View Full Version
Jum'at, 01 May 2015

Jawaban Membela Umar yang Memukul Pegiat Puasa Rajab (Rajabiyyun)

Oleh: Badrul Tamam

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu pernah memukul rajabiyyin, yaitu orang-orang yang gemar berpuasa Rajab. Hal ini seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah Rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Kharsyah bin Al Hurr, ia berkata, "Saya menyaksikan Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu memukuli tangan orang-orang di bulan Rajab, sampai mereka meletakkan tangan-tangan mereka di piring-piring makannya (melarang mereka berpuasa), dan Umar Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Makanlah kalian, bulan ini adalah bulan yang dahulu dimuliakan orang-orang jahiliyah.”" (Ada’u ma Wajab: 57 dan 63)

Kemudian sebagian orang –terutama dari kelompok Syi’ah- menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang kehormatan Amirul Mukminin yang juga mertua Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Bukan Umar Saja yang Mengingkari Ritual Rajab

Sebenarnya bukan hanya Umar saja yang membenci ritual khusus di bulan Rajab. Juga ketika Abu Bakr Radhiyallahu 'Anhu menemui keluarganya dan melihat mereka membeli cangkir-cangkir minum, dan bersiap-siap untuk puasa, ia berkata, “Apa ini!”

Mereka menjawab, “Rajab.”

Abu Bakr Radhiyallahu 'Anhu berkata, “Apa kalian ingin menyerupakannya dengan Ramadhan? Lalu ia memecahkan cangkir-cangkir tersebut.” [Majmu’ Fatawa (25/290-291)]

Ibnu Abbas seorang ulama Alquran juga tidak menyukai ritual puasa Rajab. Abdurrazaq di dalam Mushannaf: 4/292, dari Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa dia membenci seluruh puasa Rajab, agar tidak dijadikan hari raya. Isnadnya shahih, sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar dalam Tabyin Al Ajab, hlm. 65, 66 – Al Misriyyah. [Baca: Tidak Ada Hadits Shahih Anjurkan Puasa 'Rajab']

4 Jawaban Bela Umar

Berikut ini empat jawaban membela Umar atas keputusannya yang mentahzir para rajabiyyin.

Pertama, Sesungguhnya dien ini adalah dienullah, yakni ajaran yang bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak diketahui kecuali melalui wahyu yang disampaikan oleh-Nya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sedangkan kewajiban kita adalah menerima dan tunduk serta mengikuti dengan apa yang disampaikan olehnya. Imam Ibnu Syihab al-Zuhri berkata –sebagaimana yang dinukil Imam Bukhari dalam Shahihnya secara ta'liq-,

مِنْ اللَّهِ الرِّسَالَةُ وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ

"Dari Allah-lah risalah, dan kewajiban Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyampaikan, sementara kewajiban kita adalah taslim (menerima dan tunduk)."

Imam Al-Barbahari berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah:

اعلموا أن الإسلام هو السنة والسنة هو الإسلام ولا يقوم أحدهما إلا بالآخر

"Ketahuilah, bahwa Islam adalah sunnah dan sunnah itu adalah Islam, tidak masing-masing tidak bisa tegak kecuali dengan yang lain." (Syarhus Sunnah, hal. 3)

Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sudah menyampaikan Islam tersebut secara keseluruhan kepada umatnya dan menerangkannya secara tuntas kepada para sahabatnya. Lalu para sahabat dengan penuh amanat –karena mereka orang pilihan yang Allah adakan untuk menemani Nabi-Nya dan menjaga agama-Nya- telah mengemban dien ini dan menyampaikan apa adanya tanpa menambahi dan mengurangi. Sehingga apabila kita mendengar ucapan seorang tokoh atau alim tentang Islam dan ibadah di dalamnya maka jangan tergesa-gesa, kata Imam al-Barbahari, sehingga kita bertanya dan memperhatikan apakah hal itu telah dibicarakan oleh sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam atau oleh salah seorang ulama Ahlus Sunnah. "Apabila Anda mendapatkan sebuah atsar tentang hal tersebut dari mereka , maka peganglah erat-erat dan janganlah coba-coba meninggalkan karena alasan apapun sehingga memilih jalan yang lain, sehingga Anda terjatuh ke dalam api nereka." (dari perkataan Imam Al-Barbahari)

Lebih khusus lagi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mewasiatkan agar berpegang teguh dengan sunnah para sahabatnya, khususnya khulafa' rasyidin. "Peganglah sunnahku dan sunnah khulafa' rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku." Al-Hadits. Dan di antara khulafa' rasyidin tersebut adalah Umar bin Khathab.

