“Go Down! Go Down!” begitu terdengar suara Jose, teman saya dari Peru. Saat itu, pukul 15.00 waktu Tokyo, saat saya masih asyik di depan computer di ruang kerja saya di lantai 3. Memang terasa sekali getarannya ketika monitor saya bergerak, meja saya bergerak, rak buku saya bergerak, tapi saya menganggapnya hal biasa, karena memang selama saya tinggal di Tokyo gempa-gempa kecil seringkali terjadi.
“Go Down!” sekali lagi Jose menyeru, kali ini beriringan dengan gerak seorang professor tua mengetuk setiap pintu ruangan dan menanyakan kondisi masing-masing. Saat saya membuka pintu ruangan saya, di depan ruang saya sudah ada 3 mahasiswi China saling berpelukan ketakutan.
Memang guncangan terasa semakin kencang, buku-buka di ruangan saya jatuh berantakan, sebuah pemanas kecil yang terletak di atas kulkas sudah terbang entah kemana. “Saat nya turun!” fikir saya dalam hati. Segera saya selamatkan laptop saya, sementara computer & monitor saya biarkan tertinggal di ruangan, dan saya dengan beberapa mahasiswa meluncur ke bawah.
Di bawah suara satpam kampus dari balik pengeras suara terdengar memanggil-manggil dan menginstruksikan semua orang yang berada di dalam ruangan untuk keluar menuju tempat evakuasi. “kondisinya mungkin sudah darurat” pikir saya. Saya buru-buru berlari keluar gedung.
Di taman dekat pusat evakuasi saya lihat Noor Elahi, teman saya dari Pakistan tengah berdiri dengan wajah pucat kekuningan. “How are you brother?”, tanya saya sambil menyalami tangannya. Dia tidak langsung menjawab, hanya mulutnya saja yang terus berkomat kamit. “Alhamdulillah, I am fine”, jawab teman saya itu.
Di taman dekat pusat evakuasi saya ngobrol dengan teman saya dari Pakistan itu. Dia bilang ini pertama kali merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Gelas-gelas & peralatan lab lainnya di ruangannya pecah berantakan. “saya sangat khawatir dan takut”, kata Elahi mengakhiri ceritanya.
Lalu saya bilang “tenang, apapun yang datang dari Allah selalu baik untuk seorang muslim, kita berdoa saja mudah-mudahan Allah selamatkan kita semua”. Sementara itu orang semakin ramai berkumpul di halaman di depan gedung 3.
Professor, staf dan mahasiswa semua berkumpul disana, berdiri menanti instruksi dari security kampus. Komando ada ditangan satpam! Dari mulai mahasiswa sampai professor dan pejabat kampus yang terhormat tunduk dibawah komanda keamanan kampus.
Terlihat sekali kalau mereka sangat menghargai pemegang otoritas. Hal ini mungkin berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, dimana terkadang pemegang otoritas kurang dihargai. Saat terjadi letusan gunung di Yogya misalnya, sebagian penduduk lebih memilih mengikuti mbah marijan dibanding mengikuti komando pemegang otoritas.
Melihat semakin banyak orang di halaman, saya berjalan menuju pusat evakuasi dan disana saya bertemu dengan professor saya. “Bagaimana keadaan anak-anak kamu?”, begitu pertanyaan pertama professor saya saat bertemu.
Saya jawab kalau mereka ada di sekolahnya masing-masing, sayangnya saya belum berhasil menghubungi sekolah karena jaringan telpon bermasalah. “Tenang, anak-anak mu akan aman di sekolah”, katanya menenangkan saya.
Professor saya bilang kalau di jepang ini bangunan sekolah memang dipersiapkan sebagai tempat evakuasi jika terjadi bencana dan guru-guru disekolah sangat siap dengan teknik-teknik pengamanan jika terjadi gempa.
Ya. Memang saat itu jaringan telpon sama sekali tidak berfungsi. Saya tidak bisa menghubungi sekolah anak saya, saya tidak bisa menghungi istri saya, saya tidak bisa menghubungi teman-teman saya. Tapi saya yakin insyaAllah semua dalam keadaan aman. (Mukhamad Najib, Mahasiswa Program Doktoral Universitas Tokyo)