View Full Version
Senin, 05 Oct 2020

Pernikahan atau Seks Konsensual?

BANDUNG (voa-islam.com) - Kamis (01/10/2020) Peneliti senior Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Henri Shalahuddin memberikan materi kuliah bertajuk “Konsep Gender” dalam perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung secara daring melalui media Zoom Meetings.

Mengawali perkuliahannya, Henri menyampaikan bahwa saat ini ada rekonstruksi bahasa yang menyamarkan istilah “kumpul kebo” menjadi sexual consent agar dapat diterima masyarakat.

“Ketika dikatakan kumpul kebo, masyarakat sepakat bahwa ini terlarang. Tapi kalau dikatakan sexual consent, maka menjadi menarik, dianggap rasional bahkan diajarkan pada generasi mendatang. Hal-hal semacam ini menjadi tantangan bagi kita dan generasi,” tutur Henri.

Membandingkan sexual consent dengan pengaturan dalam Islam, Henri memaparkan konsep Islam dalam membina pernikahan.

“Makna yang ada dalam pernikahan menurut ajaran Islam itu adalah agar tercipta di antara masing-masing pihak kecintaan di kala senang, dan kasih sayang meski dalam kondisi terhimpit. Karena masing-masing pihak adalah libas (pakaian) yang menutupi kekuranga masing-masing," tambahnya.

Maka dari itu lanjut henri, konsep sakinah, mawaddah dan rahmah dalam Islam tidak hanya untuk menghapus KDRT maupun bentuk kejahatan empirik lainnya, tetapi juga terwujudnya kebahagiaan.

Dalam hal seksualitas, Henri menyebut ada salah satu wasiat yang ditinggalkan Rasulullah SAW bagi seorang suami untuk tidak mencampuri dari arah belakang meskipun dalam status pasangan yang sah, dan sang istri juga tidak keberatan (menyetujui).

“Ini adalah masalah kepanduan, masalah nilai, sehingga tidak boleh sekehendak sendiri. Pernikahan itu lebih dari sebatas sexual consent,” tegas Henri.

Menurut Henri, dalam perspektif Islam, segala bentuk pelampiasan hasrat seksual yang tidak legal dan dilakukan dengan cara tidak ma’ruf semisal disertai dengan penyiksaan serta melecehkan martabat pasangan, maka diartikan sebagai bentuk dari kejahatan.

"Namun demikian, ajaran Islam justru seringkali dituduh membawa tradisi kekerasan. Salah satu di antaranya adalah istilah nusyuz yang seringkali dianggap sebagai alat memonopoli istri,” jelas Henri.

Meluruskan tuduhan ini, Firdaus, salah seorang peserta menjelaskan kembali istilah nusyuz.

“Konsep hukuman terhadap perbuatan nusyuz dalam Islam adalah hukuman yang bertahap, yaitu dimulai dengan menasehati, kemudian pisah tempat tidur, barulah (jika masih membangkang) boleh memukul. Jadi, justru mencegah sang suami melakukan kekerasan,” paparnya.

Mengenai perbuatan nusyuz, Firdaus menambahkan, seorang suami juga tidak bisa serta merta menindaklanjuti perbuatan nusyuz sang istri, namun lebih dahulu harus menjadi qowaamuun yang bermakna penyokong.

“Jadi laki-laki punya kewajiban pra-kondisi dulu untuk memberi topangan pada sang istri, yakni membuat istrinya tegak sesuai fitrahnya, bukan sekadar menjadi pemerintahnya,” tutup pria peserta perkuliahan SPI itu. [syahid/maya/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version