Kedua, Kenapa Umar bin Khathab memukul orang yang berpuasa tersebut? Dikarenakan orang tadi menghususkan puasa pada bulan tertentu yang tidak pernah dikhususkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam; baik dengan perintah atau menerangkan fadhilahnya secara khusus. Sehingga jika ia melaziminya dengan amalan dan niatan pengagungan bulan Rajab tersebut, maka dia telah menetapkan ibadah dalam Islam yang tidak ditetapkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan penolakan Umar menunjukkan bahwa hal itu bukanlah bagian dari syariat Islam yang diajarkan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Maka siapa yang mengadakan suatu ibadah yang tidak ada sunnahnya dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan menyalahi keterangan sahabat Nabi yang amanah, maka ia telah melakukan kebid'ahan, dalam arti: menetapkan ajaran Islam yang tidak pernah ditetapkan oleh orang yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikannya. Dan pastinya itu bukanlah Islam yang Allah turunkan.

Berkaitan dengan niat baik dan ikhlas dalam ibadah, merupakan syarat untuk diterimanya ibadah. Namun, syarat untuk diterimanya ibadah bukan itu saja. Lihatlah apa yang disampaikan al-Fudhail bin 'Iyadh dalam menafsirkan ahsanu amala (yang terbagus amalnya) dalam QS. Al-Mulk: 2: "Akhlashubu wa ashwabuhu (Yang paling ikhlas dan benar)" Kemudian beliau ditanya tentang maksudnya. Beliau menjawab: "Sesungghnya suatu amal apabila ikhlas namun tidak benar maka tidak diterima. Dan apabila benar namun tidak ikhlas juga tidak diterima. Sehingga amal itu ikhlas dan benar. Maka (yang dimaksud) ikhlas adalah apabila untuk Allah sedangkan benar adalah apabila sesuai sunnah." (Dinukil dari Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, hal. 450)

Imam Ibnu Katsir mengatakan, "Kedua syarat ini (ikhlas dan sesuai syariat yang disampaikan Rasulullah), yang tanpanya maka tidak sah amal seseorang. Maksudnya: sehingga ikhlas dan benar. Sementara ikhlas haruslah amal itu untuk Allah, sedangkan shawab (benar) haruslah amal itu mengikuti syariat. Sehingga sahnya secara dzahir dengan mutaba'ah (mengikuti sunnah) dan batinnya dengan ikhlas. Maka siapa yang dalam amalnya kehilangan salah satu dari kedua syarat ini, ia menjadi rusak. Siapa yang kehilangan ikhlas ia menjadi munafik, mereka itulah yang bermaksud riya' (ingin dipuji) terhadap manusia. Dan siapa yang kehilangan mutaba'ah (kesesuaian dengan sunnah) maka ia sesat dan bodoh. Kapan saja terkumpul keduanya maka itulah amal orang-orang beriman." (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Nisa': 125)

Maka pengingkaran Umar terhadap orang tadi dikarenakan orang tersebut menghususkan puasanya pada bulan Rajab, bukan karena dia berpuasa pada setiap bulannya yang biasa ia berpuasa.

Ketiga, Amal-amal yang biasa dikerjakan orang-orang pada zaman jahiliyah yang sebagiannya diwariskan dari syariat Nabi Ibrahim terdahulu, tidak boleh ditetapkan atau diamalkan oleh Umat Islam kecuali ditetapkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam melalui sunnah qauliyah, amaliyah atau taqririyah. Haji misalnya, adalah syariat yang ada pada Nabi terdahulu, lalu dilanggengkan oleh orang jahiliyah saat tidak ada utusan Allah yang membimbing mereka sehingga mereka tersesat dalam menjalankannya. Hajinya ada , tapi cara berhajinya yang salah, di antranya thawaf dengan telanjang. Maka Diutuslah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan diperintahkan untuk berhaji sebagai bagian dari perintah untuk mengikuti millah Ibrahim, dengan tatacara yang beliau contohkan. Maka siapa yang berhaji dengan cara jahiliyah, ia belumlah dianggap melaksanakan ibadah dalam Islam. Jadi niat saja tidak cukup, haruslah juga tepat sesuai tuntunan Syariat.

