View Full Version
Senin, 07 Mar 2011

Bermuka Dua, Inggris Dukung Pemberontak Sekaligus Gaddafi

TRIPOLI (Berita SuaraMedia) – Inggris melatih para personel kepolisian rezim Libya yang amat ditakuti, sementara di saat bersamaan para pejabat Inggris mengklaim mereka berusaha menghentikan terjadinya pembantaian di Libya.

Lebih dari 100 orang personel kepolisian Libya saat ini tengah berada di Inggris dan mempelajari teknik-teknik pengamanan negara dan juga teknik-teknik untuk menumpas kekerasan dan kerusuhan di jalanan, demikian dilansir Daily Telegraph.

Penguasa Libya Muammar Gaddafi memerintahkan tindakan brutal terhadap para pengunjuk rasa, rakyat miskin negara tersebut yang datang menuntut hak-hak dasar mereka hampir tiga pekan lalu.

Unjuk rasa tersebut kemudian berubah menjadi pertempuran jalanan yang keras dan nyaris menjadi perang saudara setelah Gaddafi menyewa tentara bayaran dan penjahat untuk melenyapkan gerakan damai dalam bentuk apa pun di negara tersebut.

Saat rakyat Libya bergerak melawan Kolonel Gaddafi yang telah berkuasa di Libya selama lebih dari 40 tahun, jumlah korban tewas akibat tindakan brutal terhadap para pengunjuk rasa melebihi 6.000 orang, berdasarkan data dari kelompok-kelompok pembela HAM.

Kerusuhan yang memasuki pekan ketiga tersebut merupakan bagian dari kebangkitan Islam yang mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara dalam dua bulan terakhir. Mesir dan Tunisia baru-baru ini berhasil menggulingkan penguasa masing-masing yang telah berkuasa selama berpuluh-puluh tahun.

Seperti dibuktikan dokumen-dokumen yang bocor, pemerintah Inggris dan Amerika Serikat mengirimkan perlengkapkan mata-mata untuk memengaruhi pemerintahan di Mesir dan Tunisia setelah revolusi demi keuntungan mereka. Mereka juga melakukan hal serupadi Libya untuk membantu Gaddafi terus berkuasa.

Inggris dan AS menginvestasikan uang dan personel dalam jumlah besar di Libya setelah Gaddafi meninggalkan program senjata nuklirnya. Pemerintahan Inggris di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Blair memainkan peranan besar dalam membantu membawa kembali Libya ke dunia internasional.

Kini, para penguasa di Inggris dan AS agaknya nyaris mustahil mengabaikan pasar Libya yang menguntungkan dan sumber daya minyak dan gas yang melimpah, ditambah dengan investasi senilai miliaran poundsterling dalam bentuk infrastruktur di negara tersebut.

Di satu sisi, pemerintah Inggris mempertimbangkan pengiriman pasukan ke Libya yang selama ini dikirimi berbagai persenjataan untuk menekan rakyatnya sendiri. Sementara di sisi lain, Inggris melatih polisi Libya dan mengajarkan teknik-teknik yang paling brutal dan para agennya dikirimkan ke negara-negara lain yang dilanda krisis di Timur Tengah, seperti di Bahrain, Yordania, Yaman, dan Arab Saudi untuk menekan negara-negara tersebut.

Dalam rangkaian skandal yang terbaru, terungkap bahwa Inggris melatih lebih dari 100 personel polisi Libya, termasuk seorang brigadir jenderal dan seorang mayor dan mengajarkan teknik-teknik modern kepada mereka. Mereka mempelajari kemampuan forensik di Huddersfield University di Yorkshire Barat.

Amnesti Internasional menuding polisi Libya terlibat dalam sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, bahkan sebelum terjadi kerusuhan saat ini, termasuk sebuah kejadian pada tahun 2006 saat para polisi menembaki demonstran di Benghazi dan menewaskan 12 orang.

Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa Huddersfield University menerima 103 polisi Libya, sebagian di antaranya setia kepada Gaddafi, dalam program S2 yang dimulai menjelang akhir tahun lalu.

Sementara itu, pasukan revolusi Libya menangkap tim beranggotakan delapan orang personel SAS (Special Air Service), Pasukan Khusus Inggris, dan seorang diplomat junior di bagian timur negara tersebut. Mereka mengklaim tengah mengantar sang diplomat untuk berdialog dan membantu para pengunjuk rasa oposisi.

Akan tetapi, pemerintah Inggris menolak membenarkan laporan bahwa tim SAS tersebut  ditangkap di Libya.

"Kami tidak bisa membenarkan atau menyangkal laporan tersebut," kata seorang juru bicara wanita Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran Inggris.

Kementerian Pertahanan Inggris juga tidak bersedia berkomentar. Namun, Menteri Pertahanan Liam Fox dalam wawancara dengan BBC mengatakan, "Saya bisa memberikan konfirmasi bahwa tim diplomatik Inggris ada di Benghazi.

"Kami menjalin kontak dengan mereka, tapi saya tidak dapat memberikan komentar lebih lanjut," tambah Fox. (dn/pv) www.suaramedia.com


latestnews

View Full Version