View Full Version
Jum'at, 19 Jul 2019

Haedar Nashir: Pemberantasan Korupsi Bagian Amal Shaleh

YOGYAKARTA (voa-islam.com)--Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam acara Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara PP Muhammadiyah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (18/7) di Kantor PP Muhammadiyah, JL. Cik Ditiro, 23, Yogyakarta.

Haedar menganggap bahwa, pemberantasan korupsi sebagai jalan amal shaleh, sehingga Pimpinan Pusat Muhammadiyah harus ambil bagian dalam tugas tersebut. Karena pemberantasan korupsi bukan semata tugas sepihak yang diembankan hanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Muhammadiyah mendukung tegaknya sistem kehidupan kenegaraan yang bebas dari korupsi. Karena mengingat betapa terjal dan berlikunya jalan penegakan sistem yang bebas dari korupsi, sekaligus juga melakukan usaha pemberantasan korupsi,” jelas Haedar.

Meski demikian, Haedar tetap mengajak segenap anak bangsa untukoptimis dengan usaha perbaikan sistem tersebut. Optimisme tersebut dibarengi dengan kepercayaan terhadap progres negara yang berbekal sejarah panjang. Namun perlu disadari bahwa masih ada banyak hal yang tercecer yang perlu diperbaiki. Terkait tugas perbaikan tersebut memang sudah ada institusi yang dibentuk dan ditugaskan untuk penanganan hal-hal tersebut. Sebagai kesatuan bangsa, institusi tersebut harus didukung oleh elemen-elemen bangsa lainnya.

Karena banyaknya lawan dari tugas institusi pemberantasan korupsi, maka diperlukan back-up dari semua kalangan. Baik dari media masa, partai politik, organisasi kepentingan, serta masyarakat luas. Mengingat kasus korupsi sudah mengakar di Indonesia, tugas tersebut menjadi sebuah hal yang sulit. Mengutip pepatah ‘membersihkan lantai yang kotor yaitu dengan sapu yang bersih’, maka diperlukan pembentukan ‘sapu-sapu’ yang bersih dalam jumlah yang banyak. Karena luasnya lantai kotor yang harus dibersihkan.

Sedangkan dalam menyikapi banyaknya kasus tindakan korupsi di Indonesia, menurut Haedar, dalam bangunan sistem berfikir setidaknya terdapat tiga sudutpandangyang harus dibenahi. Pertama, struktur yaitu dengan cara mendukung KPK menjalankan tugas sesuai fungsinya. Dukungan tersebut untuk membuat sebuah sistem dalam pemerintahan kita secara keseluruhan untuk lebih baik lagi. Ketika ada problem Abuse of Power, menjadi tugas yang berat ketika institusi penegakan hukum dan pemerintahan juga turut terjangkit masalah yang bersifat koruptif.

“Setiap kita membangun sistem, pasti ada hal yang mampu kita urai. Kita dorong sebanyak mungkin pihak untuk melakukan gerakan political wil supaya tercipta sikap anti korupsi dan tercapainya Good Government,” jelasnya.

Optimisme tersebut dibangun dan disebarkan, sehingga tugas institusi KPK terbantu dan lebih ringan. Selanjutnya dilakukan penegakan dan tindakan yang lebih berani, tugas-tugas tersebut merupakan amanah kolektif sebagai bangsa. Penegakan sistem dilakukan mulai dari hulu, untuk pembenahan aspek yang berpontensi munculkan problem Abuse of Power. Sehingga tercipta suasana politik nilai yang mapan, kemudian terbentuk sistem pemerintahan yang baik (Good Goverment).

Sistem politik yang menjadi realitas bangsa ini sedang dalam proses menuju liberasi yang sedimikian rupa. Sistem liberal yang menjangkiti politik Indonesia, menjadikan bangsa ini pragmatis. Sistem liberal menjadikan transaksi politik uang dianggap ‘lumrah’, bukan hanya pada elite. Tapi ‘penyakit’ tersebut juga menyebar sampai pada strata masyarakat yang paling bawah.

Kedua, membangun kultur atau budaya anti korupsi. Pada sudut kedua ini, Muhammadiyah telah menjadikanya sebagai sistem melalui audit yang dilakukan terhadap semua institusi atau Amal Usaha Muhamamdiyah (AUM) yang kemudian hasilnya dilaporkan secara masif ke Pimpinan diatasnya. Meski demikian, budaya yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini masih terdapat beberapa kekurangan. Dijalankannya sistem tersebut oleh Muhammadiyah selain sebagai bentuk kerapian organisasi, juga diharapkan sebagai model percontohan yang bisa direplikasi di Indonesia.

“Tradisi tersebut mampu mengamankan uang umat yang kita ikhitiarkan sendiri menjadi akuntabel. Membiasakan budaya tersebut menjadi tugas bersama. Dari kerjasama ini dapat diteruskan sampai kepada PTM dan AUM lainnya sehingga gerakan ini menjadi gerakan kolektif,” jelasnya.

Ketiga, perbaikan pada aspek personal atau manusianya. Diperlukan karakter manusia Indonesia yang bersahaja, memiliki konsep hidup ‘cukup’. Karena pada dasarnya bangsa Indonesia memiliki tradisi yang bisa dijadikan sebagai tameng atas nafsu tindakan koruptif, yaitu prihatin.

Tradisi tersebut menjadikan manusia Indonesia memiliki strugle of life yang kokoh. Namun, manusia-manusia Indonesia menjadi gagap atas pribadi yang dimilikinya tatkala berada di ambang batas kecukupan.

“Kelebihan tersebut memunculkan hasrat ingin berlebihan kepada yang lain, sehingga tercipta manusia yang rakus dan tamak,” pungkas Haedar.*

Sumber: Muhammadiyah.or.id


latestnews

View Full Version