Salah satu "laron" AKKBB yang nyaring bersuara pasca kerusuhan Cikeusik Banten, 6 Februari 2011 lalu, adalah Yenny Wahid. Saat ini Yenny menjabat sebagai Direktur Eksekutif The Wahid Institute, sebuah lembaga neo-sinkretis (perpaduan dari beberapa paham/aliran yang berbeda) yang didirikan oleh sang Guru Besar Bid'ah Dholalah —misalnya menyuruh ummat Islam merayakan natalan—, mendiang Abdurrahman Wahid, bapaknya Yenny, Alissa, dan Inayah.
Dalam salah satu komentarnya di sebuah teve swasta, Yenny menuding SKB tiga menteri yang diterbitkan 9 Juni 2008 dan berkenaan dengan Ahmadiyah, dinilai telah dijadikan landasan bertindak bagi sekelompok orang untuk melakukan penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Yenny juga menuding Fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah juga dijadikan alasan bertindak menyerang Ahmadiyah.
Bila beberapa menteri merumuskan surat keputusan bersama untuk mencari solusi atas suatu permasalahan, apapun hasilnya, itu memang merupakan kewenangan mereka sebagai aparat pemerintah yang sah. Begitu juga dengan MUI yang punya kapasitas dan kewenangan untuk menerbitkan fatwa, dalam rangka menjaga akidah umat Islam dari rongongan aliran dan paham sesat yang terus hidup sampai akhir zaman.
Kapasitas dan kewenangan di atas tentu saja tidak dimiliki seorang Yenny Wahid, sebagai Direktur Eksekutif The Wahid Institute apalagi sebagai pribadi. Yenny bukan ‘ulama, bukan umara, dia cuma "laron" AKKBB yang menghidup-hidupkan neo-sinkretisme dengan bungkus hak asasi manusia, kebebasan beragama dan pluralisme. Padahal, yang ditawarkan Yenny dan kawan-kawannya adalah kesesatan yang memukau sehingga tidak mudah disadari sebagai kesesatan oleh korban-korbannya.
Keberanian Yenny bicara tanpa dilandasi otoritas dan kapasitas untuk hal-hal yang serius, menunjukkan bahwa ia terjangkiti sindrom asma (asal mangap) seperti bapak-ibunya. Apalagi, sebagaimana diakuinya sendiri ia tidak tahu konten akidah sesat Ahmadiyah yang dibelanya itu (lihat tulisan berjudul Bangsa Banyak Bicara (B3) di nahimunkar.com edisi Oktober 3, 2010 9:35 pm. (http://www.nahimunkar.com/bangsa-banyak-bicara-b3/)
Yenny Wahid seharusnya tahu diri, bahwa wanita dengan kapasitas dan kualifikasi seperti dia, di Indonesia ini jumlahnya ombyokan. Bahkan yang levelnya di atas Yenny juga banyak. Namun mereka tidak punya kesempatan tampil di depan publik, karena bukan anaknya Gus Dur. Secara perhitungan akal, kalau Yenny bukan anaknya Gus Dur, mustahil ia bisa memimpin lembaga seperti The Wahid Institute. Kalau Yenny bukan anaknya Gus Dur, mustahil ia bisa jadi (pernah menjadi) staf ahli presiden SBY. Kalau Yenny bukan anaknya Gus Dur, mustahil ia dijadikan narasumber oleh berbagai media massa.
Apalagi kalau Gus Dur bukan cucunya Hasyim Asy'ari (salah satu pendiri NU —Nahdlatul Ulama), bukan anaknya Wahid Hasyim, mustahil Yenny bisa seperti sekarang. Hal ini bisa terjadi karena kultur di NU yang suka mengkultuskan seseorang, meski tokoh yang dikultuskan itu mendukung kesesatan, kemaksiatan seperti bertekad mati-matian mendukung goyang ngebor Inul, dan kemunkaran serta dikabarkan pernah runtang-runtung dengan isteri orang atau wanita-wanita bukan isterinya. Bandingkan dengan ormas lain, seperti Muhammadiyah, Persis dan sebagainya, yang sampai saat ini tidak ada pengkultusan terhadap anak-cucu pendirinya.
Keberanian Yenny Wahid menyampaikan statement di ruang publik, nampaknya mengalahkan akal sehatnya. Sehingga terkesan seperti bonek (bondo nekat, modal nekat alias gaco nekat) yang berprinsip "maju tak gentar membela yang bayar". Hal ini terlihat ketika ia merespon pernyataan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Sebagaimana diberitakan, Gubernur Provinsi Banten mengungkapkan harapannya agar Jemaat Ahmadiyah yang berjumlah sekitar 1.120 orang dan tersebar di enam kecamatan di Provinsi Banten dapat segera bertobat. Harapan itu disampaikan Ratu Atut kepada pers usai mengikuti rapat terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, pada hari Senin 7 Februari 2011. (Kompas.com edisi Senin, 7 Februari 2011 | 22:07 WIB)
Bagi yang berpikiran waras, harapan seorang Gubernur seperti itu adalah wajar. Karena, sebagai umara yang dipilih rakyat, ia punya tangung jawab kepada rakyat. Tanggung jawab itu tidak melulu soal perut dan urusan duniawi lainnya tetapi juga urusan ukhrawi misalnya dalam bentuk menjaga akidah rakyatnya dari terpaan badai aliran dan paham sesat seperti Ahmadiyah.
