View Full Version
Senin, 07 Feb 2011

Selain Mubarak, Inilah 7 Pemimpin Diktator Paling Buruk di Dunia

Selain Husni Mubarak di Mesir, sedikitnya ada tujuh pemimpin diktator terburuk di seluruh dunia. Salah satunya adalah Raja Arab Saudi. Ironisnya, para pemimpin diktator dan antidemokrasi itu mendapat dukungan, baik materil maupun nonmateril dari Amerika Serikat yang selama ini mengagung-agungkan demokrasi.

Joshua Holland, editor dan penulis senior di situs analisa politik dan kajian internasional AlterNet, mengungkap siapa saja ketujuh diktator paling buruk sedunia itu;

1. Paul Biya, Kamerun

Biya berkuasa di Kamerun sejak memenangkan "pemilu" tahun 1983. Mengapa kata "pemilu" diberi tanda kutip, karena tidak seperti pemilu pada umumnya, Biya menjadi satu-satunya kandidat presiden dalam pemilu tersebut dan ia diklaim berhasil mendapat dukungan 99 persen suara dalam pemilu tersebut.

Kamerun merupakan salah satu negara yang berhubungan dekat dengan AS. Tak heran, meski pemilu yang digelar sangat tidak demokratis, pemerintah AS tetap menggulirkan dana bantuan keuangan untuk pemerintah Kamerun lewat lembaga-lembaga finansial internasional seperti Bank Duna, IMF dan African Development Bank.

Organisasi hak asasi manusia Amnesty Internasional dalam laporannya menyebutkan bahwa pemerintahan Biya di Kamerun kerap menangkapi dan memenjarakan wartawan, melakukan eksekusi tanpa prosedur hukun dan melakukan bisnis kotor.

Pemerintah juga berusaha membungkam gerakan oposisi dengan melakukan dan menutup-nutupi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat negara. Rezim Biya di Kamerun tak segan-segan menangkap orang-orang yang dianggap menentang pemerintah, melarang warganya berkumpul atau membentuk asosiasi dan membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat.

2. Gurbanguly Berdymuhammedov (Berdymukhamedov), Turkmenistan

Berdymuhammedov berkuasa sejak 2006 setelah presiden Turkmenistan wafat. Ia berhasil merebut tampuk kekuasaan di Turkmenistan dengan cara mengeluarkan mandat untuk memenjarakan pengganti presiden yang wafat.

Laporan Departemen Luar Negeri AS menyebutkan bahwa sejak tahun era tahun '90-an, Turkmenistan menjadi pemain utama dalam "US Caspian Basin Energy Initiative". Negara itu memfasilitasi negosiasi antara perusahan-perusahaan komersil dan pemerintahan Turkmenistan, Georgia, Azerbaijan dan Turki dalam pembangunan jaringan pipa bawah laut di Laut Kaspia untuk menyalurkan gas-gas alam serta ekspor gas alam Turkmenistan ke Turki dibawah bendera yang mereka sebut sebagai Trans-Caspian Gas Pipeline (TCGP)

Majalah Parade melaporkan bahwa AS menikmati pasokan minyak dari Turkmenistan. Pada tahun 2008, nilai impor minyak AS dari negeri itu mencapai 100 juta dollar. Perusahaan minyak Chevron bakan membuka kantor perwakilan sendiri di Ashgabat, ibukota Turkmenistan.

Namun pendapatan negara dari hasil ekspor gas alam dan minyak, terutama ke AS, tidak pernah dirasakan rakyat Turkmenistan. Organsasi Hak Asasi Manusia Human Rights Watch dalam laporannya menyatakan bahwa Berdymuhammedov justru menerapkan kebijakan yang mengekang kehidupan sosial rakyatnya serta bertindak represif.

3. Teodoro Obiang Nguema, Equatorial Guinea

Teodoro sudah berkuasa selama 32 tahun di Equatorial Guinea setelah menggulingkan dan mengeksekusi pamannya sendiri, Francisco Macias.

Setelah melakukan kudeta berdarah dan berhasil naik ke tampuk kepemimpinan, Obiang berjanji akan memimpin dengan cara yang lebih baik dan lebih lunak dari pendahulunya. Tapi nyatanya, Obiang tak kalah keji dengan pamannya. Tahun 1990-an, Dubes AS di negara itu bahkan pernah mendapatkan ancaman akan dibunuh hingga harus dievakuasi.

Tapi hubungan Obiang dengan AS kembali mesra setelah ditemukan sumber-sumber minyak di lepas pantai negara tersebut. Masih menurut data majalah Parade, AS mengimpor lebih dari 3 milliar produk petroleum dari Equator Guinea pada tahun 2008. Di masa-masa awal eksplorasi sumber minyak, negara itu bahkan mampu meraup pendapat mencapai 700 dollar AS tapi semua pendapatan negara itu disimpan di rekening-rekening pribadi Obiang yang dirahasiakan dan AS tutup mata atas fakta tersebut sepanjang masih bisa mengeruk keuntungan dari sumber minyak negeri Obiang.

4. Idriss Deby, Chad

Chad adalah satu negara yang menjadi sekutu AS dalam kampanye "perang melawan teror". AS menikmati hubungan dengan Chad berupa impor minyak dari negeri itu yang nilainya mencapai 3 miliar dollar per tahunnya.

