View Full Version
Senin, 31 Jan 2011

Kekacauan Mesir Bikin Israel Khawatirkan Rencana Serang Sinai

 

TEL AVIV(Berita SuaraMedia) – Seperti Hosni Mubarak di Mesir, Perdana menteri Israel dan pimpinan Angkatan Darat Israel merasa khawatir tentang perkembangan terbaru di Mesir. Tiga puluh tiga tahun telah terlewati sejak sebuah perjanjian perdamaian ditandatangani antara Kairo dan Tel Aviv dan sekarang bisa jatuh sewaktu-waktu.

Tiga dekade setelah menandatangni sebuah perjanjian perdamaian dengan Israel dan Mesir masih tidak teryakini bahwa perdamaian dengan Israel menguntungkan bagi mereka. Disamping kediktatoran dan pencegahan kebebasan umum, salah satu masalah yang orang-orang Mesir miliki selalu mencela Hosni Mubarak karena desakannya untuk melanjutkan perdamaian dengan Israel dan bahkan memperbolehkan Israel untuk mengatur bagian dari negara tersebut.

Ini adalah sebuah mimpi buruk yang hebat bagi Israel bahwa rejim tersebut membatasi 80 juta orang, yang membanggakan performa mereka selama perang enam hari dan masih menyimpan gambar-gambar dari para pemimpin legendaris mereka, yang mendahului kecenderuangan terhadap Barat, dan yang setidaknya tidak akan mentoleransi Angkatan Darat Mesir memainkan peranan penjagaan perbatasan untuk Israel.

Prioritas pertama untuk Mesir adalah menggulingkan Hosni Mubarak dan mengatur sebuah pemerintahan, yang akan berkomitman untuk pemilihan dan pendapat mereka begitu juga keadilan sosial dan yang perfomanya dapat diperhitungkan. Mesir telah berkontribusi untuk sejarah peradaban manusia dan memiliki, jangkauan yang sama, berkontribusi untuk meratanya Islam dan kebudayaan Islam. Hosni Mubarak merendahkan rakyat Mesir dan Angkatan Darat selama penguasaan 30 tahun tersebut.

Sejak saat itu, Anwar El Sadat mendekatkan dirinya sendiri pada AS dan menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan Israel, ekonomi Mesir bersandang  pada model Barat dan mengembangkan kecenderungan yang sama untuk menghasilakn keuntungan sesegera mungkin. Penyandaran tersebut dimahkotakan selama era Mubarak dan investor besar muncul di Mesir, yang keberadaannya bergantung pada kedekatan mereka dengan kekuatan pusat. Hal ini secara bertahap memperlemah kelas menangah rakyat Mesir dan memperluas perbedaan kelas.

Revolusi Tunisia adalah sebuah contoh yang sederhana dari apa yang akan terjadi di Mesir. Perbedaan di antara dua negara tersebut hanya pada jumlah populasi Tunisia 10 juta jiwa dan Mesir 80 juta jiwa. Pemerintah Tunisia terisolasi di Afrika Utara dan perkembangan Timur Tengah, namun Mesir hadir dan berpengaruh di seluruh Timur Tengah. Kairo adalah sekutu terbesar Washington dan negara Arab pertama yang masuk sebuah perjanjian perdamaian dengan Tel Aviv walaupun, perjanjian pertama mendorong negara tersebut keluar dari Liga Arab untuk beberapa lama, tidak ada negara Arab yang dapat menemukan dirinya sendiri tidak memerlukan Kairo.

Apa yang terjadi di Mesir mempengaruhi AS dan Eropa, yang biasanya mendukung para diktator Timur Tengah sampai momen-momen terakhir mereka dan sekarang harus mengakui kelemahan mereka dan bahwa mereka tidak dapat menjadi pasukan yang mengendalikan di Timur Tengah. Negara-negara Arab seperti Mesir yang memiliki demokrasi, pemilihan, partai oposisi yang berwenang, dan privatisasi di bawah pemerintah Eropa dan AS, Pendanaan Moneter Internasional dan bank Dunia tidak lain sebuah ilusi dan sebuah pengalih perhatian, dan yang sekarang mengenakan kerusakan terbesar di Barat dan sekutu besarnya di Timur Tengah, Israel.

