View Full Version
Senin, 06 Jul 2009

Thailand Merayu Warga Muslim agar Tidak Memisahkan Diri

Thailand berencana akan menambah hak otonomi dan mempertimbangkan untuk memperluas penerapan hukum syariah di propinsi-propinsi Muslim yang berbatasan dengan Malaysia, demikian dikatakan oleh Abhisit.

Srisompot Jitprisomsri, dosen ilmu politik Universitas Pageran Songkhla, Pattani, mengatakan, “Sebagian besar Muslim Melayu hanya meginginkan hak otonomi dan desentralisasi administratif yang lebih luas, sehingga mereka mempunyai ruang bagi identitas kebudayaan dan agama mereka sendiri. Selama ini identitas asli mereka dikekang oleh pemerintah pusat.”

Namun sepertinya janji itu dilakukan setengah hati. Dalam sebuah wawancara di Singapura beberapa waktu lalu Abhisit mengatakan, “Desentralisasi dan ketentuan-ketentuan tambahan untuk memenuhi kebutuhan tertentu bisa diberikan. Kita dapat mengabulkan tuntutan atas kebutuhan penerapan hukum syariah, di bidang pendidikan.”

Abhisit, 44, yang menjabat sejak Desember tahun lalu, menekankan bahwa desentralisasi kekuasaan tidak akan sama dengan otonomi, yang ditentang oleh pemerintah.

Empat propinsi di selatan Thailand, Yala, Narathiwat, Pattani, dan Songkhla dulunya adalah wilayah otonomi dalam kesultanan Melayu Muslim yang merdeka. Pada tahun 1920 wilayah tersebut dianeksasi Thailand. Kemudian sejak tahun 1946, propinsi-propinsi yang mayoritas penduduknya Muslim, hanya diperbolehkan menerapkan hukum Islam secara terbatas, yaitu hanya pada hukum yang berkaitan dengan keluarga dan warisan.

Abhisit berupaya melakukan pendekatan rekonsiliasi dengan memberikan bantuan untuk pembangunan di wilayah-wilayah tersebut. Rencana pembangunan yang terencana, yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan akan dapat mewujudkan stabilitas di sana, demikian menurutnya.

Pekan sebelumnya ia mengatakan bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan pelaksanaan pemilu untuk memilih pemimpin lokal di sana.

Sekarang ini hanya masyarakat Bangkok dan Pattaya yang bisa memilih pemimpin lokalnya sendiri. Sementara gubernur untuk 75 propinsi lainnya ditunjuk langsung oleh Menteri Dalam Negeri.

Benarkah pemerintah Thailand berniat memperbaiki hubungannya dengan propinsi-propinsi yang mayoritas beragama Islam? Kenyataannya, pada pertengahan Juni 2009, ketika ketegangan antara Muslim dan pemerintah meningkat, muncul semacam laporan dari banyak lembaga yang mengaku independen yang isinya justru mendeskriditkan komunitas Muslim.

Deep South Watch, kelompok yang getol menghitung bentrokan yang terjadi di wilayah selatan, memaparkan data bahwa operasi militer berskala besar yang pernah dilakukan pada Juni tahun 2007, bisa menekan aksi kekerasan di wilayah selatan hingga separuh jumlah aksi yang tejadi rata-rata per bulan di tahun 2008, yaitu kurang dari 100 kejadian. Dan katanya lagi, dalam 6 bulan pertama tahun 2009 ini jumlah aksi mulai meningkat lagi.

“Sepertinya kemajuan dalam mengatasi pemberontakan sejalan dengan taktik yang digunakan,” kata Anthony Davis, pengamat masalah keamanan dari Jane's Information Group di Thailand. “Para pemberontak membentuk kelompok mereka kembali, dan sebagaimana yang terlihat dalam bulan ini, mereka mempunyai kemampuan organisasi yang baik,” lanjutnya.

International Crisis Group mengatakan, para pemberontak merekrut pelajar Muslim yang taat, pekerja keras, dan berkelakuan baik dari sekolah-sekolah Islam untuk diajak bergabung dengan mereka.

Abhisit sendiri mengatakan bahwa negosiasi dengan pihak separatis tidak praktis, karena gerakan mereka “tidak terintegrasi.” Pemberontak di daerah yang luasnya sekitar dua kali wilayah Palestina itu, didukung oleh dana dari kartel-kartel obat terlarang, jaringan perdagangan manusia, dan sindikat kriminal lainnya. Demikian tegasnya.

Pada bulan Mei lalu pengadilan Thailand menyatakan tidak bersalah terhadap seorang petugas keamanan yang dituntut atas kematian 78 pria Muslim tahun 2004 yang mati lemas setelah diangkut dalam truk menuju ke sebuah markas militer.

Atas hal tersebut Abhisit berkomentar, pemerintahnya “membuktikan” kepada rakyat di wilayah itu bahwa “tidak akan ada lagi ketidakadilan”
“Kita harus melakukan pendekatan ini dan harus bersabar,” katanya. “Kita tidak dapat mengubah persepsi yang sudah terbentuk atau kepercayaan yang hilang di masa tujuh atau delapan tahun ini hanya dalam waktu beberapa bulan saja.”

sumber: hidayatullah


latestnews

View Full Version