Bisnis minyak dengan AS inilah yang memperkuat rezim Idriss Deby. AS, menurut majalah Parade, juga ikut memperkuat angkatan bersenjata Chad meski miiter negara itu ditengarai mengeksploitasi anak-anak untuk dijadikan tentara.

Amnesty Internasional dalam laporan tahun 2010 juga menggambarkan buruknya situasi kemanusiaan di Chad dibawah kepemimpinan Idriss Deby. Warga sipil dan pekerja kemanusiaan banyak yang diculik dan dibunuh, maraknya kekerasan dan perkosaan terhadap kaum perempuan, termasuk anak perempuan dan anak-anak yang dipaksa menjadi tentara.

Rezim Deby menangkapi, memenjarakan dan menyiksa orang-orang dari kelompok yang dianggap oposisi pemerintah, mengintimidasi para wartawan dan aktivis hak asasi manusia, bahkan pada tahun 2009 menghancurkan rumah-rumah dan fasilitas lainnya sehingga menyebabkan ribuan orang menjadi tuna wisma, dan membiarkan pada bandit dan kelompok bersenjata berkeliaran dan mengancam keamanan rakyatnya.

5. Islam Karimov, Uzbekistan

Karimov menjadi presiden Uzbekistan sejak tahun 1990. Ia juga menjadi salah satu sekutu AS dalam "perang melawan teror". Karimov memberi tempat bagi pasukan AS di Karshi-Khanabad, yang dijadikan sebagai basis angkata udara AS sampai tahun 2005.

Hubungan Karimov dan AS jadi "dingin" setelah ia meminta AS untuk menutup basis militer tersebut. Meski demikian, menurut Parade, hubungan dagang antara AS dan Uzbekistan meningkat dua kali lipat pada tahun 2008 dan AS mengimpor uranium dalam jumlah besar dari Uzbekistan, untuk keperluan pusat energi nuklir dan persenjataan AS. Tahun 2009, Uzbekistan bahkan memesan pesawat Boeing untuk keperluan maskapai nasionalnya, dengan nilai pembelian sebesar 600 juta dollar.

Tapi sebagai pemimpin, Karimov menggunakan tangan besi dalam mengatur rakyatnya. Laporan Human Rights Watch menyebutkan, rezim Karimov melakukan penangkapan, penyiksaan dan memberlakukan pembatasan bagi kelompok agama minoritas. Karimov bahkan disebut-sebut tak segan-segan membunuh lawan politiknya, dengan cara merebus "musuh"nya hingga mati.

6. Meles Zenawi, Ethiopia

Zenawi sudah berkuasa di Ethiopia selama 20 tahun. Tahun 2010, ia kembali berkuasa setelah partainya Front Demokrasi Revolusioner Rakyat Ethiopia memenangkan pemilu dengan dukungan suara 99, 6 persen ! ia berhasil mengintimidasi dan menekan para pendukung partai-partai oposisi dalam pemilu yang penuh rekayasa.

Ethiopia adalah sekutu strategis AS dalam agenda "perang melawan teror" dan pemerintahan Zenawi menerima sokongan dana dari pemerintah AS. Menurut lembaga U.S. Agency for International Development, AS merupakan negara donor terbesar bagi Ethiopia.

Pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush, Kongres AS mengesahkan undang-undang yang isinya meminta pemerintah AS membatasi bantuan militer untuk Ethiopia, karena rezim Zenawi dianggap membelenggu kebebasan pers dan buruknya kondisi hak asasi manusia di negeri itu. Tapi Buhs keberatan dengan undang-undang tersebut dan tetap menggulirkan bantuan finansial dengan dalih untuk biaya "antisipasi terorisme".

Rezim Zenawi melarang adanya kelompok-kelompok oposisi dan berdirinya lembaga swadaya masyarakat. Ia juga dianggap bertanggung jawab atas kasus-kasus penghilangan orang secara paksa. Meski demikian, AS tetap memberikan bantuan pelatihan terhadap pasukan militer Ethiopia.

7. Raja Abdullah bin Abdul Aziz, Arab Saudi

Raja Saudi ini menjadi satu dari tujuh pemimpin diktator di dunia versi AlterNet. Arab Saudi, merupakan sekutu AS yang paling penting di Timur Tengah. Selama puluhan tahun, AS memberikan layakan keamanan bagi keluarga kerajaan Saudi dengan kompensasi hasil minyak bumi negara Saudi.

Sejak menjadi Raja Saudi tahun 2005, Raja Abdullah sudah melakukan sejumlah reformasi di negaranya. Tapi Human Rights Watch menilai reformasi yang dilakukan Raja Abdullah kebanyakan masih berupa simbolis dan belum memenuhi tuntutan perlindungan atas hak asasi manusia secara konkret.

Amnesty International dalam laporan tahun 2010 menyebutkan bahwa kerajaan Arab Saudi masih memberlakukan kebijakan yang represif untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berkumpul bagi rakyatnya. Ratusan orang ditangkap atas tuduhan teroris dan ribuan dipenjara atas nama keamanan negara. Dalam banyak hal, pemerintah Saudi juga masih membatasi hak-hak perempuan dengan mengatasnamakan ajaran agama. (ln/AlteNet)


latestnews

View Full Version