Kesesatan Ahmadiyah bukanlah pendapat seorang Gubernur, Menteri atau Presiden. Tetapi, merupakan akidah umat Islam yang merujuk kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Jadi, bila seorang Gubernur, Menteri atau Presiden menyatakan Ahmadiyah itu sesat dan menaruh harapan agar pengikutnya kembali kepada Islam yang benar, mengajak pengikut Ahmadiyah untuk bertobat, itu sudah sesuai dengan kewenangannya, sesuai dengan kapasitasnya. Sebaliknya bila mereka tidak punya harapan seperti itu, tidak mengajak rakyatnya keluar dari kesesatan, maka mereka akan berdosa karena mengabaikan tanggung jawabnya sebagai umara.
Tapi bagi Yenny Wahid, pernyataan seperti itu berpotensi memprovokasi masyarakat. Bahkan secara sinis ia mengatakan, "Saya baru tahu Gubernur Banten mempunyai mandat dari Tuhan untuk meluruskan manusia. Saya pikir menjadi gubernur hanya mendapat mandat dari masyarakat saja." (Kompas.com edisi Selasa, 8 Februari 2011 | 17:07 WIB)
Pernyataan Yenny Wahid nampaknya saling melengkapi dengan pernyataan tokoh Katolik Romo Harry dari International Conference on Religion and Peace (ICRP) dan tokoh Kristen Pendeta Albertus Patty dari Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Romo Harry pada intinya mengatakan, pemerintah sebaiknya berhenti mengurusi keimanan warga negaranya. Sedangkan Pendeta Albertus Patty mengatakan, "… tak ada lagi pejabat yang memberikan pernyataan yang semakin menyudutkan dan menyalahkan korban…"
Bila para tokoh Katholik dan Kristen itu bersuara sesuai dengan akidahnya dan mewakili umatnya yang seakidah, lantas siapa yang diwakili Yenny Wahid dalam hal membela Ahmadiyah? Bila penganut Ahmadiyah menjadikan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dan penganut Katholik-Kristen menjadikan Paulus, Matius dan sebagainya sebagai Nabi, apakah Yeny Wahid juga berada pada posisi yang sama?
Dalam Islam, kalau seseorang tidak tahu tentang sesuatu, maka disuruh oleh Allah Ta'ala untuk bertanya kepada ahlinya.
Dalam hal tugas pemimpin, sebelum Yenny berkomentar macam-macam, sebaiknya bertanya kepada ahlinya. Sebagai cucu pendiri pesantren seyogyanya tahu bahwa dalam ilmu keislaman, telah ditulis kitab-kitab oleh para ulama mengenai tugas pemimpin. Baca dulu, difahami, baru kemudian berkomentar, kalau memang perlu, dan bukan untuk membela kesesatan apalagi aliran sesat Ahmadiyah yang memang benar-benar menodai Islam.
Di antara kitab yang memuat tentang tugas pemimpin adalah Al-Ahkamus Sulthoniyyah yang ditulis oleh Imam Al-Mawardi. Inilah kutipannya:
Tugas Utama Pemimpin; Memberantas Kesesatan
Sesuai dengan tujuan dipilihnya imam/pemimpin yaitu untuk menerapkan aturan Allah di dalam masyarakat, maka Al-Mawardi menjadikan tugas nomor satu khalifah adalah:
Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsipnya yang telah ditetapkan, dan hal-hal yang disepakati oleh salaful ummah (generasi awal Islam). Apabila muncul pembuat bid'ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan, dan ummat terlindungi dari usaha penyesatan.
Di samping tugas utama seperti itu masih ada sembilan tugas lagi bagi imam/khalifah yaitu:
Mungkin Yenny akan berkilah bahwa tugas seperti itu adalah kalau negaranya negara Islam.
Okey, di Negara yang bukan disebut Negara Islam tetapi penduduknya mayoritas Muslim, dan Yenny sendiri belum pernah menyatakan keluar dari agama Islam alias murtad, kira-kira lebih pantas mana:
Bila berfikiran waras, maka akan pilih mengutip perkataan ulama. Kenapa?
Karena Yenny sendiri masih mengaku muslim. Dengan mengutip perkataan ulama, bukan pendeta, maka masih ada urutan-urutannya secara herargi keilmuan dan keyakinan. Apalagi Yenny berkomentar berkaitan dengan Ahmadiyah, yakni masalah keyakinan. Maka ketika memilih perkataan Ulama, berarti masih tidak mengingkari dan tidak berkhianat terhadap agamanya. Berbeda dengan ketika memilih perkataan pendeta atau bahkan menyejajarkan diri dengannya, maka berarti sudah berkhianat terhadap agamanya sendiri, sekaligus untuk membela aliran sesat Ahmadiyah yang jelas-jelas menodai agama Islam.
