah tidak dibubarkan, maka berarti Pemerintah RI sengaja memelihara konflik selamanya. Ahmadiyah telah menodai agama Islam. Sebab sesuai dengan AD/ART JAI yang menyebutkan bahwa JAI didirikan untuk menyebarkan ajaran Islam (baca: palsu) menurut ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Tentu umat Islam tidak akan diam sampai kapan pun.
Maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah, khususnya presiden SBY, untuk menjaga agama rakyat yang mayoritas muslim ini agar tetap di dalam ajaran Islam yang benar yang haq, sesuai Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak, berarti Presiden SBY telah melanggar UU No 1/PNPS/1965 dan sekaligus melanggar dasar negara yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Presiden yang inskonstitusional bisa dimakzulkan. Wallahua’lam!