Kamboja (voa-islam) Mantan kepala penjara—juga disebut pusat penyiksaan Khmer Merah—yang sedang disidang atas dakwaan genosida, Rabu (12/8), meminta rakyat Kamboja memberinya ”hukuman terberat.”
Duch (baca: Doik) yang nama aslinya Kaing Guek Eav itu dikenai dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembunuhan, dan penyiksaan. Dia disidang karena mengawasi penyiksaan dan pembunuhan sekitar 15.000 orang di pusat penahanan Tuol Sleng pada akhir tahun 1970-an.
”Saya menerima penyesalan, kesedihan, dan penderitaan jutaan rakyat Kamboja yang kehilangan suami dan istri mereka,” katanya pada mahkamah yang didukung PBB. ”Saya ingin rakyat Kamboja memberi hukuman yang paling berat.”
Hanya sedikit dari belasan ribu orang yang disiksa di pusat penahanan selama pemerintahan Khmer Merah 1975-1979 itu yang bertahan hidup.
”Kalau ada sebuah tradisi Kamboja—seperti zaman dulu ketika orang menyalib Yesus Kristus—rakyat Kamboja dapat melakukannya terhadap saya. Saya akan menerima,” kata Duch, yang pada dekade 1990-an menjadi Kristen evangelis dan bekerja untuk organisasi bantuan internasional.
Duch sebelumnya telah menerima tanggung jawab atas perannya memimpin penjara itu. Dia meminta maaf atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, dia telah secara konsisten menolak klaim pihak penuntut bahwa dia memegang sebuah peran kepemimpinan pusat dalam Khmer Merah. Dia mengatakan tidak pernah membunuh seorang pun selama rezim Khmer Merah.
”Saya akan menerima tanpa keberatan... semua penghakiman yang akan dibuat oleh mahkamah ini, penghakiman atas peran saya sebagai kepala S-21 dan semua kejahatan yang dilakukan di sana. Nyawa saya hanyalah satu dan tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang kehilangan nyawa,” katanya.
Orang pertama
Duch adalah yang pertama dari lima tokoh senior Khmer Merah yang dijadwalkan menghadapi sidang dan satu-satunya yang mengakui tanggung jawab atas tindakannya. Sidangnya, yang dimulai pada bulan Maret, diperkirakan akan selesai akhir tahun.
Dipimpin oleh Pol Pot, yang meninggal tahun 1998, Khmer Merah mengosongkan kota-kota di Kamboja sebagai upaya membangun sebuah utopia agraria, dengan hasil tewasnya sampai dua juta rakyat karena kelaparan, kerja keras, dan penyiksaan.
Duch, yang ditanya oleh hakim untuk berbicara mengenai pembunuhan-pembunuhan Khmer Merah, mengatakan bahwa itu adalah ”Seperti kematian seekor gajah yang tidak bisa disembunyikan oleh seorang pun dengan hanya dua lembar daun pohon asam.” (rojul/ap/ap/ad/kmps)