Namun kenyataannya lain. Yenny dengan lantangnya lebih pilih pendapat yang resikonya adalah berkhianat terhadap Islam itu.
Nampaknya, Yenny Wahid mewarisi watak bapaknya (mendiang Gus Dur) yang tampaknya cenderung membela orang kafir, sesat dan menyesatkan. Sehingga meski ia disebut-sebut sebagai tokoh Islam oleh media massa pendukungnya, namun oleh umat Islam ia justru disebut sebagai duta kesesatan dan kekafiran. Yenny nampaknya sudah menunjukkan kepada publik, bahwa ia kini sedang menduduki takhta mendiang Gus Dur sebagai pengganti sang bapak yang meninggal 30 Desember 2009 lalu.
Enam bulan sebelumnya, ketika Suryadharma Ali dalam kapasitasnya sebagai Menteri Agama mengatakan secara tegas bahwa Ahmadiyah harus dibubarkan karena dinilai mengganggu kerukunan umat beragama di Indonesia, dan keberadaannya bertentangan dengan inti ajaran agama Islam (kompas.com edisi Selasa, 31 Agustus 2010 | 15:40 WIB), Yenny tampil melawan.
Bagi Yenny Wahid, pernyataan Menteri Agama itu tidak tepat dan sangat salah. Karena, pernyataan itu menurutnya bisa dijadikan pembenar dan alasan bagi kelompok garis keras untuk melakukan kekerasan bagi kelompok Ahmadiyah. Lagi pula, menurut Yenny, hal-hal yang berkenaan dengan akidah adalah domain pemeluk agama dan Tuhannya langsung, sedangkan negara hanya bertugas untuk mengamankan agar tidak terjadi gesekan antar pemeluk keyakinan.
Sikap Yenny jelas terkesan arogan. Sejak kapan dia diberi jabatan oleh rakyat sebagai ‘juri' yang punya kewenangan menilai salah-benarnya pernyataan seorang Menteri? Sejak kapan dia diberi tugas oleh rakyat untuk itu? Yenny bukan siapa-siapa kok. Bahkan ia tidak tahu isi kesesatan paham Ahmadiyah yang dibelanya itu.
Satu hal lagi, sejak kapan pemeluk agama dapat berurusan langsung dengan Tuhannya? Masalah akidah umat Islam, misalnya, bisa merujuk kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan pemahaman ulama shalih yang sudah sejak dulu mengikuti pemahaman Rasulullah tentang Al-Qur'an, termasuk berkenaan dengan aspek kenabian. Umat Islam akan bertemu langsung dengan Allah SWT bila kelak sudah meninggal dunia dan berkumpul di padang Mahsyar. Apakah Yenny pernah bertemu dengan tuhannya secara langsung? Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun…
Sinisme dan arogansi ala Yenny Wahid terhadap pernyataan Menteri Agama juga ditunjukkan oleh "laron"-"laron" AKKBB lainnya, yaitu Todung Mulya Lubis dan Hendardi. Menurut Todung, pernyataan Suryadharma Ali bahwa Ahmadiyah sesat dan harus segera dibubarkan, dapat menyulut aksi kelompok yang kontra untuk melakukan tindak kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah.
Oleh karena itu, menurut Todung, Menteri Agama sudah seharusnya diganti. Karena, pandangannya telah mempersubur konflik yang terjadi dan yang mungkin akan terjadi. Pernyataan tersebut disampaikan Todung dalam sebuah jumpa pers di The Wahid Institute, Jakarta, pada hari Selasa tanggal 8 Februari 2011.
Hendardi (Ketua Setara Institute) juga berada pada posisi yang sama. Bahkan menurut Hendardi, Menteri Agama kerap memasukkan kepentingannya ke dalam agenda negara. Oleh karena itu, menurut Hendardi, sudah sepantasnya Menteri Agama diganti. Karena, ucapannya bisa digolongkan sebagai menyulut kekerasan dan membuat orang terprovokasi, dan sudah merupakan suatu pelanggaran.
Begitulah bila "laron-laron" AKKBB sudah muncul secara bersamaan: merepotkan dan menjijikkan. Tapi, biasanya segerombolan "laron" tak pernah bisa hidup lama setelah merubungi cahaya lampu atau bahkan api. Tak berapa lama, akan mati sendiri. Kalau mau cepat, letakkan baskom berisi air di bawah cahaya, maka "laron-laron" itu akan tenggelam setelah mengira pantulan cahaya pada baskom sebagai sumber cahaya itu sendiri. Jadi, tak ada alasan untuk merasa takut kepada segerombolan "laron" yang muncul bertebaran secara serempak namun hampir sulit dicari manfaatnya selain hanya ngotor-ngotori keadaan. (haji/tede)