Pemerintahan Barat yang sama, yang mengelu-elukan kebijaksanaan Mubarak dan kesantunan dalam menjalankan urusan politik, dan yang menganggapnya sebagai salah satu dari pilar kunci dari kehadiran mereka di Timur tengah, sekarang memitnanya untuk menghormati pemilihan yang populer dan menyerah akan tindakan kekerasan. Keberatan jelas terlihat: Untuk menjaga agar pendirian Mesir berkuasa tanpa Mubarak; sebenarnya seperti apa yang terjadi di Tunisia setelah penggulingan Presiden Tunisia Zine El-Abidine Ben Ali melarikan diri dari negara tersebut. Yang cukup menarik, Wakil Presiden Joe Biden masih menggambarkan Mubarak sebagai seorang demokratis, dan Menteri Luar Negeri AS Hillaru Clinton telah meminta Mesir untuk melakukan latihan pembatasan.

Tidak disangkal, AS dan Eropa bersama dengan Israel tidak ada gagasan apapun tentang masa depan Mesir, tidak juga mereka dapat emlakukan apapun untuk menghalangi perkembangan terbaru di negara tersebut. Mereka hanya seperti saksi peristiwa yang rumah-rumahnya disapu bersih oleh banjir.

Menghilang adalah era dari Mubarakisme di Mesir. Pencaloanan Mubarak untuk pemilihan ulang di dalam pemilihan suara kepresidenan musim gugur tahun depan, atau mewariskan kekuasaannya kepada anak laki-lakinya, jamal, semata-mata hanya harapan. Seperti apa yang terjadi di Tunisia, Baray kemungkinan berusaha untuk tetap masuk di dalamnya, atau menguasakan mereka yang dekat dengan mereka selama masa transisi. Namun bahkan jika mereka mengatur untuk melakukan demikian, akan ada perbedaan besar antara Mesir baru dan Mesir yang lama.

Mubarak adalah sebuah kunci hambatan bagi perkembangan hubungan antara Iran dan pemerintah Arab. Sementara itu, Gedung putih emngelu-elukan peranan memberikan sanksi kepada Iran dan memeprbesar ancaman nuklir negara tersebut di Timur Tengah. Tanpa sebuah bayangan sebuah keraguan, tidak ada pemerintahan baru di Mesir ayang akan berkeinginan untuk melanjutkan peranan tersebut. Pemain lainnya di dalam kebijakan Washington berhadap-hadapan dengan Iran adalah Arab Saudi yang sekutu monarkinya berada di antara pemimpin yang telah menunjukkan solidaritas mereka dengan Mubarak. Hal ini datang ketika raja Arab Saudi bahkan tidak bisa mentoleransi reaksi dari sekitar 30 orang pada banjir baru-baru ini di Jeddah.

Presiden Libanon, Saad Hariri dan Aliansi 14 Maret menyetujui Hosni Mubarak dan menganggap dukungannya sebagai sebuah benteng terhadap Syiria. AS dan Perancis menaksir terlalu tinggi kekuatan Saad Hariri dan sekutunya di Libanon dan di seluruh kawasan tersebut. Sekarang mereka  tidak memiliki pilihan, selain menerima kepemimpinan sebuah sekutu Syiria.

Kepungan Gaza benar-benar tidak mungkin tanpa bantuan Mubarak. Beberapa Angkatan Darat Mesir dan pasukan keamanan, yang di bawah Perjanjian Kamp David, memiliki perijinan untuk ditempatkan di gurun Sinai memiliki dua tanggung jawab kunci: untuk menjaga komoditas masuk ke Gaza, dan untuk membunuh warga Afrika yang, berharap menghasilkan uang, berusaha untuk secara ilegal menyebrangi gurun Sinai yang diduduki Palestina.

Sekarang, gurun Sinai, sampai batas tertentu diluar kendali pemerintah pusat Mesir begitu juga Angkatan Darat dan pasukan keamanan. Israel sangat prihatin tentang kemungkinan pengiriman barang makanan, obat-obatan, perlatan industri dan bahkan bantuan militer kepada Gaza. Beberapa kementerian Israel mengatakan bahwa kerusuhan Mesir adalah sebuah situasi volkanis dan "Kita semua berada di kawah sebuah gunung berapi."

Israel seharunya baik itu bersiaga dan mengawasi, atau menyerang Gaza atau Sinai untuk mempertahankan keseimbangan terbaru. Invasi Sinai akan memperburuk kobaran api diseluruh Timur tengah, dan adanya pengepungan di Gaza tidak akan berlanngsung tidak terjawab.

Apa yang membeberkan di Mesir adalah sebuah perkembangan lokal dengan regional dan ramifikasi internasional. AS mengalami revolusi Islam Iran dan kawasannya begitu juga dengan dampak selama tiga puluh tahun lalu, namun negara tersebut tidak mempelajari pelajaran apapun, dan terus-terusan melemparkan beban di balik diktator di Timur Tengah.

Tiba saatnya semua orang di Gedung Putih berdoa bahwa Mesir sedang melaksanakan perlawanan sendiri. (ppt/ptv) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version