Sementara tradisi jahiliyah yang menghormati Rajab dengan berpuasa di dalamnya, tidak ada hadits shahih yang menerangkannya.Sebaliknya terdapat banyak bukti dari pernyataan ulama bahwa amal itu tidak dikenal oleh para sahabat Nabi yang shalih. Di antaranya sikap Umar terhadap orang yang menghususkan puasa di bulan rajab tersebut.

Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab."

Ibnul Hajar berkata dalam Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab: "Tidak terdapat dalil shahih yang layak dijadikan hujah tentang keutamaan bulan Rajab dan tentang puasanya, tentang puasa khusus padanya, dan qiyamullail (shalat malam) khusus di dalamnya." 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang hadits-hadits keutamaan berpuasa dan shalat khusus di bulan Rajab, “Seluruhnya dusta menurut kesepakatan para ulama.”

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada keutamaan khusus yang dimiliki oleh bulan Rajab dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, tidak dikhususkan umrah, puasa, shalat, membaca Al-Qur'an bahkan dia sama saja dengan bulan haram lainnya. Seluruh hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan shalat atau puasa padanya maka derajatnya lemah yang tidak boleh dibangun di atasnya hukum syar’i”

Keempat, kami nukilkan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam banyak kitabnya, di antaranya dalam Qaidah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Washilah, -lebih dari satu tempat-: bahwa dien ini dibangun di atas dua landasan utama. Pertama, tidaklah beribadah kecuali kpd Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Kedua, tidak beribadah kecuali dengan syariat-Nya yang disampaikan oleh para utusannya. Dan ini merupakan intisari dari dua kalimat syahadat yang diikrarkan seorang muslim. La ilaaha Illallaah, maknanya agar seseorang ibadah kpd Allah semata. yang berarti menuntut niat yang benar hanya untuk Allah (ikhlas) dlm rangkan melaksanakan dien-Nya. Muhammad Rasulullah, menuntut agar seseorang dlm melaksanakan ibadah kepada Allah yang terdapat dlm syahadat pertama mengikuti orang yang telah Allah utus bagi umat ini. Dan utusan Allah hanya menyampaikan ajarn yang berasal dari-Nya. Sehingga apa yang disampaikannya bukan berasal dari hawa nafsunya, namun dari wahyu yang diturunkan kpdnya. Maka siapa yang beramal dalam Islam dengan ajaran yang tidak disampaikan oleh Rasulullah, maka amal itu tertolak. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

وَمَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Siapa yang melaksanakan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal itu tertolak." (Muttafaq 'alaih)

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

"Siapa yang mengada-adakan baru dari urusan kami ini (Islam) yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak." (Muttafaq 'alaih)

. . . Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan anjuran puasa Rajab. . . . . berpuasa Rajab dengan melakukannya secara terus-menerus merupakan suatu perkara yang tidak disuka. . .

Penutup

At Turthusi dalam Al Hawadits Wal Bid’ah, hlm. 129 dan Abu Syamah di dalam Al Ba’its, hlm. 49 menyebutkan atsar Ibnu Umar ini. Dan di hlm. 130-131 berkata, ”Puasa Rajab dibenci berdasarkan salah satu dari tiga segi. Salah satunya adalah bila orang-orang mengkhususkannya dengan puasa pada setiap tahun, maka orang-orang awam yang tidak tahu akan menyangka (bahwa) itu wajib seperti puasa Ramadhan, atau mungkin sunnah yang tetap yang dikhususkan Rasulullah untuk berpuasa, seperti sunnah-sunnah rawatib. Dan bisa jadi, puasa itu ditentukan karena keutamaan pahalanya dibanding seluruh bulan, sebagaimana puasa ‘Asy Syura. Maka puasa itu dianggap ada karena ada keutamaannya, bukan hanya karena sisi sunnah atau wajibnya.

Andaikata hal ini terjadi karena ada keutamaannya, tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan atau Beliau pernah melakukannya, meskipun sekali seumur hidupnya. Sebagaimana Beliau pernah melakukan puasa ‘Asy Syura. Dan (dalam masalah ini) Beliau tidak pernah melakukanya, sehingga batallah anggapan keberadaan puasa itu, dikarenakan tidak ada keutamaannya. Secara ittifaq, itu bukan fardhu dan bukan pula wajib. Dan secara khusus, tidak ada dalil yang menetapkan anjuran puasa Rajab. Dengan demikian, berpuasa Rajab dengan melakukannya secara terus-menerus merupakan suatu perkara yang tidak disuka. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version