View Full Version
Ahad, 27 Sep 2020

Pemerintah Yaman dan Pemberontak Syi'ah Houtsi Setujui Pertukaran 1000 Lebih Tahanan

BERN, SWISS (voa-islam.com) - Kedua belah pihak dalam perang Yaman setuju untuk menukar lebih dari 1.000 tahanan selama pembicaraan yang disponsori PBB di Swiss, sumber dari kedua belah pihak mengatakan pada hari Sabtu (26/9/2020).

Pemerintah, didukung oleh koalisi militer yang dipimpin Saudi, dan pemberontak Syi'ah Houtsi yang didukung Iran setuju untuk menukar sekitar 15.000 tahanan sebagai bagian dari kesepakatan damai yang ditengahi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di Swedia pada 2018.

Kedua belah pihak sejak itu melakukan pertukaran tahanan secara sporadis, tetapi pembebasan ratusan loyalis dan pemberontak - jika itu terwujud - akan menandai penyerahan skala besar pertama sejak perang meletus pada tahun 2014.

"Kesepakatan untuk menukar 1.081 tahanan telah tercapai," kata seorang anggota delegasi pemerintah kepada AFP tanpa menyebut nama.

Kesepakatan itu termasuk pembebasan "681 pemberontak, dan 400 pasukan pemerintah (dan sekutu), di antaranya 15 orang Saudi dan 4 orang Sudan", tambah sumber itu.

"Itu harus dilaksanakan dalam dua pekan," katanya.

Sumber Syi'ah Houtsi yang dekat dengan pembicaraan tersebut mengkonfirmasi kepada saluran TV Al-Masirah yang dikelola pemberontak bahwa putaran pembicaraan ini akan berakhir Ahad dengan pengumuman kesepakatan.

Pembicaraan dimulai di lokasi yang dirahasiakan di Swiss pada 18 September yang bertujuan untuk menyetujui pembebasan 1.420 tahanan. Di antara mereka adalah saudara laki-laki Presiden Yaman Abedrabbo Mansour Hadi.

Tapi pembebasan Jenderal Nasser Mansour Hadi dari tangan pemberontak Syi'ah Houtsi "telah ditunda," menurut anggota delegasi pemerintah itu.

Komite Palang Merah Internasional akan mengawasi pengembalian tahanan ke keluarga mereka.

Komandan senior pemberontak Syi'ah Moahmed Ali Al-Houtsi mentweet: "Yang penting bagi kami adalah melaksanakan kesepakatan, tidak hanya menandatanganinya."

Konflik Yaman telah menewaskan puluhan ribu orang, kebanyakan dari mereka warga sipil, dan memicu apa yang oleh PBB disebut sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. (TNA)


latestnews

View Full Version